Populisme
dan Ketahanan Nasional
Muhammad Farid ; Fellow pada Lembaga Ketahanan Nasional RI
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Maret 2018
BEBERAPA waktu belakangan ini,
media massa maupun media sosial diramaikan dengan isu siapa pasangan
capres-cawapres yang akan tampil dalam Pemilu 2019. Perbincangan itu terlihat
seru, karena para capres-cawapres kelak akan memulai kampanyenya pada 23
September 2018, bersamaan dengan dimulainya kampanye pada caleg atau calon
anggota DPRD, DPR, serta DPD. Artinya, masa kampanye dimulai dalam kurun
waktu hanya sekitar enam bulan dari saat ini.
Pemilu 2019 ialah eksperimen baru
dalam sejarah demokrasi di RI, karena sejak pilpres langsung diadakan tahun
2004, pada Pemilu 2019 lah untuk pertama kalinya pilpres dilakukan serentak
dengan pileg. Termasuk rangkaian proses kampanye. Dengan kata lain, para
capres cawapres yang sebagian masih disimpan, sebenarnya sudah harus
mempunyai tema kampanye yang jelas, termasuk visi dan misi, serta
program-program yang akan dilakukannya jika kelak terpilih hingga 2024.
Sinyal
populisme
Menurut jadwal KPU, pencalonan
anggota DPD, DPR, DPRD kabupaten/kota dan provinsi, serta pasangan
capres-cawapres akan dilakukan pada periode 23 Maret 2018-21 September 2018.
Pilpres boleh jadi puncak dari seluruh rangkaian proses Pemilu 2019.
Pencalonan figur presiden dan wapres juga sangat vital bagi parpol peserta
Pemilu 2019. Karena, parpol atau gabungan parpol baru dapat mencalonkan
pasangan capres-cawapres bila memenuhi ambang batas berupa 20% kursi di DPR
atau 25% perolehan suara di tingkat nasional.
Itu sebabnya, wacana konfigurasi
pasangan capres-cawapres akhir-akhir ini begitu hangat di media massa dan
sosial. Berbagai survei maupun analisis pengamat pun banyak menghiasi wacana
seputar pencalonan penghulu dari lembaga eksekutif di negeri ini. Akan
tetapi, sejauh ini, tampaknya berbagai survei maupun analisis mengenai siapa
tokoh yang layak maju ke Pilpres 2019 sebagian besar masih didominasi wacana
popularitas. Artinya, spektrum wacana pencalonan presiden masih berkutat,
sejauh mana seorang figur populer di masyarakat. Lalu, seberapa besar
elektabilitas figur, pengaruh tokoh di kalangan milenial, santri, kelompok
agama tertentu, dan kelompok lain, atau ceruk basis massa yang mampu digaet.
Sebaliknya, wacana konfigurasi
pasangan capres-cawapres nyaris sepi dari perbincangan kiprah apa saja yang
telah dilakukan seorang figur sehingga layak dicalonkan sebagai capres atau
cawapres. Semakin dekatnya jadwal pencalonan dan kampanye, kenyataan itu
sepertinya akan menggiring kepada situasi, saat tim sukses dari
capres-cawapres akan mengusung ide-ide populisme. Populisme sendiri tidak
memiliki makna tunggal. Namun, secara sederhana, substansi pokok populisme
bertujuan mendapatkan dukungan dari warga biasa dengan memberi apa yang
mereka inginkan (Saur Hutabarat, Bangkitnya Populisme, Media Indonesia, 8
Desember 2016).
Pengertian lain yang sering
dijadikan rujukan, dari ilmuwan politik Cas Mudde (pengarang Populism: A Very
Short Introduction) bahwa populisme merupakan pemikiran yang membagi
masyarakat ke dalam dua kelompok, yaitu 'masyarakat yang murni' dan 'elite
yang korup'.
Thomas Greven dalam makalahnya
(the Rise of Right-wing Populism in Europe and the United States: A
Comparative Perspective, Mei 2016) mengatakan, esensi populisme bukanlah
ideologi politik, melainkan lebih pada gaya berpolitik. Ia merupakan gaya
berpolitik yang tidak dengan mudah berkaitan dengan suatu ideologi tertentu.
Thomas bahkan lebih jauh menyinggung bahwa populisme secara sederhana dapat
digambarkan sebagai sifat oportunistik. Dengan demikian, ideologi atau
program yang konsisten bukanlah faktor terpenting bagi tercapainya tujuan
kaum populis.
Populisme dalam perspektif ketahanan
nasional
Berbagai uraian di atas
memperlihatkan bahwa pada taraf tertentu, populisme kurang bermanfaat bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama jika dilihat dari sudut pandang
bahwa populisme hanya menawarkan jalan pintas dari keresahan masyarakat.
Berbagai analisis menunjukkan
bahwa populisme belakangan ini mendapat tempat di Eropa dan AS. Sayangnya,
analisis itu menunjukkan bahwa bangkitnya populisme lebih disebabkan sentimen
negatif. Krisis mata uang Euro, masuknya gelombang pengungsi dari Timur
Tengah, hingga tingginya angka pengangguran disebut sebagai faktor pengusung
ide populisme mengalami peningkatan suara pemilu.
Jika merujuk penjelasan Thomas
Greven bahwa populisme merupakan suatu gaya berpolitik yang bahkan cenderung
oportunistik, masyarakat perlu mengantisipasi agar Pemilu 2019, terutama
pilpres di Indonesia tidak jatuh pada populisme semata. Di RI yang
masyarakatnya sangat bineka, populisme bisa jadi dimainkan dalam instrumen
SARA, 'si kaya' vs 'si miskin', hingga melulu fokus pada kepopuleran
seseorang tokoh di kalangan tertentu. Masih segar di ingatan betapa politik
di tingkat nasional dan lokal dalam kurun empat tahun belakangan ini kerap
dilanda gesekan SARA yang bisa dikatakan sebagai varian atau ekses populisme.
Bahkan, ada yang menyebut pada Pilpres 2014 maupun menjelang pilkada di
Jakarta 2016-2017 RI berada di bawah bayang-bayang disintegrasi.
Oleh sebab itu, populisme dalam
makna negatif sudah seyogianya dihindari demi menjaga ketahanan nasional.
Populisme negatif dalam berbagai spektrum tentu saja berseberangan dengan
prinsip-prinsip kesatuan dalam empat konsensus dasar, yaitu Pancasila,
Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD Negara RI 1945.
Peran
vital parpol
Masih ada waktu sekitar enam bulan
bagi figur-figur yang akan dicalonkan sebagai presiden dan wakil presiden
untuk menyampaikan visi dan misi serta programnya secara jelas. Merujuk
ketentuan bahwa pasangan presiden-wapres dicalonkan parpol, tidak berlebihan
kiranya jika disebutkan, parpol berperan penting dalam menyusun atau memberi
masukan bagi para capres-cawapres yang akan mereka usung.
Sekaranglah saatnya parpol
menginventarisasi prestasi kader-kader mereka sehingga layak dicalonkan dalam
pilpres yang akan datang. Parpol-parpol yang tidak bisa berdiri sendiri dalam
mencalonkan kandidat presiden-wapres masih dapat berkiprah menyusun atau
memberi masukan dalam visi-misi dan program yang diusung pada masa kampanye
nanti.
Walau belum memasuki masa
kampanye, sepertinya tidak salah jika pihak-pihak yang akan mengikuti Pemilu
2019 mulai memperkenalkan pencapaian-pencapaian di berbagai bidang yang sudah
diraih sebelumnya. Juga masih ada waktu untuk bekerja, sehingga pada masa
kampanye nanti masyarakat bisa menilai siapa yang serius berusaha memajukan
bangsa. Pada akhirnya, kerja nyata jualah yang akan memperkuat ketahanan
nasional, bukan kepopuleran figur semata. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar