Dicari:
Gubernur Jadi Tim Sukses Pilpres 2019
Ardi Winangun ; Associate Researcher
LP3ES
|
DETIKNEWS,
15 Januari
2018
Pilkada 2018 sepertinya
pilkada yang menentukan dalam Pilpres 2019 sehingga untuk mengusung siapa
calon kepala daerah, terutama Pilkada di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur, demikian berbelit dan rumit. Calon yang sebelumnya sudah resmi
dinyatakan didukung bisa tiba-tiba dibatalkan, seperti dukungan Partai Golkar
kepada Ridwan Kamil sebagai cagub dalam Pilkada Jawa Barat tiba-tiba dicabut.
Demikian pula, dukungan PKS kepada Deddy Mizwar dalam Pilkada Jawa Barat
tiba-tiba dibatalkan.
Tak hanya dari internal
partai, calon yang sudah 100 persen didukung pun bisa mundur. Mundur bukan
karena mandatnya dicabut namun karena ia mengundurkan dirinya sendiri dengan
alasan tertentu, seperti cawagub Azwar Annas yang mengundurkan diri dari
gelanggang Pilkada Jawa Timur. Susahnya mencari calon tersebutlah yang
membuat 'Poros Baru' di Jawa Timur, yakni koalisi Gerindra, PAN, dan PKS,
bubar karena belum menemukan sosok yang cocok untuk diusung jadi cagub.
Jawa Barat, Jawa Tengah,
dan Jawa Timur, merupakan provinsi yang paling dipikirkan oleh partai politik
sebab wilayah ini merupakan kunci kemenangan dalam Pilpres. Jumlah pemilih di
Jawa Timur kisaran 30 juta, Jawa Barat hingga 32 juta, Jawa Tengah sampai 26
juta. Jumlah itu jauh sekali dengan penduduk di luar Jawa. Sumatera Utara
sebagai provinsi terpadat di luar Jawa saja hanya hampir 10 juta. Sedang
provinsi lain kisaran 1 sampai 7 juta. Dengan demikian menguasai Jawa Timur,
Jawa Tengah, dan Jawa Barat merupakan pintu kemenangan.
Dukungan yang sudah
dinyatakan dan kemudian dibatalkan, bisa jadi banyak pertimbangan yang
diambil oleh elite politik. Bisa jadi partai lebih memprioritaskan kadernya
sendiri, bisa pula karena elektabilitas yang didukung rendah, bisa pula
karena faktor chemistry antara elite politik dengan yang didukung tidak cair.
Dari sinilah maka terjadi bongkar pasang cagub dan cawagub.
Dalam Pilkada 2018, partai
politik memilih calon yang ada tidak hanya sekadar elektabilitas yang tinggi
namun ada pertimbangan lain yang sangat dijaga. Bila partai politik memilih
calon hanya pada elektablitas yang tinggi, bisa jadi Ridwan Kamil merupakan
calon yang paling banyak didukung oleh partai politik sebab Walikota Bandung
itu memiliki elektabilitas paling tinggi meninggalkan calon-calon yang lain.
Pertimbangan yang yang
sangat dijaga oleh partai politik sehingga tak memilih calon yang hanya
memiliki elektablitas tinggi itu terkait dengan Pilpres 2019. Dari pengalaman
Pilpres 2009 dan 2014, banyak kepala daerah yang menjadi tim sukses. Dalam
Pilpres 2009, Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi menjadi tim sukses Susilo
Bambang Yudhoyono. Begitu pula dalam Pilpres 2014, banyak kepala daerah yang
menjadi tim sukses baik di kubu Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
Dari sinilah maka partai
politik yang ada, terutama Gerindra, mencari kepala daerah yang kelak dalam
Pilpres 2019 mau menjadi tim suksesnya. Mencari calon yang mau berkomitmen
bahkan menuangkan janjinya dalam selembar surat bermeterai untuk sudi menjadi
tim sukses rupanya tidak mudah. Pernyataan dari calon yang didukung bahwa
dirinya siap menjadi tim sukses tidak serta merta diterima atau dipercaya
oleh partai politik. Twitwar antara elite PKS dan Partai Demokrat merupakan
dampak dari isu-isu seputar siapa yang hendak didukung oleh Deddy Mizwar
dalam Pilpres 2019 bila dirinya memenangi Pilkada Jawa Barat.
Untuk itulah agar tidak
terjadi 'pengkhianatan' maka partai-partai politik, terutama Gerindra,
melakukan langkah selektif dalam memilih calon gubernur. Gerindra dalam
memilih calon gubernur di Pilkada Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat
terkesan hati-hati dan tidak buru-buru. Mengejar kemenangan, iya; namun tak
mengejar sosok yang memiliki elektabilitas tinggi. Elektabilitas dan
popularitas bisa diciptakan menjelang Pilkada dilakukan.
Gerindra mencari
sosok-sosok yang mau berkomitmen, bersih, dan bukan politisi (lawas). Sosok
yang demikian sudah didapat Gerindra, yakni Sudirman Said yang didukung
sebagai cagub di Pilkada Jawa Tengah dan Mayjen TNI (Purn) Sudrajat dalam
Pilkada Jawa Barat. Kedua orang itu profesional dalam dunianya masing-masing.
Sudirman Said profesional dalam dunia pendidikan dan manajemen, sedang
Sudrajat professional dalam dunia militer dan diplomat.
Jauh dari partai politik,
bukan politisi, dan pofesional inilah yang dirasa aman bagi Gerindra. Sebagai
sosok profesional dan bukan politisi maka pikiran mereka lurus-lurus saja,
dan tak mudah tergoda oleh kepentingan politik. Sosok seperti ini juga sosok
yang tahu diri dan tahu utang budi. Ini berbeda dengan sikap politisi. Dengan
demikian bila mereka menjadi gubernur maka mereka akan menjadi sosok yang
loyal.
Bila yang dipilih
politisi, hal demikian akan membahayakan bagi Gerindra. Sosok tersebut tidak
hanya ingkar janji namun bisa jadi melawan, seperti yang terjadi dalam
Pilkada Jakarta 2012. Mereka tidak hanya tak berkomitmen dalam mendukung
Prabowo dalam Pilpres 2014 bahkan menjadi rival dalam Pilpres tahun itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar