Rabu, 28 Februari 2018

Korupsi dan Pemilihan Kepala Daerah 2018

Korupsi dan Pemilihan Kepala Daerah 2018
Tibiko Zabar Pradano  ;   Pegiat Antikorupsi Indonesia Corruption Watch
                                                  DETIKNEWS, 26 Februari 2018



                                                           
Menjelang dimulainya masa kampanye pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2018 publik kembali dikejutkan dengan kasus korupsi kepala daerah. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan dua orang kepala daerah menjadi tersangka. Pertama pada (2/2) lalu yakni Gubernur Provinsi Jambi, Zumi Zola atas dugaan suap RAPBD Provinsi Jambi. Kedua, Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada (4/2) atas dugaan menerima suap terkait pengurusan jabatan.

Wakil Ketua KPK Laode M. Syarief mengungkapkan dalam kasus korupsi yang menjerat Bupati Jombang, sebagian uang suap tersebut digunakan sebagai dana kampanye Pilkada 2018. Kondisi ini menjadi sebuah ironi di saat harapan memilih pemimpin daerah yang berintegritas dan berkualitas belum-belum sudah dinodai dengan praktik-praktik koruptif.

Korupsi kepala daerah dan pilkada dinilai memiliki keterkaitan yang cukup erat, mengingat sejumlah kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah didorong oleh kebutuhan untuk mengembalikan ongkos politik dalam kontestasi elektoral yang memakan biaya tinggi. Dalam catatan Indonesia Corupption Watch (ICW), selama 2010-2017 tak kurang dari 215 kepala daerah menjadi tersangka korupsi, baik yang ditangani KPK, Kejaksaan maupun Kepolisian. Perkara yang melibatkan kepala daerah terjadi dengan berbagai macam modus, mulai dari permainan anggaran proyek, suap, hingga korupsi pengadaan barang dan jasa.

Jumlah tersebut menunjukkan dan menguatkan asumsi bahwa kepala daerah memiliki kerentanan yang sangat tinggi terhadap korupsi. Sehingga, hal tersebut bukan tidak mungkin terulang kembali di masa 5 tahun ke depan jika tidak diantisipasi sejak dini. Demikianlah, demokrasi di Indonesia masih diwarnai dengan praktik korupsi.

Politik Uang

Berdasarkan data Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), ada empat sumber pengeluaran yang menjadikan tingginya biaya politik. Yakni, biaya pencalonan kepala daerah (mahar), dana kampanye politik, biaya konsultasi dan survei pemenangan, dan praktik jual beli suara (politik uang). Dari keempat hal tersebut, salah satu yang juga kerap menjadi permasalahan laten yakni politik uang.

Politik uang merupakan jalan pintas yang kerap terjadi dalam pemilihan umum dan sudah berlangsung sejak lama. Suka atau tidak cara ini nampaknya masih jadi pilihan menarik digunakan demi mendulang banyak suara dari masyarakat. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menemukan ada 600 dugaan politik uang yang terjadi pada Pilkada Serentak 2017 lalu.

Begitu masifnya praktik politik uang dalam Pilkada 2017 memperlihatkan bahwa tidak sedikit calon kepala daerah mencari dukungan dengan jalan pintas memberikan atau menjanjikan uang atau pun materi lainnya kepada masyarakat. Dengan harapan mereka mengikuti permintaan dan instruksi dari pemberi uang. Hal tersebut sangat mencederai upaya membangun demokrasi melalui pemilu yang bersih di negeri ini.

Namun kini sejak 2017 regulasi terkait dengan praktik politik uang telah diperbarui. Sehingga jika merujuk pada aturan UU Pilkada terbaru No. 10 Tahun 2016, sanksi politik uang yang tertuang dalam pasal 73 mengatakan bahwa jika terbukti melakukan pelanggaran dapat dikenakan sanksi mulai dari administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU. Selain itu UU Pilkada dalam Pasal 187 A ayat 1 dan 2 juga telah mengatur bahwa pemberi dan penerima politik uang sama-sama akan dikenakan sanksi.

Sehingga, jika melihat pada regulasi yang telah ada saat ini, pengaturan mengenai pilkada terutama soal praktik politik uang semakin diperketat. Di sisi lain Bawaslu sebagai lembaga yang bertugas dan berwenang mengawasi Pemilu juga harus berani tanpa ragu untuk menindaklanjuti jika ada temuan praktik politik uang dan memberikan sanksi tegas sesuai ketentuan. Baik berdasarkan laporan masyarakat, atau pun temuan langsung oleh Bawaslu.

Selain itu pada kontestasi elektoral ditingkat lokal kali ini, upaya untuk melawan praktik politik uang semakin diperkuat dengan adanya Satgas Politik Uang yang melibatkan KPK dan Polri. Jika selama ini muncul kendala bagi Bawaslu karena keterbatasan dalam mengusut dugaan pelanggaran praktik politik uang, dengan adanya Satgas diharapkan semakin mendorong terlaksananya pemilu yang bersih.

Pilkada Serentak 2018 ini dapat dikatakan yang terbesar sepanjang sejarah demokrasi Indonesia, karena diikuti oleh 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota. Ini merupakan kali ketiga setelah 2015 dan 2017 lalu Indonesia juga telah melaksanakan Pilkada langsung secara serentak. Sehingga pertaruhan besar masa depan setiap daerah sangat ditentukan oleh pemilihan yang akan dilaksanakan tahun ini. Oleh karena itu sebagai upaya mendukung pencegahan korupsi dan mendorong Pilkada bersih, paling tidak ada dua hal yang bisa publik lakukan.

Pertama, publik harus berpartisipasi aktif dalam mengawasi Pilkada dan menolak segala bentuk politik uang. Keberadaan Bawaslu bahkan kini Satgas Politik Uang bukan berarti mampu menghilangkan begitu saja praktik politik uang. Akan tetapi peran masyarakat sebagai pemilih lah dan penerima manfaat langsung yang ikut memastikan lembaga tersebut bekerja. Masyarakat juga harus berani melaporkan jika menemukan adanya praktik-praktik jual beli suara yang terjadi. Sehingga partisipasi publik menjadi keharusan, baik dalam mengawasi dan memastikan Pilkada berlangsung dengan bersih, jujur, dan berintegritas.

Kedua, memilih calon kepala daerah berdasarkan aspek kompetensi, integritas, program kerja dan rekam jejak. Masyarakat harus cerdas dalam memilih, memastikan siapa calon yang akan mereka pilih. Seperti calon bukan tersangka atau mantan terpidana korupsi, memiliki kompetensi dan komitmen yang kuat dalam membangun daerah, serta berintegritas. Hal tersebut penting dan harus menjadi perhatian khusus masyarakat ketimbang dengan pemberian atau janji uang untuk memilih calon tertentu.

Pilkada merupakan momentum penting dalam mengkonsolidasikan demokrasi di tingkat lokal. Penentuan maju atau tidaknya masa depan daerah termasuk masyarakatnya dalam lima tahun ke depan akan ditentukan dalam pertaruhan politik elektoral yang akan berlangsung beberapa bulan mendatang. ●

1 komentar: