Ruang
Ekspansi Partai
Bestian Nainggolan ; Litbang Kompas
|
KOMPAS,
27 Desember
2017
Di tengah penurunan pamor
partai politik, perhelatan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 menjadi momen pembuktian
paling ideal bagi parpol untuk menjadi sandaran publik berdemokrasi.
Saat ini memang menjadi
serba problematik memandang keberadaan parpol beserta idealisasi fungsinya
dalam kehidupan politik negeri ini. Di satu sisi, pilihan tepat kehidupan berdemokrasi
yang menjadi komitmen bangsa majemuk ini menempatkan parpol sebagai pilar
penopang bangsa dalam mengejar tujuan kesejahteraan masyarakat.
Namun, jika dihadapkan
pada realitas politik yang berlangsung, idealisasi partai semacam itu masih
jauh panggang dari api. Sepanjang 2017, misalnya, sebagian partai masih
berkutat pada persoalan internal. Konflik internal kepengurusan menjadi
persoalan klasik kepartaian. Konflik dalam perebutan legitimasi kepemimpinan
masih terjadi di antara kekuatan faksi-faksi partai yang terbentuk. Hanya
partai-partai yang dibangun dan dikendalikan oleh kekuatan personal
pendirinya yang seolah relatif terbebas konflik semacam ini. Akan tetapi,
personalistic parties semacam ini pun sebenarnya dihadapkan pula pada
persoalan lain yang tidak kalah krusial terkait alih generasi kepemimpinan.
Sementara di sisi yang
lebih eksistensial, pamor partai di mata publik semakin turun. Indikasi
paling jelas, penguasaan jumlah suara yang berhasil dikuasai partai dalam
pemilu. Meskipun jumlah pemilih pada Pemilu 1999 hingga 2014 semakin
meningkat, terdapat kecenderungan penurunan jumlah pemilih yang berhasil
dikuasai partai. Sekalipun pada sebagian partai terdapat peningkatan, relatif
hanya bertahan dalam dua periode pemilu dan selanjutnya menurun.
Pemandangan lain, partai
juga masih tetap dilirik sebelah mata oleh sebagian besar masyarakat.
Penyelenggaraan survei opini publik di negeri ini, misalnya, kerap
menempatkan parpol bersama perwakilannya di DPR sebagai institusi yang
dinilai paling minim menuai apresiasi. Ironisnya, partai bahkan lebih banyak
ditempatkan sebagai sumber permasalahan dibandingkan sebagai penyelesai
masalah. Yang tak kurang mengkhawatirkan, dari waktu ke waktu pandangan minor
semacam itu tak juga beranjak, yang sekaligus menunjukkan belum ada kekuatan
signifikan yang mampu membalikkan posisi inferioritas partai di mata publik.
Tiga
perubahan
Dengan segenap penilaian
itu, masa depan partai tampaknya jadi kian kabur. Belakangan ini pun arus
perubahan politik yang tengah berlangsung sangat potensial meminggirkan
keberadaan parpol. Setidaknya terdapat tiga level perubahan yang terkait
langsung dengan sepak terjang parpol. Pertama, perubahan pada level struktur
perundang-undangan. Lahirnya UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
menyajikan warna baru kontestasi politik negeri ini, khususnya dalam
penyelenggaraan dan persyaratan peserta pemilu. Apabila pemilu-pemilu
sebelumnya dilakukan dalam waktu berbeda, pemilu legislatif dan pemilu
presiden kali ini diselenggarakan serentak 17 April 2019.
Selain itu, diberlakukan
ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold)
yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu dengan
pemenuhan persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi
DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional. Penentuan pemenuhan
persyaratan didasarkan pada pemilu anggota DPR sebelumnya (Pemilu 2014).
Implikasi dari perubahan
struktur ini menyiratkan posisi tawar semua parpol peserta pemilu relatif tak
lagi sama dan sebesar masa sebelumnya. Penyelenggaraan pemilu legislatif dan
pilpres secara serempak, misalnya, justru potensial mengalihkan antusiasme
politik para pemilih yang lebih banyak tertuju pada pertarungan sosok-sosok
pasangan calon presiden ketimbang parpol.
Begitu pula pemberlakuan
ambang batas pencalonan dalam Pilpres 2019, yang pada praktiknya akan lebih
banyak memaksa partai-partai berkoalisi dalam penentuan pasangan capres.
Kalkulasi berdasar UU tersebut, besaran ambang batas hanya potensial memberi
ruang probabilitas terhadap empat pasang capres. Bahkan, berdasarkan realitas
perhitungan hasil Pemilu Legislatif 2014, justru menjadi lebih kecil lagi.
Diperkirakan menjadi 2-3 kombinasi pasangan capres.
Kedua, parpol dihadapkan
pada perubahan di level elektoral ataupun pemilih yang kini realitasnya lebih
terfokus pada persaingan dua kekuatan. Menjadi berbeda dibandingkan dengan
peta persaingan pemilu sebelumnya, Pemilu 2014 menyajikan suatu kontestasi
yang berkelanjutan. Kemenangan Joko Widodo (Jokowi) atas Prabowo Subianto
dalam Pemilu 2014 tak mengendurkan arus dukungan kedua kelompok simpatisan.
Pasca-Pemilu 2014 aura persaingan masih terus berlanjut. Dalam benak pemilih,
kontestasi politik kepemimpinan nasional seolah termanifestasikan hanya pada
kedua sosok tersebut.
Kondisi ini tergambarkan
dari hasil survei periodik pilihan publik, di mana sejak awal 2015 hingga
kini, pilihan responden lebih tertuju pada sosok Jokowi dan Prabowo.
Sekalipun pada beberapa kesempatan muncul sejumlah sosok pemimpin lain,
popularitas maupun keterpilihannya tergolong kurang signifikan. Rentang jarak
muncul sosok-sosok selain Jokowi dan Prabowo masih teramat jauh. Dominasi
politik kedua sosok pada sisi lain menjadi pendeterminasi kekuatan elektoral parpol.
Ketertarikan publik terhadap partai semata-mata disebabkan keberadaan sosok
yang menjadi representasi partai itu. Partai-partai politik pendukung Jokowi,
seperti PDI Perjuangan (PDI-P), sejauh ini turut menikmati surplus
keberhasilan kinerja yang ditampilkan Jokowi sebagai presiden. Jelas bukan
semata-mata karena kiprah partai.
Hasil survei Kompas
menunjukkan, peningkatan apresiasi publik terhadap Jokowi diikuti peningkatan
elektabilitas PDI-P. Artinya, sampai pada titik tertentu sosok Jokowi yang bukan
ketua umum partai turut menjadi penentu popularitas maupun elektabilitas
partai. Begitu pula pada sisi lain, korelasi positif yang terbangun antara
Prabowo dan elektabilitas Partai Gerindra. Malah, Prabowo yang berperan
sebagai pendiri dan sekaligus ketua umum partai menjadi pendeterminasi utama
elektabilitas Gerindra.
Perubahan pada level
elektoral pemilih ini secara langsung turut memberi tekanan terhadap posisi
eksistensial parpol. Posisi dan daya pikat elektoral partai lebih banyak
disebabkan oleh keterkaitan publik terhadap sosok ketimbang fungsi maupun
peran yang diusung partai.
Ketiga, kecenderungan
pewacanaan maupun praktik politik belakangan ini yang lebih menguat pada arus
persoalan berbasis politik identitas. Setelah Pemilu 2014 yang membelah
pemilih dalam kelompok-kelompok yang tegas berseberangan, kekuatan politik
berbasis identitas menjadi kian menonjol. Pilkada DKI Jakarta menjadi puncak
kontestasi yang menghadirkan secara riil kelompok politik pengusung identitas
keagamaan.
Dalam pola pengelompokan
berbasis identitas semacam ini, posisi partai justru menjadi rumit. Di tengah
arus penguatan politik identitas keagamaan, pola pengelompokan partai tidak
selalu berjalan berdasar pada basis ideologi yang diusungnya. Sejauh ini, tak
semua partai yang mengusung simbol keagamaan berpadu dalam arus perjuangan
identitas. Begitu pula bagi partai-partai politik yang mengusung paham
kebangsaan yang di antaranya justru menjadi semakin dekat pada perjuangan
identitas keagamaan. Kecenderungan kepentingan pragmatik lebih nyata
dibandingkan ideologis maupun program.
Dalam format dan praktik
politik kepartaian saat ini, berbagai perubahan di atas cenderung menjadi
ancaman. Akan tetapi, jika dipandang dari sisi sebaliknya, momen semacam itu
dapat pula dianggap sebagai titik balik dari stagnasi fungsi dan peran
partai. Kondisi yang kini tengah berlangsung, perubahan struktur
perundang-undangan politik yang semakin mempersempit ruang gerak parpol dan
pengerucutan kekuatan politik dalam dua kubu yang berseberangan secara tidak
langsung menggiring perpolitikan negeri ini pada arus dua kekuatan politik.
Pembakuan
format politik
Namun, di tengah arus
keterpurukan partai, proses politik yang demikian justru dapat menjadi suatu
alternatif tawaran dalam pembakuan format politik maupun praktik sistem
kepartaian negeri ini. Dalam sistem perpolitikan yang saling terpilah tegas
(mutually exclusive), parpol akan memiliki ruang yang lebih jelas dalam
mendefinisikan garis perjuangan ideologi, menggagasnya dalam program perjuangan,
hingga mewujudkannya dalam praktik politik yang dijalankan. Konstituen
pemilih pun dapat suatu kejelasan pilihan yang didasarkan pada pertimbangan
terhadap warna ideologi, gagasan, hingga program-program yang dijalankan.
Tawaran semacam ini
menjadi kian menarik digagas dalam ajang kontestasi politik pada Pilkada 2018
dan puncaknya pada Pemilu Legislatif dan Presiden 2019. Dalam Pilkada 2018,
misalnya, pertarungan perebutan pengaruh dukungan politik di 171 daerah
terlalu kompleks jika sepenuhnya berjalan tanpa garis pemilahan yang tegas di
antara calon kepala daerah yang bertarung. Pada penyelenggaraan dua pilkada
serentak sebelumnya, terlihat benar bagaimana persoalan-persoalan riil daerah
yang seharusnya dipertentangkan pola penyelesaiannya oleh setiap kekuatan
calon kepala daerah dalam wujud tawaran-tawaran program berbasis ideologi dan
gagasan original kepartaian tidak banyak terdengar.
Setiap calon kepala daerah
cenderung memajukan visi kepemimpinan maupun program kerja individual yang
terlepas dari warna kepartaian. Dalam kondisi seperti itu, menjadi wajar jika
tampilan ataupun performa sosok calon kepala daerah lebih dominan sebagai
standar penentu kemenangan. Sementara dalam ajang tersebut, parpol
semata-mata ditempatkan sebagai kendaraan politik yang melegal-formalkan
pasangan calon kepala daerah. Mempertahankan posisi partai semacam ini jelas
kian menggerus peran ideal partai dalam ingatan publik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar