DJ
Trump
Trias Kuncahyono ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 22 Januari 2017
Marilah
kita mulai dengan sebuah kenyataan—paling tidak berdasarkan jajak pendapat
yang dilakukan oleh The Washington Post/ABC News, awal pekan ini—bahwa
sebagian terbesar rakyat Amerika Serikat tidak senang Donald Trump menjadi
presiden. Ketika tanggal 20 Januari lalu, kakinya melangkah memasuki kantor
resminya sebagai presiden AS, Ruang Oval, di Sayap Kanan (West Wing) kompleks
Gedung Putih, hanya 40 persen responden yang menyatakan senang (54 persen
tidak senang).
Angka
tersebut jauh di bawah George W Bush ketika pada tahun 2001 memasuki Gedung
Oval sebagai presiden, yakni 62 persen. Kalau dibandingkan dengan Barack
Obama, lebih jauh lagi. Saat Obama mengawali hari pertamanya masuk Gedung
Oval, pada tahun 2009, sebanyak 79 persen responden menyatakan senang.
Artinya, mereka senang memiliki seorang presiden bernama Barack Obama, yang
adalah berkulit hitam.
Hasil
jajak pendapat lain menyatakan, 44 persen responden percaya bahwa Trump
memenuhi syarat untuk menjadi presiden; sementara 52 persen lainnya tidak
percaya bahwa Trump memenuhi syarat.
Akan
tetapi, inilah kali pertama, setidaknya dalam empat dekade terakhir, AS
memiliki pemimpin yang sangat tidak populer. Pada tahun 1977, popularitas
Jimmy Carter, saat mengawali tugasnya sebagai presiden ke-39, mencapai 78
persen. Mengapa seorang ”petani kacang” dari Plains, Georgia, ini begitu
populer mengalahkan Donald Trump yang juragan real estat, usahawan, public
figure, bintang reality show, dan selebritas? Popularitas Carter hanya kalah
dari Obama (79 persen), tetapi mengalahkan Bill Clinton (68 persen),
mengungguli Ronald Reagan (58 persen), dan George HW Bush (65 persen). Di
zaman Carter ini, disepakati Perjanjian Camp David antara Israel dan Mesir.
Capaian ini yang menghantarkan Carter menerima hadiah Nobel Perdamaian pada
tahun 2002.
Barangkali,
sekarang setelah menjadi presiden mengalahkan Hillary Clinton, Trump akan
mengatakan: Apa gunanya popularitas? Di masa kampanye, berbagai jajak
pendapat mengunggulkan Hillary Clinton. Trump yang kalah dalam jajak
pendapat, lebih aktif bermedia sosial, bercuat-cuit di Twitter dengan
cuitannya yang kontroversial, memanen pendapat pro dan kontra. Dan, hasilnya,
di akhir pemilu, Trump yang memenanginya.
Memang,
di zaman kini, media sosial merupakan alat strategis bagi para politisi.
Media sosial memberikan akses tak terbatas kepada para politisi untuk
menyentuh, berhubungan dengan masyarakat banyak, menerobos media tradisional
dan menjangkau para pemilih potensial. Ini menyodorkan pintu terbuka kepada
para politisi dan public figure untuk ”menukangi” pesan-pesan strategis di
Twitter, situs micro-blogging (Anya Karavanov: 2016).
Adalah
Barack Obama yang pertama kali sebagai politisi menggunakan media sosial
dalam pemilu nasional dan membuka pintu bagi cara ini menjadi normal dan
esensial. Dunia memang sudah berubah; bahkan berlari terus untuk menuju zaman
baru.
Demikian
pula, dunia politik pun—termasuk di Indonesia—telah terjebak dalam urusan
kepopuleran, kesohoran, keterkenalan. Karena itu, ada yang berpendapat bahwa
demokrasi berubah menjadi tirani popularitas.
Demokrasi
berubah jadi tirani popularitas. Pertarungan elektoral sama dengan
pertarungan popularitas. Fakta ini ditegaskan dengan hadirnya berbagai
industri survei yang bisa mendongkrak atau mengambrukkan figur dalam sekejap.
Apalagi kalau lembaga survei itu tidak independen.
Inilah
realitas yang ada. Prinsip ”yang abadi adalah kepentingan” itu dipraktikkan
secara masif, secara besar-besaran, dengan sekuat tenaga, cara, dan daya.
Karena itu, tidak aneh kadang kala ”atas nama kepentingan”, etika dan
moralitas dilupakan, ditinggalkan. Etika serta moralitas politik dan
berpolitik, politik-moral dilempar ke gudang. Akibatnya, politik santun tidak
tumbuh. Yang justru tumbuh subur dan berkembang adalah saling tipu, khianat,
mendiskreditkan, mencerca, mencaci, meneror, saling menghancurkan, berlaku
tidak jujur, dan bersandiwara serta bermuka topeng. Semua itu dilakukan demi
mencari popularitas, mencari kemenangan, mencari sensasi, dan mencari
kepuasan serta kenikmatan diri.
Kalau
sudah demikian, jangan tanya lagi soal ideologi dan akal sehat. Keduanya
tinggal basa-basi yang sudah basi, dan semakin basi sebagaimana mereka
menjual nama rakyat demi kepentingan diri. Karena itu, presiden AS ke-16,
Abraham Lincoln (1809-1865), pernah mengatakan, hindarilah popularitas jika
Anda menginginkan kedamaian.
”Aku
tak pernah terlalu memedulikan atau terobsesi dengan jajak pendapat
popularitas atau opini. Kupikir pemimpin yang memedulikan hal semacam itu
adalah pemimpin yang lemah. Jika kau masih mengkhawatirkan apakah ratingmu
naik atau turun, kau bukanlah pemimpin. Kau hanya menunggang angin, pergi ke
mana pun ia membawa,” kata Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew
(1923-2015).
Trump
bukan Lincoln dan juga bukan Lee Kuan Yew. Popularitas dicari Trump lewat
pernyataan-pernyataan, gagasan-gagasan, dan sikapnya yang kontroversial. Ia
juga tidak seperti Napoleon Bonaparte (1769-1821) yang meski ketika berkuasa
dikenal kejam, tetapi masih ada rakyat yang menyukainya. Sebab, ia mempunyai
prinsip: ”Dewasa ini, satu-satunya cara untuk memerintah adalah dengan
bantuan massa.”
Itulah
sebabnya Napoleon dijuluki ”Santo Simon di Atas Kuda”. Mengapa? Oleh karena,
meskipun hidupnya dihabiskan dengan berperang di atas kuda, Kaisar Napoleon
yang meninggal karena kanker perut pada tanggal 5 Mei 1821 di Pulau St
Helena, sebuah pulau milik Inggris di Atlantik Selatan, suka beramal dan
membantu orang miskin dengan memberikan lapangan kerja dan peningkatan upah.
Ini
berbeda dengan banyak elite kita yang rajin bersembahyang, berbusa kata
religi saat pidato, tetapi terus korupsi; yang selalu bersikap ramah, banyak
berderma, membantu orang lain, dan menjadi tokoh masyarakat, tetapi
menggerogoti uang negara. Dan, bagaimana dengan Donald Trump? Ya, kita tunggu
saja.
Marilah
kita mulai dengan sebuah kenyataan—paling tidak berdasarkan jajak pendapat
yang dilakukan oleh The Washington Post/ABC News, awal pekan ini—bahwa sebagian
terbesar rakyat Amerika Serikat tidak senang Donald Trump menjadi presiden.
Ketika tanggal 20 Januari lalu, kakinya melangkah memasuki kantor resminya
sebagai presiden AS, Ruang Oval, di Sayap Kanan (West Wing) kompleks Gedung
Putih, hanya 40 persen responden yang menyatakan senang (54 persen tidak
senang).
Angka
tersebut jauh di bawah George W Bush ketika pada tahun 2001 memasuki Gedung
Oval sebagai presiden, yakni 62 persen. Kalau dibandingkan dengan Barack
Obama, lebih jauh lagi. Saat Obama mengawali hari pertamanya masuk Gedung
Oval, pada tahun 2009, sebanyak 79 persen responden menyatakan senang.
Artinya, mereka senang memiliki seorang presiden bernama Barack Obama, yang
adalah berkulit hitam.
Hasil
jajak pendapat lain menyatakan, 44 persen responden percaya bahwa Trump
memenuhi syarat untuk menjadi presiden; sementara 52 persen lainnya tidak
percaya bahwa Trump memenuhi syarat.
Akan
tetapi, inilah kali pertama, setidaknya dalam empat dekade terakhir, AS
memiliki pemimpin yang sangat tidak populer. Pada tahun 1977, popularitas
Jimmy Carter, saat mengawali tugasnya sebagai presiden ke-39, mencapai 78
persen. Mengapa seorang ”petani kacang” dari Plains, Georgia, ini begitu
populer mengalahkan Donald Trump yang juragan real estat, usahawan, public
figure, bintang reality show, dan selebritas? Popularitas Carter hanya kalah
dari Obama (79 persen), tetapi mengalahkan Bill Clinton (68 persen),
mengungguli Ronald Reagan (58 persen), dan George HW Bush (65 persen). Di
zaman Carter ini, disepakati Perjanjian Camp David antara Israel dan Mesir.
Capaian ini yang menghantarkan Carter menerima hadiah Nobel Perdamaian pada
tahun 2002.
Barangkali,
sekarang setelah menjadi presiden mengalahkan Hillary Clinton, Trump akan
mengatakan: Apa gunanya popularitas? Di masa kampanye, berbagai jajak
pendapat mengunggulkan Hillary Clinton. Trump yang kalah dalam jajak
pendapat, lebih aktif bermedia sosial, bercuat-cuit di Twitter dengan
cuitannya yang kontroversial, memanen pendapat pro dan kontra. Dan, hasilnya,
di akhir pemilu, Trump yang memenanginya.
Memang,
di zaman kini, media sosial merupakan alat strategis bagi para politisi.
Media sosial memberikan akses tak terbatas kepada para politisi untuk
menyentuh, berhubungan dengan masyarakat banyak, menerobos media tradisional
dan menjangkau para pemilih potensial. Ini menyodorkan pintu terbuka kepada
para politisi dan public figure untuk ”menukangi” pesan-pesan strategis di
Twitter, situs micro-blogging (Anya Karavanov: 2016).
Adalah
Barack Obama yang pertama kali sebagai politisi menggunakan media sosial
dalam pemilu nasional dan membuka pintu bagi cara ini menjadi normal dan
esensial. Dunia memang sudah berubah; bahkan berlari terus untuk menuju zaman
baru.
Demikian
pula, dunia politik pun—termasuk di Indonesia—telah terjebak dalam urusan
kepopuleran, kesohoran, keterkenalan. Karena itu, ada yang berpendapat bahwa
demokrasi berubah menjadi tirani popularitas.
Demokrasi
berubah jadi tirani popularitas. Pertarungan elektoral sama dengan
pertarungan popularitas. Fakta ini ditegaskan dengan hadirnya berbagai
industri survei yang bisa mendongkrak atau mengambrukkan figur dalam sekejap.
Apalagi kalau lembaga survei itu tidak independen.
Inilah
realitas yang ada. Prinsip ”yang abadi adalah kepentingan” itu dipraktikkan
secara masif, secara besar-besaran, dengan sekuat tenaga, cara, dan daya.
Karena itu, tidak aneh kadang kala ”atas nama kepentingan”, etika dan
moralitas dilupakan, ditinggalkan. Etika serta moralitas politik dan
berpolitik, politik-moral dilempar ke gudang. Akibatnya, politik santun tidak
tumbuh. Yang justru tumbuh subur dan berkembang adalah saling tipu, khianat,
mendiskreditkan, mencerca, mencaci, meneror, saling menghancurkan, berlaku
tidak jujur, dan bersandiwara serta bermuka topeng. Semua itu dilakukan demi
mencari popularitas, mencari kemenangan, mencari sensasi, dan mencari
kepuasan serta kenikmatan diri.
Kalau
sudah demikian, jangan tanya lagi soal ideologi dan akal sehat. Keduanya
tinggal basa-basi yang sudah basi, dan semakin basi sebagaimana mereka menjual
nama rakyat demi kepentingan diri. Karena itu, presiden AS ke-16, Abraham
Lincoln (1809-1865), pernah mengatakan, hindarilah popularitas jika Anda
menginginkan kedamaian.
”Aku
tak pernah terlalu memedulikan atau terobsesi dengan jajak pendapat popularitas
atau opini. Kupikir pemimpin yang memedulikan hal semacam itu adalah pemimpin
yang lemah. Jika kau masih mengkhawatirkan apakah ratingmu naik atau turun,
kau bukanlah pemimpin. Kau hanya menunggang angin, pergi ke mana pun ia
membawa,” kata Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew (1923-2015).
Trump
bukan Lincoln dan juga bukan Lee Kuan Yew. Popularitas dicari Trump lewat
pernyataan-pernyataan, gagasan-gagasan, dan sikapnya yang kontroversial. Ia
juga tidak seperti Napoleon Bonaparte (1769-1821) yang meski ketika berkuasa
dikenal kejam, tetapi masih ada rakyat yang menyukainya. Sebab, ia mempunyai
prinsip: ”Dewasa ini, satu-satunya cara untuk memerintah adalah dengan
bantuan massa.”
Itulah
sebabnya Napoleon dijuluki ”Santo Simon di Atas Kuda”. Mengapa? Oleh karena,
meskipun hidupnya dihabiskan dengan berperang di atas kuda, Kaisar Napoleon
yang meninggal karena kanker perut pada tanggal 5 Mei 1821 di Pulau St
Helena, sebuah pulau milik Inggris di Atlantik Selatan, suka beramal dan
membantu orang miskin dengan memberikan lapangan kerja dan peningkatan upah.
Ini
berbeda dengan banyak elite kita yang rajin bersembahyang, berbusa kata
religi saat pidato, tetapi terus korupsi; yang selalu bersikap ramah, banyak
berderma, membantu orang lain, dan menjadi tokoh masyarakat, tetapi
menggerogoti uang negara. Dan, bagaimana dengan Donald Trump? Ya, kita tunggu
saja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar