Jangan
Salah Paham Putusan MK tentang LGBT
Fajri Matahati Muhammadin ; Dosen pada Departemen Hukum Internasional,
Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada
|
REPUBLIKA,
15 Desember
2017
Ketika
kita mendengar bahwa kemarin Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan
untuk mengkriminalisasi Lesbian gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dan
pasangan kumpul kebo, banyak dari kita yang kemudian ramai sekali mengatakan
"rezim ini melegalkan LGBT/kumpul kebo!". Sebagian lain malah
berteriak "Ini hari yang bagus untuk HAM!". Padahal, kalau kita
mempelajari lagi cakupan fungsi dan kewenangan MK, mungkin kita akan
mendapatkan jawaban yang berbeda.
Sebagai
pembuka, mungkin perlu disampaikan dulu bahwa tidak ada legalisasi LGBT
(khusus Transeksual ada syaratnya) atau kumpul kebo. Hanya saja, tidak ada
yang secara mengkriminalisasi mereka secara categorical (baru pidana kalau
misalnya kepada anak di bawah umur atau dengan paksaan). Sudah lama seperti
ini, sehingga tidak ada cerita legalisasi apalagi oleh MK yang literally baru
kemarin berbicara.
Sesuai
Pasal 24C UUD 1945, MK berwenang salah satunya untuk menguji sebuah Undang
Undang (UU) terhadap UUD 1945. Maksudnya adalah ketika ada yang merasa bahwa
sebuah UU (baik sebagian maupun seluruhnya) bertentangan dengan UUD 1945 maka
ia bisa mengajukannya ke MK untuk membatalkannya. Jika MK berpendapat bahwa
UU tersebut melanggar UUD 1945 alias 'inkonstitusional', maka UU tersebut
(atau sebagian pasalnya) bisa dibatalkan.
Nah,
salah satu bid'ah yang dilakukan oleh MK adalah bahwa ia bisa memutus sebuah
UU (atau sebagian pasalnya) adalah conditionally
constitutional/inconstitutional, alias 'konstitusional/inkonstitusional
bersyarat'. Maksudnya adalah bahwa sebuah pasal UU tidak serta merta
dibatalkan, tapi sebuah makna atau penafsiran tertentu dipaksakan kepadanya
melalui putusan MK. Misalnya adalah dalam Putusan MK Nomor 46/PUU-VIII/2010
kasus Machicha Mochtar soal anak luar kawin.
Dalam
putusan tersebut, UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pada Pasal 43(1)
berbunyi: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya." Oleh MK, diputus bahwa pasal
ini konstitusional bersyarat. Khususnya, pasal ini konstitusional hanya bila
ditafsirkan seperti ini:
"Anak
yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat
dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan
keluarga ayahnya" (Putusan hlm 37, Amar Putusan butir 3).
Jika
ditafsirkan lain maka inkonstitusional.
Nah
dalam kasus LGBT dan kumpul kebo ini, silahkan unduh Putusan MK Nomor
46/PUU-XIV/2016, lalu langsung merujuk pada Pertimbangan Mahkamah terhadap
pokok perkara, khususnya butir [3.12] dan seterusnya (halaman 430 dan
seterusnya). Ternyata sulit ditemukan ada justifikasi terhadap LGBT dan
kumpul kebo, apalagi mengatakan bahwa itu harus dilegalisasi!
MK
mempertimbangkan bahwa permohonan untuk mengkriminalisasi LGBT dan Kumpul
Kebo adalah memperluas pasal dengan terlalu jauh sehingga membentuk rumusan
pidana yang baru. Maka dari itu, ini sudah bukan lagi termasuk ke dalam
cakupan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Terlebih
lagi, ini adalah konteks hukum pidana. Dalam hukum pidana, berlaku asas yang
disebut dengan Asas Legalitas. Menurut asas ini, tidak boleh mempidana
seseorang kecuali dengan hukum yang telah dibuat sebelum terjadinya perbuatan
pidana tersebut. Memang putusan MK ini adalah dianggap setara dengan UU, tapi
dalam hal membatalkan atau setidaknya barangkali dalam menafsirkan. Kalau
untuk membuat norma baru, apalagi norma hukum pidana, ini tidak bisa
dilakukan oleh MK.
Karena
itulah, MK mengatakan bahwa perkara ini adalah ranah kewenangan legislator
untuk merumuskannya. Ini hanya masalah forum saja, yang memang bisa dikatakan
'masalah teknis'. Ini adalah logika yang sama misalnya kenapa sidang tilang
kendaraan tidak bisa dilakukan di Pengadilan Agama, kenapa sidang kasus
korupsi tidak bisa di Pengadilan TUN, kenapa nggak bisa gugat cerai di
International Criminal Court, dan lain sebagainya.
Tentu
hal ini tidak disetujui oleh sebagian hakim MK. Sebagaimana kita ketahui,
dari sembilan hakim ternyata keputusannya tidak mutlak melainkan 5 versus 4,
artinya ini memang berat sekali kasusnya (silahkan lihat putusan halaman 453
dan seterusnya untuk pertimbangan hakim yang berpendapat berbeda). Jadi
secara akademis perdebatan bisa panjang.
Terlepas
dari kita setuju atau tidaknya terhadap mayoritas MK, tetapi setidaknya ini
bukan masalah apakah para hakim merasa bahwa LGBT dan kumpul kebo adalah
perbuatan yang baik dan harus dilegalisasi. Semoga penjelasan ini bisa
membantu semuanya memahami masalah. ●
|
PROMO WOW..... ANAPoker
BalasHapus+ Bonus Extra 10% (New Member)
+ Bonus Extra 5% (Setiap harinya)
+ Bonus RakeBack Tanpa Minimal T.O (HOT Promo)
+ Bonus 20.000 (ALL Members)
BERLAKU UNTUK SEMUA GAME PERSEMBAHAN DARI IDNPOKER
POKER | CEME | DOMINO99 | OMAHA | SUPER10
BCA - MANDIRI - BNI - BRI - DANAMON
Semua Hanya bisa didapatkan di ANAPoker
- Minimal Deposit Yang terjangakau
- WD tanpa Batas
Untuk Registrasi dan Perdaftaran :
WhatsApp | 0852-2255-5128 |