Mengurangi
Beban Utang Pemerintah
Sunarsip ;
Chief economist PT Bank Bukopin Tbk
|
JAWA
POS, 24
Januari 2017
PEMENANG
Nobel Ekonomi 2011 Thomas J. Sargent menyatakan, ’’The ability to borrow
today depends on expectations about future revenues.” Sargent melihat, utang
pada dasarnya tidak perlu dipersoalkan, sepanjang dapat menghasilkan
pendapatan (revenues) yang cukup untuk membayar kembali utang tersebut.
Namun, dalam praktiknya, banyak negara dengan mudah melakukan utang, tetapi
tidak mampu menghasilkan pendapatan cukup, sehingga utangnya tak terbayarkan.
Persoalan
utang pemerintah Indonesia kembali menjadi sorotan seiring dengan jumlahnya
yang meningkat. Utang pemerintah memang meningkat dalam beberapa tahun
terakhir seiring dengan peningkatan defisit APBN. Bila pada 2011 sebesar Rp
84,4 triliun (realisasi), pada 2015 defisit APBN kita mencapai Rp 298,5
triliun (realisasi) dan pada APBNP 2016 diperkirakan mencapai Rp 315,7
triliun. Seiring dengan peningkatan defisit APBN tersebut, jumlah utang
pemerintah pun bertambah. Yaitu, dari Rp 1.809 triliun (2011) menjadi Rp
3.501 triliun per November 2016.
Meski
jumlahnya meningkat, indikator kesehatan utang pemerintah sebenarnya masih
relatif baik. Rasio utang pemerintah terhadap PDB kita (debt to GDP ratio)
saat ini sekitar 27,7 persen, jauh di bawah konsensus global sebesar 60
persen terhadap PDB. Indikator rasio utang pemerintah kita tersebut juga
masih lebih baik dibandingkan Turki, Filipina, Thailand, Afrika Selatan,
Argentina, Meksiko, Brasil, Malaysia, India, dan Vietnam. Hanya, memang tetap
perlu diwaspadai karena rasio utang pemerintah kita saat ini meningkat cukup
tinggi bila dibandingkan dengan posisi pada 2011 sekitar 23,1 persen terhadap
PDB.
Persoalan
utang sebenarnya tidak sepenuhnya tepat bila hanya mendasarkan pada ukuran
rasio utang terhadap PDB. Sebab, yang terpenting dari keberadaan utang justru
terletak pada kemampuan membayarnya. Ukuran rasio utang terhadap PDB menjadi
tidak berarti manakala pemerintah mengalami kesulitan untuk membayar kembali
utangnya. Sesuai dengan pandangan Thomas J. Sargent di atas, sepanjang utang
dipergunakan untuk kegiatan yang produktif dan menghasilkan pendapatan
(revenues) yang cukup untuk membayar kembali utang tersebut, keberadaan utang
menjadi tidak relevan untuk dipermasalahkan.
Salah
satu indikator untuk mengukur kemampuan membayar kembali utang pemerintah
adalah dengan membandingkan pembayaran cicilan utang pemerintah (termasuk
bunga) terhadap penerimaan negara atau penerimaan perpajakannya. Berdasar
data, terlihat bahwa rasio pembayaran cicilan utang pemerintah (termasuk
bunga) cenderung meningkat setiap tahun. Bila pada 2011 sekitar 19,03 persen,
pada 2016 rasio pembayaran cicilan utang pemerintah (termasuk bunga) terhadap
penerimaan negara (pajak dan bukan pajak) mencapai 27,87 persen. Sedangkan
rasio pembayaran cicilan utang pemerintah (termasuk bunga) terhadap
penerimaan perpajakan meningkat dari 26,25 persen (2011) menjadi 32,31 persen
(2016).
Data
tersebut setidaknya mencerminkan dua hal. Pertama, beban pembayaran utang
pemerintah semakin meningkat. Kedua, kemampuan negara dalam menghasilkan
penerimaan negara (pajak dan nonpajak) untuk membayar kembali utangnya
relatif melemah. Dengan demikian, kemampuan fiskal kita dalam mengurangi beban
utang juga masih relatif rendah. Masih relatif rendahnya kemampuan fiskal
kita dalam mengurangi beban utang pemerintah juga tecermin dari indikator
nilai keseimbangan primer (primary balance) yang terdapat di APBN kita.
Sebagai
informasi, keseimbangan primer ini merupakan selisih antara anggaran
penerimaan dan pengeluaran di luar bunga dan cicilan utang. Keseimbangan
primer seyogianya dijaga agar senantiasa berada dalam posisi yang positif.
Sebab, jika nilai keseimbangan primer positif, posisi utang pemerintah akan
berkurang seiring waktu. Sebaliknya, jika nilainya negatif, dalam jangka
panjang dapat mengakibatkan peningkatan nilai utang secara signifikan.
Berdasar
data, terlihat bahwa pada 2011 nilai keseimbangan primer pada APBN masih
positif sebesar Rp 8,9 triliun (realisasi). Namun, dalam perkembangannya,
nilai keseimbangan primer tersebut mengalami angka yang negatif, yaitu Rp
-52,8 triliun (2012), Rp -98,6 triliun (2013), Rp -93,3 triliun (2014), Rp
-142,5 triliun (2015), dan Rp -105,5 triliun (2016). Keseimbangan primer yang
negatif tersebut menunjukkan bahwa kemampuan APBN kita untuk mengurangi beban
utang masih lemah. Kondisi ini perlu segera diperbaiki agar tidak
membahayakan kesehatan fiskal (fiscal sustainability) kita.
Setidaknya,
terdapat dua hal yang dapat menjadi faktor di balik rendahnya kemampuan
fiskal kita tersebut. Pertama, terkait dengan efektivitas penggunaan utang.
Patut diduga bahwa rendahnya kemampuan fiskal kita dalam mengurangi beban
utang pemerintah antara lain disebabkan penggunaan utang yang kurang efektif
dan tidak tepat sasaran. Utang seyogianya digunakan untuk membiayai kegiatan
yang produktif dan menghasilkan pendapatan (berupa peningkatan PDB yang
diikuti dengan peningkatan pajak), bukan untuk kegiatan konsumtif.
Dengan
demikian, langkah pemerintah yang kini berupaya mengalihkan alokasi anggaran
nonproduktif ke produktif adalah hal yang tepat. Namun, langkah itu perlu
dipertajam dengan menyasar ke sektor-sektor ekonomi yang memberikan
kontribusi yang besar terhadap PDB agar penerimaan perpajakan yang ditarik
dari sektor ekonomi tersebut juga ikut meningkat.
Kedua,
terkait dengan efektivitas upaya penarikan pajak. Adalah sebuah anomali bahwa
PDB terus mengalami peningkatan yang cukup tinggi, tetapi hal itu tidak
diikuti dengan penerimaan perpajakan yang sepadan. Rasio penerimaan
perpajakan terhadap PDB (tax ratio to GDP) kita masih rendah, yaitu sekitar
11 persen terhadap PDB. Setidaknya, terdapat dua kemungkinan kenapa tax ratio
kita masih rendah. Pertama, upaya penarikan pajak yang belum maksimal. Kedua,
masih banyak objek penghasilan yang belum tersentuh oleh perpajakan.
Setidaknya,
terdapat dua hal yang menjadi kunci untuk mengurangi beban utang pemerintah.
Pertama, melalui peningkatan efektivitas penggunaan dana yang berasal dari
utang. Kedua, peningkatan penerimaan perpajakan. Efektivitas penggunaan dana
dari utang sangat bergantung pada konsistensi kita dalam reformasi fiskal di
bidang pengeluaran. Sedangkan upaya peningkatan pajak perlu dilakukan melalui
reformasi perpajakan, baik yang bersifat administrasi, birokrasi institusi
perpajakan, intensifikasi, maupun ekstensifikasi pajak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar