Memimpin
Orkestra Kebinekaan
Sudirman Said ;
Ketua Institut Harkat Negeri; Dosen
Kepemimpinan STAN
|
KOMPAS, 23 Januari 2017
Berjalanlah
ke segenap penjuru mata angin bumi Nusantara. Indonesia memiliki 81.626 desa
yang tersebar di 98 kota, 416 kabupaten, dan 34 provinsi. Jelajahi utara dan selatan hingga mentok di
kedua ujungnya masing-masing adalah Pulau Miangas dan Pulau Dana. Kali lain,
lancongi pula penjuru timur dan barat Indonesia hingga singgah di Merauke dan
Pulau Batutigabelas. Panjang keduanya sekitar 5.530 km atau 1/7 keliling
bumi, sesuatu yang menyebabkan kita memiliki tiga pembedaan waktu.
Populasi
seluruh pulau terhuni, pada 2015 saja, tercatat melampaui angka 255 juta jiwa
(65 juta rumah tangga), terbanyak keempat setelah Tiongkok, India, dan AS.
Suku bangsa kita 1.128 jumlahnya, berbicara dalam 719 bahasa etnik.
Kemajemukan akan terasa dengan melihat adat istiadat, ragam pakaian, makanan,
dan bahasa lokal suku-suku yang ada. Bahasa daerah, misalnya, terkadang hanya
dipisahkan oleh selajur sungai kecil atau satu bukit saja.
Susuri
jajaran desa dan kota sepanjang zamrud khatulistiwa. Ratusan bahkan mungkin
ribuan jenis kuliner khas daerah menyambut kita di mana-mana. Begitu pula
aneka rupa lanskap bumi, tarian, arsitektur, seni rupa, seni pertunjukan,
alat musik, hingga lagu daerah. Semua itu jadi penanda betapa kita memang
bangsa yang tidak saja besar, tetapi juga sangat majemuk.
Membandingkan
dengan India, Tiongkok, serta negara-negara di benua Amerika, Afrika, dan
bahkan Eropa, sulit mencari padanan dari kemajemukan yang kita miliki.
Syukurlah kita memiliki bahasa Indonesia, bahasa pemersatu, sarana komunikasi
yang dapat mencairkan dan menautkan keberagaman yang luar biasa itu. Meski,
tentu saja, mengelola bangsa sebesar dan semajemuk ini tak cukup dengan modal
bahasa. Merujuk pada Bhinneka Tunggal Ika, tantangan terbesar kita saat ini
tampaknya justru terletak pada pengurusan aspek ika-nya.
Wajah
keikaan kita saat ini tengah diwarnai oleh menganganya kesenjangan ekonomi
yang kian dirasakan sebagai ketakadilan. Sebanyak 1 persen masyarakat terkaya
menguasai 50 persen kekayaan nasional. Kohesi sosial sedang dalam tekanan
besar yang ditandai dengan munculnya potensi konflik antarkelompok.Patut
cemas kiranya, apalagi jika konflik antarkelompok itu melibatkan unsur yang
amat sensitif, yaitu agama, yang dapat mengoyak rasa saling percaya
antarsesama anak bangsa.
Demokrasi
dan kehidupan politik yang jadi hulu dari seluruh proses berbangsa bernegara
semakin merosot kredibilitasnya. Partai politik gagal melahirkan kader-kader
yang amanah, sebaliknya semakin marak kasus korupsi yang menjerat mereka.
Perilaku sebagian elite politik yang abai terhadap norma umum dan kepatutan,
cepat atau lambat, cenderung akan menggiring bangsa ini pada kondisi
mencabik-cabik diri sendiri.
Mengelola
ika adalah mengelola bangsa sebesar dan semajemuk ini beserta segenap
tantangan yang ada. Jantungnya terletak pada kemampuan dan kapasitas
kepemimpinan kolektif bangsa yang tidak cukup dengan kualitas ”biasa-biasa
saja”.Lebih dari sekadar memahami dan menghayati bineka, siapa pun pengelola
negeri ini harus mencintai kebinekaan sekaligus piawai dalam mengurus
keikaan.
Belajar dari orkestra
Patut
kita kiranya belajar dari dirigen orkestra. Tengoklah dirigen, di mana pun,
pasti memulai kerjanya dengan partitur komposisi di tangan, di kepala, dan di
hatinya. Tak penting apakah komposisi itu digubahnya sendiri atau warisan
dari komposer maestro, atau kombinasi dari keduanya.
Pemimpin
orkestra memeriksa semua lini untuk meyakinkan bahwa semua ready. Di
kepalanya, tak satu pemain instrumen atau pendukung pun yang tidak
penting.Jangan lupa, ada banyak penyukses pula di belakang panggung, sisi
yang tak terlihat langsung. Ada penata suara, penata lampu, penata panggung,
penata busana, perias wajah, penyedia logistik, penjaga karcis, operator
listrik, pramubakti, sampai pramusaji dan tukang parkir.
Tengok
juga instrumen kayu (simbol kelenturan dan kelembutan) dan instrumen logam
(simbol kekakuan). Keduanya tak saling menidakkan atau menyangkal, tetapi
justru saling mengiyakan dan mengisi. Demikian pula instrumen berdawai, tiup,
dan gebuk (perkusi), semua tidak saling menjerat dan baku pukul, melainkan
saling meminjam-pakai kemuliaan masing- masing. Cakap tidaknya seorang
dirigen bisa dinilai dari kemampuannya memahami keunikan dan lalu menempatkan
masingmasing pemusik secara wajar sesuai ”permintaan” komposisi yang
dimainkannya.
Menarik
mencermati cara sang dirigen menempatkan diri. Dirigen pantang menonjolkan
diri karena ia sosok yang berada di antara semuanya.
Konser
memang penting, tetapi bukan yang terpenting. Konser itu semata momentum atau
etalase pembuktian dari sekian ratus jam proses pengompakan tim. Itu sekadar
buah dari kerja keras tim yang dipimpin dirigen.Berbeda dengan momentum
konser yang penuh artifisial dan pamrih mengejar tampilan yang sememikat
mungkin, dalam proses latihan, semua yang berbau artifisial dan pencitraan
dibabat habis. Bahkan, dalam takaran tertentu, ”haram” hukumnya.
Akhirnya,
mengelola bangsa itu butuh kepemimpinan berlapis-lapis. Keberlapisan itu
harus mampu jadi perekat dari semua ide, talenta, dan kecakapan terbaik di
bidangnya masing-masing. Bukan sebaliknya, menonjolkan kebinekaan yang memicu
konflik dan perpecahan. Lalu, bagaimana dengan dominasi, kontrol, dan
manipulasi?
Di
alam demokrasi dan serba terbuka seperti sekarang ini, dominasi sudah tidak
relevan lagi. Yang berharga adalah kemampuan mengundang partisipasi. Kontrol
ketat tidak akan diapresiasi, bahkan akan dilawan. Yang dihargai adalah
memberdayakan semua potensi. Manipulasi? Apalagi! Ia makin sulit dapat tempat
dan tak bisa disembunyikan. Yang dicari adalah sikap jujur, terbuka,
menjunjung tinggi integritas dan meritokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar