Morotai
dan Nilai Ekonomi Pulau Kecil di Daerah
Ahmad Riza Patria ; Wakil Ketua Komisi II DPR
|
KORAN
SINDO, 25
Januari 2017
Jepang
tidak hanya pandai berbisnis dengan Indonesia, tapi juga pandai
”mengapitalisasi” sejarah dunia. Ini terbukti ketika PM Shinzo Abe berkunjung
ke Jakarta (15- 16 Januari) minta Indonesia membuka Pulau Morotai, Maluku
Utara, untuk investor Jepang seluas-luasnya.
Jepang
tidak hanya ingin berinvestasi di bidang perikanan yang memang kaya di
Maluku, tapi juga ingin menjadikan Morotai sebagai kampung para lansia
(elderly village) Jepang. Bagi Jepang, Morotai memang mempunyai kenangan
sejarah yang tak terlupakan. Pulau ini tidak hanya indah pemandangannya, tapi
juga indah kenangannya untuk Negeri Sakura. Betapa tidak! Pada zaman Perang
Dunia Kedua (PD II), pulau kecil yang terletak di Halmahera Utara itu
merupakan pangkalan militer Jepang.
Pada
saat PD II meletus, Armada Perang Pasifik Jepang menduduki Morotai pada 1942
untuk dijadikan pangkalan militer guna ”menganeksasi” Filipina. Kita tahu
saat itu Filipina menjadi ”negeri satelit” Amerika Serikat (AS) di Pasifik.
Jelas, AS sangat marah terhadap Jepang yang membangun pangkalan militer di
Morotai, salah satu ”titik” di Samudera Pasifik. Itulah sebabnya, sekutu pada
1944 menggempur Morotai. Di bawah komando Jenderal Douglas McArthur dari
Armada AL AS South West Pacific Area, pasukan Jepang di Morotai ditekuk.
Jepang pun tunduk. Ia tersingkir dari Morotai.
Kemudian
Morotai dijadikan pangkalan udara Amerika. Pertempuran Morotai yang
dimenangkan AS memberikan ”energi dan semangat baru” bagi armada AL Amerika
di Pasifik yang nyaris hancur akibat pemboman pangkalan militer AL di Pearl
Harbor (1941). Bagi AS, kemenangan pertempuran dengan Jepang di Morotai itu
bisa menghambat laju militer Jepang di Asia Tenggara. Benar, Filipina
akhirnya tidak berhasil dikuasai Dai Nippon. Indonesia pun akhirnya lepas
dari Jepang. Sampai kemudian Tokyo menyerah pada Washington (1945) setelah
Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom.
Meski
kemudian Jepang meninggalkan Morotai, pulau cantik di Halmahera itu tetaplah
punya kenangan indah bagi para lansia Jepang. Khususnya ”pensiunan tentara
Jepang” yang kini berusia 90-an tahun, yang pernah tinggal di Morotai pada
usia 20-an tahun. Apalagi, kemudian ada kisah menarik dari seorang tentara
Jepang, Teruo Nakamura, yang bersembunyi di hutan Morotai selama 30 tahun
agar tidak dibunuh tentara sekutu. Nakamaura yang ditemukan di hutan Morotai
pada 1974 tidak tahu Jepang menyerah pada sekutu. Ia hidup di sebuah gubuk di
tengah hutan dan makan dari hasil menanam ubi dan sayursayuran di sekitar
dangaunya.
Kisah
hidup Nakamura selama persembunyiannya di Morotai itu pernah menggemparkan
Jepang. Akibat kisah Nakamura itu, banyak lansia mantan tentara Jepang (yang
uang pensiunnya cukup besar) ingin menghabiskan hidupnya di Morotai. Itulah
sebabnya kenapa PM Shinzo Abe ingin Jakarta mengizinkan Jepang membuat
”kampung lansia” di Morotai. Tentu saja, Morotai tidak sekadar ”kampung
kenangan” para lansia (tentara) Jepang, tapi jugasecara
ekonomisangatmenjanjikan jika dijadikan pangkalan industri perikanan. Kenapa?
Laut Maluku Utara (Malut), di mana Morotai berada, adalah laut yang sangat
kaya ikan.
Potensi
lestari perikanan di Malut mencapai 500.000 (cakalang dan tuna) ton per
tahun. Jelas ini sangat mengiurkanbagi industri perikanan Jepang. Apalagi,
harga ikan tuna di Jepang sangat mahal, bisa mencapai jutaan rupiah per
kilogram. Yang menjadi soal, bukan boleh atau tidak Morotai menjadi tempat
investasi dan kampung lansia Jepang, melainkan pernyataan Menko Maritim
Jenderal (mantan) Luhut Binsar Pandjaitan yang mengagetkan. Pulau-pulau kecil
di Indonesia yang jumlahnya ribuan itu, kata Pak Luhut, bisa disewa kapan pun
untuk investasi asing.
Bila
perlu—masih kata Pak Luhut—orang asing itu bisa memberikan nama pulau tempat
investasinya sesuai dengan selera mereka. Pernyataan terakhir inilah yang
menyulut pro-kontra. Wakil Ketua DPR Dr Fadli Zon menolak gagasan ”investor
memberikan nama untuk pulau” di Nusantara tersebut. Gagasan itu, kata Fadli
Zon, menghina harga diri bangsa Indonesia karena demi investasi kemudian
menggadaikan kedaulatan.
”Menyerahkan
pem-berian nama-nama pulau kepada pihak asing sebagai bagian dari iming-iming
investasi bukanlah hal yang bijak. Bayangkan kalau pulau itu dinamakan
nama-nama yang tak pantas seperti Pulau Hitler atau Pulau Escobar (mafia).
Jangan karena demi investasi, kita kemudian jadi gampang saja menggadaikan
kedaulat-an,” kata Fadli Zon. Menurut Fadli, UU Nomor 27/2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil tidak mengenal hak
pengelolaan pulau. UU itu hanya mengatur hak pengusahaan perairan pesisir
(HP- 3), yaitu hak pengelolaan atas bagian-bagian tertentu dari perairan
pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha yang berkaitan dengan
pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil, baik yang berada di
atas permukaan laut maupun permukaan dasar laut.
Lagi
pula pernyataan Pak Luhut tersebut berbarengan dengan upaya pemerintah yang
sedang memberdayakan para nelayan di Morotai agar mereka bisa memanfaatkan
kekayaan ikan di laut Malut. Jika investor perikanan Jepang tersebut menangkap
ikan di Malut, niscaya nelayan tradisional akan terpinggirkan. K a p a l -
kapal ikan modern Jepang akan mengeruk ikan di laut Maluku dan mengirimkannya
ke Tokyo, di mana harga ikan sangat mahal. Siapa yang untung? Investor
Jepang.
Jika
pun warga setempat mendapat pekerjaan dari para investor asing itu, niscaya
hanya pekerjaan rendah yang secara ekonomi nilainya tidak seberapa. Jakarta
harus belajar dari kasus ”penyewaan pulau” yang merugikan nelayan kecil.
Kasus pengelolaan Pulau Komodo oleh investor Malaysia atau Pulau Gangga di
Minahasa Utara oleh investor asal Italia— di mana para investor menutup akses
pantainya untuk nelayan lokal—harusnya menjadi ”perhatian” kita.
Sikap
investor tersebut jelas bertentangan dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)
Nomor 5/1960 karena memprivatisasi pulau kecil tersebut. Kita tahu, Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang terdiri atas 13.487 pulau— terbentang
dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote—mempunyai kekayaan
sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang luar biasa besar. Semua
merupakan potensi kekayaan nasional yang perlu digarap dan dikelola dengan
baik untuk kemakmuran r a k y a t .
Memang,
Jakar ta butuh investor untuk mengelola kekayaan di pulau-pulau kecil itu.
Tapi, tidak berarti investor itu bisa menjadi ”tuan tanah” yang bisa berbuat
semaunya di pulaupulaumilikIndonesia itu. Ingat, pulau-pulau kecil dari aspek
geostrategi bukan sekadar ”titik-titik” kecil dalam peta yang melengkapi
untaian jamrud di khatulistiwa, tapi juga menjadi penanda besarnya ruang
kekayaan Nusantara melalui ”zona ekonomi eksklusif” yang luasnya mencapai 200
km dari pantai.
Dalam
bentang 200 km dari pantai pulau-pulau kecil itu, niscaya tersimpan kekayaan
alam yang luar biasa. Tidak hanya ikan, teripang, udang, dan mutiara, tapi
juga mineral, minyak, gas, bahkan emas serta logam mulia yang lain.
Bayangkan, jika hal itu semua diserahkan kepada investor dan Jakarta tidak
dapat mengawasi itu, betapa kerugian yang diderita negara. Tidak hanya itu,
pulau-pulau kecil juga menyimpan kekayaan biodiversitas yang luar biasa, yang
jika tidak hati-hati pengelolaannya, kekayaantersebut akan lenyap. Sering
terjadi investasi di pulau kecil justru merusak lingkungan pulau bersangkutan
dan akhirnya melenyapkan biodiversitas tersebut.
Betul,
Indonesia punya ribuan pulau kecil yang belum bernama, tapi itu tidak berarti
kita mengabaikan pulau itu. Lalu, menyerahkannya ke pihak asing agar dikelola
sepenuhnya tanpa kendali ketat dari Jakarta. Pengabaian itu bisa akan sangat
berbahaya karena umumnya pulau-pulau kecil itu sangat rentan dari bencana
alam, baik akibat pergeseran kulit bumi maupun kenaikan permukaan air laut
(global warming). Semua itu tugas negara untuk menyelamatkan pulau-pulau
kecil tadi. Anggap saja pulau-pulau itu merupakan ”tabungan masa depan” untuk
anak cucu kita nanti.
Tren
masa depan di mana pulau-pulau kecil akan menjadi destinasi wisata yang
digandrungi turisme dunia hendaknya dijadikan ”peluang berharga” yang harus
ditangkap pemerintah daerah (di mana pulau-pulau kecil berada). Pemerintah
daerah yang punya otonomi besar mengelola daerahnya harus kreatif dalam
merekayasa pulau-pulau kecil miliknya agar menjadi spot ekonomi dan turisme
yang menguntungkan rakyat dan bangsa Indonesia— bukan investor asing yang
acap menyengsarakan rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar