Paradoks
Kebijakan Utang
Candra Fajri Ananda ; Dekan dan Guru Besar Fakultas Ekonomi dan
Bisnis, Universitas Brawijaya
|
KORAN
SINDO, 23
Januari 2017
Sejak
negara ini berdiri, kebijakan utang pemerintah selalu berhasil memanaskan
sekam-sekam perdebatan. Penulis lebih suka menyebut utang pemerintah sebagai
”utang kita”, karena nantinya tidak lain kitalah (masyarakat Indonesia) yang
akan menanggung seluruh kewajiban pelunasan beserta beban bunganya.
Perdebatan yang timbul di sela-sela ruang diskursus publik menjadi sangat
wajar terjadi, mengingat tidak ada jaminan yang tegas, pemasukan yang
bersumber dari utang akan selalu berdampak positif terhadap kualitas
pembangunan di Indonesia.
Pertaruhan
besar sudah dilakukan rezim Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang dalam dua
tahun masa pemerintahan terkesan sangat ”ramah” dengan penerimaan utang.
Berdasarkan data Bank Indonesia (2017) serta Ditjen Pengelolaan Pembiayaan
dan Risiko (DJPPR, 2017), posisi utang luar negeri Indonesia hingga November
2016 terakumulasi sebesar USD316 miliar. Sebesar USD150,96 miliar atau 47,77%
di antaranya merupakan utang luar negeri pemerintah. Jika diakumulasikan lagi
dengan sumber-sumber utang lainnya (termasuk utang dalam negeri), total utang
yang diterima pemerintah saat ini dalam mata uang rupiah sudah mencapai
Rp3.485,36 triliun.
Padahal
dua tahun sebelumnya ketika Presiden Jokowi baru menjabat, total utang kita
baru mencapai Rp2.608,78 triliun. Dengan demikian, hanya dalam jangka waktu
dua tahun, Sang Presiden ”sukses” meningkatkan total utang kita hingga
mencapai 33,60%. Beberapaalasanyangdigunakanpemerintah untuk
merasionalisasikan kebijakan utang sebenarnya masih dapat diterima logika.
Ciri
khas dari sebagian besar negara berkembang memang memiliki dana pembangunan
yangrelatif cekak untukmembiayaiberbagai kebutuhan pembangunan. Apalagi
ketika terjadi gap fiskal akibat realisasi pendapatan dan kebutuhan belanja
yang tak seimbang, alternatif pembiayaan yang paling terjangkau biasanya
ditutupi dengan penerimaan utang. Pemerintah memang memiliki kewajiban
menjaga defisit fiskal bertahan di bawah batas 3% terhadap agregat produk
domestik bruto (PDB), untuk menghindari risiko sistemik di sektor keuangan
negara.
Selain
untuk kepentingan pembiayaan, utang yang bersumber dari luar negeri juga
dianggap mampu memperkuat kurs rupiah dengan masuknya aliran modal asing. Di
pihak seberang, juga muncul beberapa argumen yang berusaha melawan paradigma
yang telah disampaikan pemerintah. Mereka yang berharap pemerintah menahan
berutang, lebih karena mengantisipasi atau mengonservasi bangsa ini dari
potensi intervensi terselubung (rente) para pemberi utang, terutama terhadap
kebijakan-kebijakan politik di dalam negeri.
Isu
ini sudah sering merebak sejak era Orde Baru berkuasa. Dampak buruknya bisa
membuat susunan kebijakan politik pemerintah berlawanan arah dengan target
kemandirian ekonomi domestik. Hasilnya bisa kita saksikan bersama berdasarkan
kondisi perekonomian Indonesia saat ini yang tergolong rapuh, khususnya
ketika menghadapi tantangan global (eksternal) yang berimbas pada kondisi
perekonomian dalam negeri. Kemudian terkait dengan dalih penguatan nilai
tukar rupiah seiring masuknya aliran modal dari luar negeri hanya berjalan
sementara, karena pada periode berikutnya kita juga wajib melakukan
pembayaran utang beserta beban bunganya, sehingga model penguatan ini dapat
dianggap trade-off.
Masih Ada Jalan
Jika
paradoks terkaitkebijakan utang masih terus berlanjut, kondisi perekonomian
kita akan berjalan stagnan tanpa diisi dengan perkembangan signifikan. Kita
masih memiliki problem pada manajemen utang. Penerimaan yang berasal dari
utangutang pada masa lalu dapat dikatakan ”gagal” mendorong pertumbuhan
ekonomi yang berkualitas. Apalagi, proyeksi penggunaan dana yang berasal dari
utang masih terbatas untuk membiayai sektor-sektor pembangunan produktif.
Apalagi,
skor incremental capital output ratio (ICOR) Indonesia pada tahun 2015 masih
tertahan di angka 6,78% sehingga pola investasi kita masih jauh dari efisien,
karena untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1%, kita membutuhkan
pertumbuhan investasi sebesar 6,78%. Selain itu, alih-alih utang hendak
meningkatkan produktivitas pembangunan, pembiayaan yang berasal dari utang
yang paling gres biasanya justru digunakan untuk membayar utang-utang
sebelumnya. Kita terjebak dengan pola ”gali lubang tutup lubang”.
Namun,
kondisi yang ada bukan berarti tidak dapat diperbaiki lagi. Masih ada
secercah harapan yang dapat kita lakukan meskipun tidak seinstan jalan
melalui utang. Solusi-solusi sederhananya dapat kita lakukan melalui empat
strategi berikut. Pertama, penerimaan dari pajak hingga saat ini masih
menjadi alternatif yang terbaik untuk meningkatkan kapasitas pembiayaan.
Posisi
tax ratio kita pada 2016 kemarin memang masih terbatas di sekitar angka 11%
terhadap PDB. Namun, potensi untuk meningkatkan intensifikasi dan
ekstensifikasi pajak masih terhampar sangat luas. Tingkat compliers -nya juga
masih bisa terus diperbaiki. Syarat utamanya, efforts untuk peningkatan
penerimaan pajak harus relevan dengan peningkatan layanan yang terkait dengan
perpajakan. Momentum tax amnesty yang hingga saat ini masih terus berjalan
bisa dimanfaatkan untuk memicu ide reformasi perpajakan agar kinerjanya dapat
terus membaik.
Selain
dengan memperbaiki infrastruktur layanan perpajakan, reformasi perpajakan
sebaiknya juga berupaya untuk meningkatkan modal sosial dan kapasitas SDM
perpajakan agar lebih dekat dengan masyarakat dan sejalan dengan peningkatan
kepatuhan para wajib pajak. Kedua, pemerintah bisa meningkatkan efisiensi
belanja dengan memangkas pos-pos anggaran yang dinilai kurang produktif. Ide
ini bertujuan meningkatkan kredibilitas anggaran pemerintah, seperti halnya
yang telah dilakukan pada kuartal terakhir 2016.
Meskipun
membuat daya konsumsi pemerintah menurun dan beberapa program kebijakan
mengalami perombakan, setidaknya pemerintah dapat mengurangi proporsi utang
untuk menutupi defisit fiskal yang ada. Pemerintah, baru bisa memperluas
anggarannya kembali jika penerimaan pajaknya sudah mampu berjalan sesuai
dengan ekspektasi. Solusinya, pemerintah dapat melakukan efisiensi anggaran
dengan meningkatkan koordinasi perencanaan terutama pada program-program
lintas instansi yang memungkinkan untuk dielaborasi.
Ketiga,
sektor-sektor potensial yang dapat dioptimalkan untuk meningkatkan kas negara
perlu didorong agar lebih berkembang. Jika melihat kondisi eksistingnya, kita
bisa memprioritaskan kunci pembangunan pada sektor investasi, ekspor, dan
industri pengolahan. Sektor investasi akan mengakomodasi visi perluasan
lapangan kerja dan peningkatan pendapatan masyarakat. Selain itu, sektor ini
juga berpotensi menggantikan sektor konsumsi rumah tangga dan pemerintah yang
selama ini menjadi tonggak terbesar untuk memacu pertumbuhan ekonomi.
Berhubung
kondisi pendapatan masyarakat dan negara tengah terganggu, efeknya langsung
terasa dengan hasil perlambatan pertumbuhan ekonomi. Jika mengacu pada
indikator daya saing global versi World Economic Forum (WEF, 2016), faktor
pendorong daya investasi di dalam negeri yang perlu diupayakan pemerintah
sedikitnya menyinggung empat hal utama, yakni penurunan persepsi korupsi,
efisiensibirokrasi, peningkatan kualitas infrastruktur, serta peningkatan
produktivitas dan kapasitas tenaga kerja.
Kebijakan
ekspor juga tidak kalah penting untuk terus diperhatikan. Selain sebagai
indikator yang paling mudah untuk mengukur tingkat efisiensi dan daya saing
domestik, kebijakan ekspor bertujuan meningkatkan produktivitas dalam negeri
dan memperkuat nilai tukar rupiah. Tentunya dengan perluasan pasar output
yang dikuasai Indonesia, sekali lagi akan dapat meningkatkan kapasitas
penyerapan tenaga kerja dan pendapatan masyarakat. Kunci utama untuk
pengembangan ekspor dapat kita arahkan pada kinerja sektor industri yang
sepanjang 2016 berperan sebesar 76% terhadap total ekspor.
Jadi,
pengaruh kinerja sektor industri sangat mendominasi terhadap kondisi ekspor
Indonesia. Upaya pengembangan sektor industri bukanlah target yang mudah.
Senada dengan tantangan pengembangan investasi, peningkatan kinerja sektor
industri juga terhambat dengan empat faktor yang telah disebutkan sebelumnya
yakni persepsi korupsi, birokrasi, infrastruktur, dan tenaga kerja. Faktor
tambahannya, industri kita terhitung lemah dalam jejaring rantai usaha dan
sebagian besar industri kita sangat tergantung pada impor input produksi
(bahan baku, bahan penolong, dan barang modal), sehingga daya saing dari sisi
harga relatif mengambang dan tergantung dengan nilai tukar rupiah.
Untuk
itulah, industri substitusi impor menjadi teramat penting agar sektor
industri lebih terproteksi dari ”jebakan” impor serta berpeluang meningkatkan
efisiensi harga produk (output). Dan keempat, terkait dengan janji
pembangunan infrastruktur yang fantastis, pemerintah tidak bisa hanya
menggantungkan proses pembiayaan hanya menggunakan alokasi dari APBN.
Pemerintah perlu meningkatkan peran swasta mengingat kapasitas anggaran dari
APBN sangat terbatas.
Beberapa
alternatifnya ialah dengan mengembangkan program Public- Private Partnership
atau Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha untuk proses pembiayaan dan
pengelolaan infrastruktur. Namun, strategi ini mensyaratkan komitmen yang
kuat antara pemerintah dan sektor swasta karena biaya transaksi yang
dibutuhkan relatif besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar