Ujian
Konstitusional
Trisno S Sutanto ; Peneliti dan Aktivis Masyarakat Dialog Antar-Agama
|
KOMPAS,
17 April
2018
Hampir setengah tahun
berlalu sejak Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang membuka peluang
pencantuman kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam kolom di KTP
elektronik dan data kependudukan lain.
Namun, implementasi riil
putusan MK itu selalu menghadapi kendala atau berputar-putar tak menentu dan malah
menerbitkan rasa curiga bahwa ”nasib” putusan tersebut lebih banyak akan
ditentukan oleh tarik ulur kepentingan politik sesaat.
Ini sungguh aneh karena
putusan MK tersebut sangat jelas dan tegas, juga visioner karena membuka
kemungkinan bagi penataan ulang sistem demokrasi- konstitusional yang menjadi
imperatif proses reformasi sejak Mei 1998. Lalu di mana kemacetan itu
terjadi? Apa masalahnya sehingga putusan yang tegas, bersifat mutlak dan
final tersebut selalu tersendat-sendat dalam implementasinya?
Berbeda,
tetapi setara
Sudah sangat lama kelompok
penghayat kepercayaan—atau mereka yang selama ini meyakini dan dengan tekun
merawat spiritualitas leluhur Nusantara—dinafikan keberadaannya karena negara
tak mengakui kepercayaan mereka. Ini tecermin jelas dalam Pasal 61 Ayat (1)
dan (2) UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan dan
revisinya (untuk kepentingan KTP elektronik) dalam Pasal 64 Ayat (1) dan (5)
UU Nomor 24 Tahun 2013. Pasal-pasal itu memerintahkan pengosongan kolom agama
dalam KTP dan dokumen kependudukan lain ”bagi penduduk yang agamanya belum
diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau
bagi penghayat kepercayaan” (cetak miring ditambahkan). Jelas ketentuan itu
dinilai sangat diskriminatif sehingga digugat ke MK.
Setelah melalui perdebatan
cukup panjang, lewat Putusan Nomor 97/PUU-XIV/2016 para hakim MK secara bulat
mengabulkan semua gugatan dan menyatakan pasal-pasal itu bertentangan dengan
UUD 1945. Dalam amar putusan ditegaskan, kata ”agama” dalam pasal-pasal itu
”tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak
termasuk ’kepercayaan’.” Karena itu, MK memerintahkan agar dalam KTP dan
dokumen kependudukan lain diizinkan alternatif pencantuman ”kepercayaan”,
selain ”agama” seperti umumnya.
Putusan yang diambil MK
itulah yang dinilai sebagai langkah terobosan dan membawa angin segar bagi
perjuangan antidiskriminasi. Bahkan, jika diletakkan dalam konteks
pembangunan sistem demokrasi konstitusional, putusan tersebut sungguh
visioner. Mengapa?
Pada satu sisi, putusan MK
itu mempersoalkan ”politik pembedaan” yang selama ini diwariskan dan menjadi
akar diskriminasi terhadap kelompok penghayat kepercayaan. Di situ ada
pembedaan status, perlakuan, dan jaminan negara antara kelompok enam ”agama
besar” dan mereka yang digolongkan ”belum beragama” atau ”penghayat
kepercayaan”. Kedua kelompok itu tak saja diperlakukan berbeda, tetapi juga
tidak setara dalam menikmati hak-hak mereka sebagai warga negara, seperti
dokumen kependudukan yang nantinya berimplikasi pada akses terhadap
sumber-sumber daya ekonomi, sosial, dan lainnya.
Pembedaan perlakuan dan
ketidaksetaraan inilah yang diterobos oleh putusan historis MK. Memang benar
dalam putusannya MK tidak menyamakan keduanya. Perbedaan kedua kelompok
tersebut tetap dipertahankan oleh MK. Namun, walau berbeda, sebagai sesama
warga negara kedua kelompok itu harus diperlakukan setara dan tanpa pembedaan
atas dasar apa pun, termasuk kepercayaan. Prinsip dasar ini, yakni ”berbeda
tetapi setara”, juga ditegaskan dalam konstitusi (lihat Pasal 28E Ayat (1)
dan (2) UUD 1945).
Dibaca begitu, maka pada
sisi lain putusan MK sungguh bernilai visioner karena menggemakan kembali
tuntutan ”politik kesetaraan” yang menjadi imperatif reformasi Mei 1998. Sebab,
runtuhnya rezim Orde Baru membuka peluang emas untuk menata kembali sistem
demokrasi konstitusional di mana kesetaraan warga negara dalam menikmati
hak-haknya merupakan prinsip paling dasar yang harus dihormati. Kita tahu
itulah tuntutan utama yang menggerakkan reformasi dua dekade lalu.
Pertaruhan
politik kenegaraan
Namun, setelah hampir
setengah tahun berlalu, implementasi riil putusan historis MK tersebut sampai
kini belum jelas arahnya. Bagi banyak aktivis dan komunitas penghayat,
ketidakjelasan itu jadi beban tersendiri dan menerbitkan rasa frustrasi.
Salah satu kendala
terbesar, dan mungkin tantangan paling berat, bagi implementasi putusan MK
itu ada pada penataan ulang birokrasi pemerintahan. Ini bukan hanya mencakup
masalah teknis administratif yang harus diakui cukup rumit, melainkan juga
bisa ditengarai masalah yang lebih subtil terletak pada kultur birokrasi.
Maksud saya, ”politik pembedaan” di atas selama ini telah membentuk cara
bagaimana birokrasi pemerintahan menyikapi keberadaan komunitas-komunitas
penghayat dan tuntutan mereka.
Bahkan, lebih jauh lagi,
warisan ”politik pembedaan” ini juga membentuk dan memengaruhi persepsi
kelompok-kelompok dalam masyarakat. Sudah banyak kajian dan pemantauan yang
memperlihatkan bagaimana komunitas penghayat kerap harus mengalami stigma
buruk, dituduh sebagai ajaran sesat dan berbahaya, dan tuntutan hak-hak
mereka dianggap upaya menyamakan agama dengan kepercayaan, atau menciptakan
”agama baru” yang bisa jadi saingan.
Padahal, sebagaimana
diurai di atas, keputusan MK tidak bermaksud menyamakan agama dengan
kepercayaan, tetapi mau menggarisbawahi prinsip dasar kewarganegaraan:
sekalipun masing-masing kelompok atau individu berbeda, sebagai warga di
dalam negara yang demokratis mereka harus diperlakukan setara. Ini merupakan
pertaruhan politik kenegaraan yang harus ditegaskan oleh pemerintah.
Sayang sekali pemerintah
justru memberikan kesan bingung menghadapi tarik ulur kepentingan politik
yang kemudian berkembang. Hal ini tecermin dari wacana yang berkembang untuk
membuat pembedaan KTP antara kelompok
pemeluk agama dan kelompok penghayat kepercayaan. Jadi, nantinya akan ada KTP
bagi kelompok ”agama besar” dan KTP bagi kelompok penghayat. Sungguh absurd,
hanya karena alasan kepercayaan yang diyakini, KTP kelompok-kelompok
masyarakat harus dibedakan! Tentu saja, jika wacana ini benar-benar
diimplementasikan, lagi-lagi kita akan mewariskan ”politik pembedaan” yang
menafikan jaminan kesetaraan warga.
Karena itu, dibutuhkan
keberanian dan kemauan politik yang sungguh kuat dari presiden sebagai
pelaksana konstitusi untuk menegaskan politik kenegaraan dan mengembalikan
arah reformasi setelah hampir dua dekade berlangsung. Tanpa ketegasan
tersebut, putusan MK yang sesungguhnya bersifat absolut, final, dan mengikat
justru akan menjadi ”bola panas” yang berkembang liar di tahun politik.
Apakah ujian
konstitusional ini akan dapat dilewati? Mari kita tunggu. ●
|
Dapatkan Penghasilan Tambahan Dengan Bermain Poker Online di www , SmsQQ , com
BalasHapusKeunggulan dari smsqq adalah
*Permainan 100% Fair Player vs Player - Terbukti!!!
*Proses Depo dan WD hanya 1-3 Menit Jika Bank Tidak Gangguan
*Minimal Deposit Hanya Rp 10.000
*Bonus Setiap Hari Dibagikan
*Bonus Turn Over 0,3% + 0,2%
*Bonus referral 10% + 10%
*Dilayani Customer Service yang Ramah dan Sopan 24 Jam NONSTOP
*Berkerja sama dengan 4 bank lokal antara lain : ( BCA-MANDIRI-BNI-BRI )
Jenis Permainan yang Disediakan ada 8 jenis :
Poker - BandarQ - DominoQQ - Capsa Susun - AduQ - Sakong - Bandar Poker - Bandar 66
Untuk Info Lebih Lanjut Dapat menghubungi Kami Di :
BBM: 2AD05265
WA: +855968010699
Skype: smsqqcom@gmail.com
bosku minat daftar langsung aja bosku^^