Selasa, 07 Februari 2017

Mulutmu, Panggungmu

Mulutmu, Panggungmu
Indra Tranggono  ;  Pemerhati Kebudayaan; Tinggal di Yogyakarta
                                                     KOMPAS, 06 Februari 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Mulut sebagai salah satu instrumen tubuh manusia merupakan pelantang yang mengartikulasikan  jiwa, pikiran, dan perasaan. Sopan santun mulut sangat ditentukan keadaban pribadi sang pemilik. Tinggi-rendahnya martabat seseorang sering juga diukur dari kemampuan menjaga/mengelola mulut yang ia miliki.

Dalam teks-teks budaya, mulut pun sering dihubungkan dengan risiko hukuman. Maka, ada pepatah: ""mulutmu adalah harimaumu". Seruan klasik normatif itu akhir-akhir ini dipelesetkan dengan pepatah "jarimu adalah harimaumu" sejak ujaran kebencian merebak di media sosial (medsos). Dunia digital mampu mengubah bahasa seiring dengan perubahan perilaku (budaya) yang menyertainya.

Namun, manusia kadang terlalu simplistik dalam membuat analogi. Pepatah "mulutmu adalah harimaumu" sesungguhnya kurang tepat dan tidak adil bagi sang harimau yang dicatut namanya. Bukankah harimau tidak akan mengerkah kepala atau menerkam manusia jika ia tak diganggu dan terancam kehidupannya? Harimau juga tak pernah pamer kekejaman atau kezaliman kepada manusia. Justru manusia yang sering menzalimi harimau dengan merusak habitat, membinasakan, dan mengambil belulangnya atas nama kerakusan dan sakit jiwa.

Maka, ungkapan "mulutmu adalah harimaumu" mestinya bisa diganti dengan pepatah "mulutmu adalah surga sekaligus nerakamu". Ini lebih netral.  Mulut memberi kita surga ketika dikelola dengan baik dan memproduksi nilai-nilai kebajikan, Namun, mulut  juga bisa memberi neraka jika dikelola dengan buruk. Kualitas manajemen dan kata-kata yang diproduksi mulut juga menentukan kehormatan dan martabat seseorang.

Beda mulut, beda pengelolaan dan beda pula output-nya. Manusia perlu menempuh jalan kultural dan mobilitas vertikal  demi menjadi makhluk berperadaban. Pada dimensi personal, manusia perlu untuk selalu transenden, menyerap nilai-nilai spiritual, baik yang bersumber dari agama, sistem kepercayaan dan keyakinan yang dianut dan diamalkan. Manusia juga perlu mengasah akal budi agar tajam/peka melalui asketisme sehingga mampu bertemu dengan "aku"-nya yang sejati, yakni "aku" yang inklusif, adil/obyektif, toleran, solider, dan penuh luapan etika/etos.

Melalui jalan spiritual dan kultural, manusia mampu mencapai kematangan akal-pikiran, emosi dan perilaku, sehingga terlatih dan tertata dalam mengelola mulutnya. Akhirnya, manusia jadi tak gampang memproduksi ujaran kebencian atau penghakiman keburukan pada liyan. Tidak juga gampang menganggap dan mengucap bahwa dirinyalah yang paling benar dan memojokkan orang atau kelompok lain sebagai pihak yang salah, terkutuk, dan nista. Tidak mudah main gertak, main ancam, atau memproduksi teror bagi orang lain yang berbeda keyakinan, keimanan, kesukuan dan ras. Juga tidak ringan bicara untuk merobek-robek anyaman kebangsaan, menista dasar negara, simbol-simbol negara dan konstitusi.

Kata dan bahasa bukan sekadar kelisanan dalam komunikasi verbal, juga entitas simbolik yang berpotensi membentuk realitas dan membangun versi-versi baru yang menandingi atau bahkan melawan versi besar yang sudah jadi komitmen kebangsaan. Ketika seseorang berteriak "anti kebinekaan" di tengah massa, sejatinya ia telah memproduksi realitas makna melalui pesan yang dilontarkan. Hal itu berpotensi jadi provokasi ketika memasuki ruang kesadaran orang lain.

Diksi tajam

Mulut dalam konteks sosial-politik mampu memproduksi "bahasa kerumunan"  yang provokatif. Pada peristiwa perjumpaan dalam kerumunan massa, orang, tokoh, atau orator cenderung terdorong memainkan diksi-diksi yang tajam dan panas; bisa untuk membakar semangat, memompa keberanian, bisa pula merampas perhatian/simpati massa. "Bahasa kerumunan" adalah bahasa permukaan, sederhana, komunikatif, provokatif, dan agitatif. Ini sesuai dengan sifat kerumunan yang lebih mengutamakan emosi daripada rasio. Logika dan penalaran pun cenderung macet atau tak berlaku.

Dengan mengangkut dan mengartikulasikan "bahasa kerumunan", mulut kini tak sekadar jadi alat ucap yang menyampaikan pesan, tetapi juga telah jadi panggung demi mendesakkan kepentingan dan agenda politik, bahkan ideologis. Tak bosan-bosan para pemuja mulut mengobral pernyataan, menuntut banyak hal, menggelembungkan egoisme kebenarannya di berbagai ruang dan waktu. Tak bosan-bosannya televisi mengekspos dan memberikan panggung kepada para pemuja mulut atas nama aktualitas peristiwa. Tiba-tiba media hadir menjadi "teror" di ruang-ruang pribadi dan keluarga.

Budayawan Umar Kayam pernah bilang, demokrasi itu selalu cerewet. Tetapi, bukan kecerewetan  waton suloyo (asal beda dan merasa paling benar), melainkan kecerewetan yang bernilai atau mengandung  gagasan bermutu dan penuh argumentasi demi mencapai nilai kebenaran yang (mendekati) ideal. Demokrasi tak pernah mengenal kebenaran tunggal, tetapi kebenaran plural yang berlapis-lapis dan memiliki relevansi dengan kepentingan kolektif. Sebutir kebenaran sangat bermakna di dalam menentukan "bulatan" kebenaran kolektif.

Yang terjadi di dalam "pesta mulut massal" bukan kecerewetan demokrasi seperti dikatakan Umar Kayam, melainkan kecerewetan yang dipompa kekuatan okol (otot) untuk menekan. Itu sama sekali tidak memberikan pendidikan politik bagi rakyat, kecuali sekadar menjadi teater, tontonan belaka yang membosankan, dan memboroskan energi. Bahkan, malah menambah rasa lelah rakyat yang dihajar mahalnya harga-harga kebutuhan pokok.

Masyarakat membutuhkan demokrasi yang selalu bergerak, dinamis. Namun, tidak sekadar berisi luapan kebebasan menyatakan pendapat atau perasaan tanpa etika dan norma, tetapi demokrasi menuju peradaban yang memuliakan kemanusiaan dan manusia, di mana hak-hak rakyat terpenuhi. Demokrasi membutuhkan kecerdasan, kearifan, serta kompetensi dan elegansi demi menjangkau cita-cita kolektif rakyat. Di sinilah mulut menemukan marwahnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar