Optimalisasi
Manajemen Citra Indonesia
Arief Ilham Ramadhan ; Diplomat Indonesia
|
KORAN SINDO, 21 Januari
2017
Dalam
upaya mencapai salah satu dari Nawacita yang berbunyi “Mewujudkan kemandirian
ekonomi dengan menggerakkan sektorsektor strategis ekonomi domestik,” Istana
telah mencanangkan target-target peningkatan ekonomi dari sumber luar negeri
yang cukup ambisius.
Seperti
misalnya peningkatan ekspor rata-rata sebesar 11% hingga 2019, pencapaian
wisatawan mancanegara sebanyak 20 juta orang pada 2019, dan FDI inflow
sebesar USD72,46 miliar pada 2019. Target tersebut sangat menantang bagi
instansi-instansi pemangku kepentingan. Pasalnya, salah satu modal paling
penting yang dibutuhkan untuk mendukung pencapaian target tersebut belum
secara optimal dimiliki dan dikelola oleh Indonesia.
Modal
tersebut adalah reputasi atau citra positif. Jangankan citra positif, sebagian
masyarakat internasional bahkan tidak pernah mendengar sama sekali nama
“Indonesia” atau tidak tahu di bagian bumi mana Indonesia berada. Padahal,
mendiang Wallace “Wally” Olins, praktisi branding legendaris asal Inggris,
pernah menegaskan bahwa citra menentukan kapasitas sebuah negara dalam
mempromosikan potensi perekonomiannya.
Kadang
kala kurang optimalnya “nilai jual” sebuah produk bukan disebabkan oleh
buruknya kualitas produk tersebut, melainkan semata karena kurangnya
informasi yang beredar di pasar mengenai produk tersebut dan juga absennya
citra positif akan produsennya. Kurang lebih hal tersebutlah yang dihadapi
oleh Indonesia saat ini.
Presiden
Jokowi memahami tantangan itu. Pada awal 2016 Jokowi menginstruksikan
jajarannya untuk mengupayakan penguatan citra Indonesia melalui penyusunan
nation branding Indonesia. Saat ini nation branding tersebut tengah digodok
oleh instansi-instansi terkait di bawah koordinasi Kantor Staf Presiden.
Sebuah langkah yang patut diapresiasi.
Diplomasi Publik dan
Nation Branding
Pemerintah
Indonesia sebenarnya telah cukup lama melakukan upaya manajemen citra di
tingkat global, yaitu sejak dibentuknya Direktorat Jenderal Informasi dan
Diplomasi Publik di Kementerian Luar Negeri pada 2001. Instrumen yang digunakan
oleh Kementerian Luar Negeri adalah diplomasi publik, yaitu upaya negara
untuk mempengaruhi preferensi publik asing dengan menggunakan aset-aset soft
power (nonmiliter) untuk mencapai kepentingan nasional negara tersebut.
Secara
umum, tujuan diplomasi publik adalah citra positif. Selain Kementerian Luar
Negeri, sejumlah instansi pemerintah lainnya seperti Kementerian Perdagangan,
Kementerian Pariwisata, dan BKPM juga menjalankan program- program manajemen
citra di tingkat global, yaitu dengan menggunakan instrumen nation branding.
Namun,
selama ini masing-masing instansi menjalankan kegiatan-kegiatan manajemen
citra tersebut secara sporadis dan minim koordinasi, tanpa diikat oleh tujuan
bersama dan targettarget yang jelas. Sekilas diplomasi publik serupa dengan
nation branding. Keduanya memang berbicara mengenai manajemen citra.
Namun,
secara konseptual keduanya memiliki pendekatan yang berbeda dalam melakukan
manajemen citra tersebut. Misalnya dari segi tujuan, jika nation branding
memperjuangkan kepentingan ekonomi, maka diplomasi publik lebih banyak
menyasar kepentingan politik, walau dapat juga dimanfaatkan untuk kepentingan
ekonomi dan sosial budaya.
Dari
segi strategi yang diterapkan, nation branding lebih mengedepankan komunikasi
satu arah dan menonjolkan visual serta keunikan dan keunggulan komparatif,
sedangkan diplomasi publik sebisa mungkin menggunakan komunikasi dua arah
(dialog dan kolaborasi) dan justru mencari persamaan di antara user dengan
audience-nya.
Dari
perbedaan konseptual tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa nation branding
berbicara mengenai manajemen citra untuk kepentingan komersial jangka pendek,
sedangkan diplomasi publik berbicara mengenai komunikasi untuk membangun
kepercayaan dan hubungan jangka panjang.
Nation
branding kuat dalam merepresentasikan produk, sementara diplomasi publik
cakap dalam mengomunikasikan nilai-nilai. Oleh karena itu, untuk mencapai
target maksimal, maka nation branding harus berjalan beriringan dengan
diplomasi publik.
Nation
branding dapat mengambil peran pada penyusunan ide besar image creation atau
brand yang ingin “dijual” dan penyusunan materi-materi. Sementara, diplomasi
publik dapat ditugaskan untuk mengomunikasikan brand tersebut kepada publik
internasional.
Memanfaatkan Diplomasi
Budaya
Aktivitas
nation branding yang berlangsung dengan komunikasi satu arah dan menonjolkan
visual dan simbol kerap kali dipandang sebagai iklan belaka, atau lebih
buruk, sebagai satu bentuk propaganda. Kita bisa saja ujuk-ujuk datang ke
suatu negara yang masyarakatnya asing dengan Indonesia lalu memasang reklame
bertulisan Wonderful Indonesia, namun hasilnya tidak akan maksimal.
Sangat
sulit bagi reklame semata untuk membentuk persepsi baik akan Indonesia. Dalam
konteks ini diplomasi publik dapat lebih berperan. Bentuk komunikasi
diplomasi publik yang berlangsung dua arah dapat lebih tepat menyasar hati
dan pikiran (heart and mind) publik asing. Bentuk diplomasi publik yang
paling tepat untuk dimanfaatkan untuk tugas tersebut adalah diplomasi budaya.
Sebuah
laporan yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat pada
2005 secara tegas menyebutkan bahwa diplomasi budaya adalah poros dari
diplomasi publik. “Nilai-nilai (sebagai bagian dari brand) sebuah bangsa
paling tepat direpresentasikan melalui kebudayaan,” sebut laporan tersebut.
Sementara
dalam hasil riset Demos, sebuah lembaga think-tank Inggris, disebutkan bahwa
kebudayaan memiliki kemampuan untuk mengomunikasikan nilai-nilai dan
berbicara kepada orangorang dengan cara yang sangat halus dan hampir tidak
kentara. Sebagai contoh, bisa dilihat bagaimana Amerika Serikat berhasil
menggunakan film, program radio, poster, pameran foto, komik, pertunjukan
boneka, dan sebagainya sebagai pelumas penetrasi produk-produknya ke benua
biru Eropa yang telah dimulai sejak diluncurkannya Marshall Plan pada 1947.
Atau
bisa juga belajar bagaimana diplomasi taekwondo Korea Selatan berperan besar
membuka jalan bagi penetrasi produk-produknya ke Afrika Selatan. Patut
jugadicermaticara Thailandmelalui program Kitchen of the World (upaya
meningkatkan jumlah restoran Thailand di seluruh dunia dari 6.875 di 2003
menjadi 20.000 di 2008) yang telah berhasil mengeksploitasi kekayaan
kulinernya untuk keuntungan di sektor pariwisata.
Dalam
Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri yang disampaikan pada 10 Januari
2017 kemarin, disebutkan bahwa tahun ini pemerintah Indonesia akan secara
serius menggarap pasar non-tradisional, khususnya pasar Afrika dan Amerika
Latin. Upayanya adalah dengan melakukan tur ke kedua kawasan tersebut.
Walau
tidak disebutkan, dapat dikira-kira tur dimaksud akan berbentuk misi
diplomasi ekonomi dan misi dagang. Sebagai masukan kepada pemerintah, selain
misi dagang, penguatan diplomasi budaya sebagai upaya manajemen citra di
kedua kawasan tersebut adalah hal mutlak yang harus dilakukan agar hasil
maksimal dapat dicapai.
Untuk
ke depan, setidaknya terdapat empat hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan
oleh pemerintah terkait manajemen citra Indonesia di tingkat global. Pertama,
pentingnya inkorporasi diplomasi publik di dalam grand design nation branding
yang saat ini tengah dibahas.
Kedua,
perlunya peningkatan anggaran diplomasi publik Kementerian Luar Negeri,
khususnya terkait kegiatan- kegiatan diplomasi budaya di negara-negara pasar
nontradisional. Ketiga, perlunya peningkatan kapasitas diplomat Indonesia
terkait manajemen citra dan kebudayaan secara berkesinambungan.
Keempat,
mulai perlu dipikirkan mengenai bentuk institusi pengelolaan citra Indonesia
ke depannya, apakah tetap seperti saat ini, atau perlu dibentuk institusi
tunggal, seperti mengambil model Inggris yang semi-pemerintah dengan British Council-
nya, atau mengikuti model Prancis yang terpusat dan berada di bawah
koordinasi kedutaannya dengan Institut Francais-nya, dan sebagainya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar