Kualitas
Belanja Publik untuk Pendidikan
Amich Alhumami ;
Penekun Kajian Pendidikan;
Meraih PhD Bidang Antropologi
dari University of Sussex, United Kingdom
|
KOMPAS, 06 Februari 2017
Dalam
kurun 15 tahun terakhir, perhatian dan komitmen pemerintah terhadap
pendidikan sangat tinggi. Perhatian dan komitmen tinggi itu ditandai dua hal.
Pertama, menempatkan sektor pendidikan pada urutan prioritas tinggi dalam
agenda pembangunan nasional sebagaimana termaktub di dalam RPJMN 2015-2019.
Kedua, memenuhi amanat konstitusi yang menetapkan anggaran pendidikan sebesar
20 persen dari APBN.
Anggaran pendidikan
Pada
2017, total APBN sebesar Rp 2.080,5 triliun, Rp 416,1 triliun dialokasikan
untuk pendidikan. Dari total anggaran pendidikan yang teralokasi, Rp 206,8
triliun (49,7 persen) digunakan untuk membayar gaji dan tunjangan guru. Dana
ini disalurkan melalui transfer ke daerah dengan mekanisme dana alokasi umum.
Selain
gaji dan tunjangan guru, dana transfer ke daerah untuk pendidikan juga mencakup
bantuan operasional sekolah (BOS) Rp 45,1 triliun (10,8 persen), dana alokasi
khusus Rp 8,1 triliun (2,0 persen), bantuan operasional PAUD Rp 3,6 triliun
(0,9 persen). Adapun anggaran pendidikan yang dikelola pemerintah pusat
mencakup tiga kementerian utama: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp
39,8 triliun (9,6 persen), Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi Rp 38,7 triliun (9,3 persen), Kementerian Agama Rp 50,4 triliun (12,1
persen), dan Rp 12,8 triliun (3,1 persen) terdistribusi ke 17
kementerian/lembaga lain yang juga menyelenggarakan fungsi pendidikan.
Jadi,
angka absolut anggaran untuk sektor pendidikan sesungguhnya sudah sangat
tinggi dibandingkan sektor strategis lain, seperti kesehatan Rp 104,0
triliun, pertahanan Rp 108,0 triliun, kepolisian Rp 84,04 triliun, dan
infrastruktur: PU-Pera Rp 101,5 triliun dan perhubungan Rp 46,0 triliun
(Kemenkeu, 2017). Pertanyaan kembar yang penting diajukan: seberapa efektif
pengelolaan anggaran pendidikan yang secara nominal sangat besar itu?
Bagaimana dampak alokasi anggaran yang besar terhadap mutu pendidikan? Kedua
pertanyaan ini menusuk langsung ke jantung persoalan tata kelola anggaran:
kualitas belanja publik untuk pendidikan.
Sayang,
selama ini isu kualitas belanja publik untuk pendidikan justru terabaikan
dalam perdebatan publik. Kualitas belanja APBN berkaitan dengan tata cara
lembaga birokrasi pemerintahan dalam membelanjakan dana pendidikan untuk
membiayai program-program yang terkait langsung dengan ikhtiar meningkatkan
mutu dan memperbaiki kinerja pendidikan. Untuk itu, diskusi publik harus
diarahkan kepada isu kualitas belanja APBN yang menjadi pokok persoalan dalam
tata kelola anggaran pendidikan. Kualitas belanja APBN harus dipahami dalam
konteks pemanfaatan anggaran untuk mencapai sasaran pokok, yang tecermin pada
kinerja dalam penyelenggaraan pendidikan.
Paling
kurang ada dua sasaran pokok yang harus dicapai: (1) meningkatkan akses dan
pemerataan layanan pendidikan dan (2) meningkatkan mutu pendidikan. Sasaran
pertama harus lebih difokuskan pada upaya menyukseskan pelaksanaan Program
Wajib Belajar 12 Tahun berdasarkan empat alasan utama. Pertama, memenuhi hak
dasar penduduk usia 7-18 tahun yang sangat besar (55,7 juta jiwa) untuk dapat
layanan pendidikan. Kedua, memperluas pemerataan pendidikan dan mewujudkan
keadilan sosial. Ketiga, mengurangi kesenjangan partisipasi pendidikan
antarkelompok masyarakat, terutama pada jenjang menengah dan tinggi. Keempat,
mempersiapkan anak-anak didik dengan landasan keilmuan yang baik untuk
melanjutkan ke jenjang pendidikan tinggi.
Program
Wajar 12 Tahun juga bernilai strategis terutama untuk: (i) menciptakan
lapisan masyarakat kritis dalam cakupan yang lebih luas; (ii) membangun
masyarakat berpengetahuan dan bangsa berkualitas untuk meningkatkan daya
saing nasional; dan (iii) mempersiapkan anak didik (penduduk usia muda
produktif) memasuki masa transisi antara meneruskan ke jenjang pendidikan
tinggi atau langsung masuk ke pasar kerja.
Bagi
yang memilih untuk memasuki pasar kerja, sekolah menengah dapat membekali
mereka pengetahuan dan keterampilan yang lebih baik sehingga diharapkan lebih
produktif di dunia kerja. Program Wajar 12 Tahun juga dimaksudkan untuk
menyiapkan landasan sosial yang kuat untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Sebab, penduduk usia muda merupakan aset ekonomi sangat potensial untuk
meningkatkan produktivitas nasional, terutama terkait dengan pemanfaatan
bonus demografi.
Adapun
sasaran kedua harus lebih difokuskan pada ikhtiar meningkatkan kualitas guru,
yang menjadi faktor determinan dalam upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Meskipun setengah dari anggaran pendidikan (Rp 206,8 triliun) dibelanjakan
untuk gaji dan tunjangan guru, belum terlihat tanda-tanda peningkatan
kualitas pendidikan. Hasil kajian Bank Dunia, Spending More Spending Better
(2015), menunjukkan bahwa tunjangan profesi guru baru berhasil memperbaiki
kesejahteraan dan belum mampu meningkatkan kualitas pembelajaran, alih-alih
mutu pendidikan.
Dengan
tunjangan profesi, guru kian makmur dan tidak lagi menghadapi masalah
finansial, tetapi belum memberi dampak nyata pada perbaikan kinerja
penyelenggaraan pendidikan. Hasil PISA (Programme International Student
Assessment) 2015 (terbit Desember 2016) memang mengalami peningkatan
dibandingkan pada 2012. Untuk sains semula 382 menjadi 403, membaca 396
menjadi 397, dan matematika 375 menjadi 386. Meskipun patut disyukuri,
peningkatan ini jelas tak signifikan dibandingkan belanja publik yang
demikian besar untuk pendidikan, terutama insentif untuk guru dalam bentuk
pemberian tunjangan profesi.
Misalokasi dan inefisiensi
Dalam
konteks menjaga kualitas belanja APBN, lembaga pemerintah yang bertanggung
jawab dalam penyelenggaraan pendidikan dituntut untuk membelanjakan dana
publik secara efisien, dengan membuat skala prioritas dan menentukan program
utama agar sasaran-sasaran yang telah ditetapkan dapat dicapai. Untuk itu,
disiplin penggunaan anggaran menjadi sangat penting untuk menghindari
penyaluran dana yang tidak sesuai peruntukannya. Hanya dengan disiplin anggaran
yang dilakukan secara ketat, misalokasi dapat dicegah.
Memahami
efisiensi anggaran harus pula diletakkan dalam konteks organisasi
penyelenggara pendidikan. Struktur organisasi Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan serta Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang
terbilang raksasa, dengan jumlah personel yang sangat banyak, jelas menuntut
pembiayaan yang besar pula.
Oleh
karena itu, hal penting yang patut diperhatikan adalah bagaimana beban biaya
dalam mengoperasikan organisasi raksasa ini tidak sampai menyedot anggaran
yang besar. Demikian pula aparatur birokrasi di daerah-dinas pendidikan
provinsi dan kabupaten/kota-harus membelanjakan dana publik untuk membiayai
kegiatan yang berkaitan secara langsung dengan pelayanan pendidikan. Biaya
operasional organisasi pendidikan harus ditekan seminimal mungkin sehingga
dana yang ada dapat disalurkan langsung ke pihak-pihak penerima, yaitu
sekolah/universitas dan siswa/mahasiswa. Apabila anggaran pendidikan lebih
banyak digunakan untuk membiayai organisasi, ini adalah salah satu bentuk
inefisiensi.
Publik
juga perlu meneliti dan mengevaluasi daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA)
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; Kementerian Riset, Teknologi, dan
Pendidikan Tinggi; dan Kementerian Agama untuk mengetahui setiap kegiatan
yang termuat di dalamnya. Ini penting dilakukan sebab banyak kegiatan yang
tak berkaitan langsung dengan upaya peningkatan akses dan pemerataan layanan
pendidikan serta perbaikan mutu pendidikan. Hal yang lebih mendasar lagi,
publik harus mengawasi proses pengalokasian anggaran yang berlangsung di DPR
untuk mencegah transaksi politik anggaran yang tidak sesuai dengan
kepentingan penyelenggaraan pendidikan. Kualitas belanja APBN hanya dapat
diwujudkan apabila semua pemangku kepentingan, terutama kementerian teknis,
pemerintah daerah (dinas pendidikan), dan DPR/DPRD, menjaga transparansi dan
akuntabilitas dalam membelanjakan dana publik. Siapa pun yang peduli pada isu
besar ini harus memusatkan perhatian dan pengawasan pada lembaga-lembaga
pemerintahan tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar