Logika
Keliru Otda
Asrinaldi Asril ; Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas
|
KOMPAS, 25 Januari 2017
Awal
2017 mulai dirasakan dampak pemindahan sebagian urusan pemerintah kabupaten
ke provinsi. Misalnya, pemindahan urusan pendidikan, khususnya SMA dan SMK,
membawa persoalan baru dalam hal pemindahan aset, SDM, dan keuangan. Apalagi
menyangkut keuangan karena tak semua provinsi sanggup membiayai gajidan
tunjangan guru yang ada. Sementara, di sisi lain, masyarakat mulai khawatir
dengan kelangsungan sekolah anak mereka yang tak lagi mendapatkan biaya
pendidikan gratis. Ketika kewenangan di bidang pendidikan ini masih berada di
kabupaten/kota, biaya pendidikan masih bisa digratiskan. Namun, sejak
dipindahkan karena besarnya biaya pendidikan yang harus ditanggung pemprov,
sudah ada perbincangan untuk memungut kembali uang pendidikan kepada siswa
SMA dan SMK.
Yang
juga bermasalah adalah bidang pertambangan. Urusan pertambangan selama ini
belum lancar saat dikelola pemkab/pemkot. Ketika kemudian kewenangan
dipindahkan ke pemprov, bermunculan persoalan baru. Misalnya, terkait izin
galian C harus diurus masyarakat ke pemprov, padahal pemkab/pemkot yang lebih
memahami keadaan daerahnya. Dampaknya terjadi kerusakan lingkungan tanpa ada
tindakan dari pemkab/pemkot yang merasa itu bukan bagian kewenangannya.
Dalam
negara kesatuan, kewenangan dan urusan daerah ditentukan oleh pemerintah
pusat. Namun, bukan berarti pemerintah pusat ”semena-mena” menentukan
kewenangan apalagi dengan cara memusatkan kembali kewenangan itu.
Kecenderungan yang terlihat dengan terbitnya UU Nomor 23 Tahun 2014 adalah
upaya penguatan peran negara dalam wilayahnya. Caranya dengan memperkuat
kembali pemprov sebagai wakil pusat di daerah. Memang tak ada yang salah
dengan cara ini. Namun, idealnya keterlibatan pemerintah ini cukup pada
regulasi dan pengawasan dan bukan menjadi pelaksana langsung dari pelaksanaan
otonomi daerah tersebut. Bahkan, kecenderungan memperkuat kedudukan
pemerintah pusat di daerah juga dapat dilihat dari keberadaan instansi
vertikal yang masih banyak dijumpai di daerah. Sayangnya, UU ini juga
mengabaikan adanya keberagaman daerah dengan potensi daerah yang
berbeda-beda.
Padahal,
NKRI harus dibangun dengan dasar keberagaman dan menjadi bagian
pengejawantahan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Karena itu, tidak mengherankan
pola yang dilakukan ini memiliki kemiripan dengan praktik otonomi nyata dan
bertanggung jawab yang pernah dilaksanakan pada masa rezim Orde Baru.
Desentralisasi asimetris
Kita
sepakat negara kesatuan ini adalah bentuk final bagi kelanjutan cita-cita
bangsa Indonesia. Meski begitu, tentu ada ruang bagi masyarakat di daerah
ikut terlibat seluas mungkin dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.
Karena itu, pelaksanaan negara kesatuan akan terasa manfaatnya jika yang
dikembangkan adalah pelaksanaan prinsip desentralisasi politik, keuangan, dan
administrasi. Sayangnya, pola desentralisasi ini tak lagi seperti itu. Malah
yang terlihat keinginan pemerintah pusat melaksanakan negara kesatuan dengan menarik
kembali kewenangan/urusan yang sudah dinikmati masyarakat di daerah.
Mestinya
kekeliruan itu tak perlu terulang kembali kalau saja hakikat desentralisasi
kekuasaan dapat dipahami dengan baik oleh pembuat kebijakan. Resentralisasi
kekuasaan begitu nyata terefleksi dari UU Pemda sekarang ini. Indikasinya,
pembagian urusan yang yang justru menempatkan pemerintah pusat sebagai
”pemilik” semua kewenangan dan urusan yang ada. Paling tidak itu terjadi pada
tiga urusan yang diatur dalam UU ini, yaitu urusan absolut, urusan konkuren,
dan urusan pemerintahan umum.
Lalu
di mana otonomi daerahnya? Memang tanggung jawab akhir keberhasilan
penyelenggaraan pemerintahan dalam negara kesatuan ada pada pemerintah pusat.
Namun, bukan berarti pemerintah pusat melaksanakan semua urusan yang sudah
diserahkan ke daerah. Justru dalam negara Indonesia yang majemuk perlu
dibangun kepercayaan kepada daerah untuk dapat menyelenggarakan kekuasaan
negara. Kepercayaan inilah sebenarnya modal utama menjaga keutuhan negara
kesatuan ini.
Salah
satu wacana menarik dalam pelaksanaan otda beberapa tahun terakhir adalah
bagaimana melaksanakan desentralisasi asimetris. Dalam konsepnya
desentralisasi asimetris adalah penyerahan kewenangan dan urusan pemerintahan
kepada daerah dengan mengacu kemampuan, kebutuhan dan keunikan daerah.
Kemampuan daerah tentu merujuk pada banyak variabel, seperti SDM, potensi
daerah, geografi, sosial, budaya dan bahkan geopolitiknya. Begitu juga
kebutuhan daerah sangat bergantung pada keinginan bersama masyarakatnya untuk
melaksanakan urusan yang ingin dilaksanakan sesuai kebutuhan mereka.
Sementara
keunikan adalah karakteristik yang menjadi identitas daerah yang akan
menentukan keberhasilan pelaksanaan otda. Karena dalam realitanya, daerah
sangat beragam, perlu pendekatan berbeda untuk membangun apalagi
menyatukannya ke dalam bingkai NKRI.
Praktik
desentralisasi asimetris ini bukanlah sesuatu yang baru dalam penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia. Misalnya, pengakuan terhadap keistimewaan
Yogyakarta, pelaksanaan kekhususan Jakarta sebagai ibu kota negara, serta UU
yang mengatur otonomi khusus Aceh dan Papua. Desentralisasi asimetris ini
akan mempercepat kemajuan daerah dan yang terpenting adalah memperkuat negara
kesatuan.
Sungguh
mengherankan jika akhir-akhir ini pemerintah pusat lebih memilih menguatkan
kewenangannya dengan cara membuat daerah semakin bergantung kepada pusat.
Praktik ini terlihat dengan adanya mekanisme konsultasi yang dilakukan pemda
ke Kemendagri. Fenomena ini kian menegaskan bahwa otonomi daerah belum
dilaksanakan sepenuh hati.
Salah
satu penyebabnya, belum semua peraturan pelaksana UU No 23/2014 tersedia
sehingga pemda tak dapat melaksanakan fungsinya dengan baik. Padahal, UU ini
mengamanatkan pemerintah menyelesaikan 28 peraturan pemerintah, 3 peraturan
presiden, dan 7 peraturan menteri, dua tahun sejak diterbitkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar