Mulutmu,
Panggungmu
Indra Tranggono ;
Pemerhati Kebudayaan; Tinggal di
Yogyakarta
|
KOMPAS, 06 Februari 2017
Mulut
sebagai salah satu instrumen tubuh manusia merupakan pelantang yang
mengartikulasikan jiwa, pikiran, dan
perasaan. Sopan santun mulut sangat ditentukan keadaban pribadi sang pemilik.
Tinggi-rendahnya martabat seseorang sering juga diukur dari kemampuan
menjaga/mengelola mulut yang ia miliki.
Dalam
teks-teks budaya, mulut pun sering dihubungkan dengan risiko hukuman. Maka, ada
pepatah: ""mulutmu adalah harimaumu". Seruan klasik normatif
itu akhir-akhir ini dipelesetkan dengan pepatah "jarimu adalah
harimaumu" sejak ujaran kebencian merebak di media sosial (medsos).
Dunia digital mampu mengubah bahasa seiring dengan perubahan perilaku
(budaya) yang menyertainya.
Namun,
manusia kadang terlalu simplistik dalam membuat analogi. Pepatah
"mulutmu adalah harimaumu" sesungguhnya kurang tepat dan tidak adil
bagi sang harimau yang dicatut namanya. Bukankah harimau tidak akan mengerkah
kepala atau menerkam manusia jika ia tak diganggu dan terancam kehidupannya?
Harimau juga tak pernah pamer kekejaman atau kezaliman kepada manusia. Justru
manusia yang sering menzalimi harimau dengan merusak habitat, membinasakan,
dan mengambil belulangnya atas nama kerakusan dan sakit jiwa.
Maka,
ungkapan "mulutmu adalah harimaumu" mestinya bisa diganti dengan
pepatah "mulutmu adalah surga sekaligus nerakamu". Ini lebih
netral. Mulut memberi kita surga
ketika dikelola dengan baik dan memproduksi nilai-nilai kebajikan, Namun,
mulut juga bisa memberi neraka jika
dikelola dengan buruk. Kualitas manajemen dan kata-kata yang diproduksi mulut
juga menentukan kehormatan dan martabat seseorang.
Beda
mulut, beda pengelolaan dan beda pula output-nya. Manusia perlu menempuh
jalan kultural dan mobilitas vertikal
demi menjadi makhluk berperadaban. Pada dimensi personal, manusia
perlu untuk selalu transenden, menyerap nilai-nilai spiritual, baik yang
bersumber dari agama, sistem kepercayaan dan keyakinan yang dianut dan
diamalkan. Manusia juga perlu mengasah akal budi agar tajam/peka melalui
asketisme sehingga mampu bertemu dengan "aku"-nya yang sejati,
yakni "aku" yang inklusif, adil/obyektif, toleran, solider, dan
penuh luapan etika/etos.
Melalui
jalan spiritual dan kultural, manusia mampu mencapai kematangan akal-pikiran,
emosi dan perilaku, sehingga terlatih dan tertata dalam mengelola mulutnya.
Akhirnya, manusia jadi tak gampang memproduksi ujaran kebencian atau
penghakiman keburukan pada liyan. Tidak juga gampang menganggap dan mengucap
bahwa dirinyalah yang paling benar dan memojokkan orang atau kelompok lain
sebagai pihak yang salah, terkutuk, dan nista. Tidak mudah main gertak, main
ancam, atau memproduksi teror bagi orang lain yang berbeda keyakinan, keimanan,
kesukuan dan ras. Juga tidak ringan bicara untuk merobek-robek anyaman
kebangsaan, menista dasar negara, simbol-simbol negara dan konstitusi.
Kata
dan bahasa bukan sekadar kelisanan dalam komunikasi verbal, juga entitas
simbolik yang berpotensi membentuk realitas dan membangun versi-versi baru
yang menandingi atau bahkan melawan versi besar yang sudah jadi komitmen
kebangsaan. Ketika seseorang berteriak "anti kebinekaan" di tengah
massa, sejatinya ia telah memproduksi realitas makna melalui pesan yang dilontarkan.
Hal itu berpotensi jadi provokasi ketika memasuki ruang kesadaran orang lain.
Diksi tajam
Mulut
dalam konteks sosial-politik mampu memproduksi "bahasa
kerumunan" yang provokatif. Pada
peristiwa perjumpaan dalam kerumunan massa, orang, tokoh, atau orator
cenderung terdorong memainkan diksi-diksi yang tajam dan panas; bisa untuk
membakar semangat, memompa keberanian, bisa pula merampas perhatian/simpati
massa. "Bahasa kerumunan" adalah bahasa permukaan, sederhana,
komunikatif, provokatif, dan agitatif. Ini sesuai dengan sifat kerumunan yang
lebih mengutamakan emosi daripada rasio. Logika dan penalaran pun cenderung
macet atau tak berlaku.
Dengan
mengangkut dan mengartikulasikan "bahasa kerumunan", mulut kini tak
sekadar jadi alat ucap yang menyampaikan pesan, tetapi juga telah jadi
panggung demi mendesakkan kepentingan dan agenda politik, bahkan ideologis.
Tak bosan-bosan para pemuja mulut mengobral pernyataan, menuntut banyak hal,
menggelembungkan egoisme kebenarannya di berbagai ruang dan waktu. Tak
bosan-bosannya televisi mengekspos dan memberikan panggung kepada para pemuja
mulut atas nama aktualitas peristiwa. Tiba-tiba media hadir menjadi
"teror" di ruang-ruang pribadi dan keluarga.
Budayawan
Umar Kayam pernah bilang, demokrasi itu selalu cerewet. Tetapi, bukan
kecerewetan waton suloyo (asal beda
dan merasa paling benar), melainkan kecerewetan yang bernilai atau
mengandung gagasan bermutu dan penuh
argumentasi demi mencapai nilai kebenaran yang (mendekati) ideal. Demokrasi
tak pernah mengenal kebenaran tunggal, tetapi kebenaran plural yang
berlapis-lapis dan memiliki relevansi dengan kepentingan kolektif. Sebutir
kebenaran sangat bermakna di dalam menentukan "bulatan" kebenaran
kolektif.
Yang
terjadi di dalam "pesta mulut massal" bukan kecerewetan demokrasi
seperti dikatakan Umar Kayam, melainkan kecerewetan yang dipompa kekuatan
okol (otot) untuk menekan. Itu sama sekali tidak memberikan pendidikan
politik bagi rakyat, kecuali sekadar menjadi teater, tontonan belaka yang
membosankan, dan memboroskan energi. Bahkan, malah menambah rasa lelah rakyat
yang dihajar mahalnya harga-harga kebutuhan pokok.
Masyarakat
membutuhkan demokrasi yang selalu bergerak, dinamis. Namun, tidak sekadar
berisi luapan kebebasan menyatakan pendapat atau perasaan tanpa etika dan
norma, tetapi demokrasi menuju peradaban yang memuliakan kemanusiaan dan
manusia, di mana hak-hak rakyat terpenuhi. Demokrasi membutuhkan kecerdasan,
kearifan, serta kompetensi dan elegansi demi menjangkau cita-cita kolektif
rakyat. Di sinilah mulut menemukan marwahnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar