Kamis, 18 Mei 2017

Menegaskan Komitmen Demokrasi Pancasila Pasca-Pilkada Jakarta

Menegaskan Komitmen Demokrasi Pancasila
Pasca-Pilkada Jakarta
Denny JA  ;   Pendiri Lingkaran Survei Indonesia
                                                      REPUBLIKA, 05 Mei 2017



                                                           
Dalam waktu dekat, bukan mustahil Indonesia akan terkoyak dan tidak stabil. Dalam waktu tak lama, bukan tak mungkin demokratisasi di Indonesia yang dimulai sejak Reformasi 1998 mengalami break-down dan kemunduran yang signifikan. Indonesia akan berada dalam ketidak pastian yang berlarut dan memundurkan semua pencapaiannya.

 Itu terjadi jika para elit yang berpengaruh di negri ini tidak meneguhkan komitmennya kembali pada demokrasi pancasila yang diperbaharui. Itu akan terbukti jika semakin tak ada aturan main bersama yang berwibawa, akomodatif, dan disepakati sebagai "the only game in town."

Para elit, politisi berpengaruh, pemimpin pemerintahan, pengusaha, pemimpin partai, pemimpin ormas berpengaruh, pemimpin organisasi keagamaan, intelektual dan opinion makers yang didengar, mereka semua boleh saja berbeda pandangan dan kepentingan. Itu hanya tidak bermasalah, sekali lagi, itu hanya tidak merusak, jika mereka semua bersepakat untuk tunduk pada aturan main yang sama dan dihormati.

Yang menjadi masalah jika aturan main bersama itu semakin kurang berwibawa, semakin dirasakan kurang akomodatif bagi perkembangan baru. Yang menjadi problem jika para elit ini jutru sedang menggugat aturan main bersama itu.  Akibatnya konflik kepentingan dan perbedaan persepsi para elit justru akan membawa Indonesia pada ambang kehancuran.

Inilah renungan terjauh refleksi dari ruang publik Indonesia paska pilkada Jakarta. Persaingan antar kandidat dalam pilkada sudah selesai. Hasil KPUD soal pilkada sudah disahkan. Namun konflik gagasan dan embrio platform  justru terus membara, berbeda bahkan bertentangan soal bagaimana aturan main bersama itu sebaiknya.

Tulisan ini renungan berisi empat pokok isu strategis paska pilkada Jakarta.  Pertama, menjelaskan aneka embrio platform yang berbeda dan saling bertentangan yang ada saat ini mengenai kemana Indonesia harus dibentuk. Aneka platform itu ikut bertarung mewarnai pilkada DKI 2017.

Kedua, argumen mengenai mengapa para elit perlu menegaskan komitmen pada demokrasi pancasila yang diperbaharui. Juga dijelaskan apa beda demokrasi pancasila yang diperbaharui dengan demokrasi Pancasila era Sukarno dan Suharto. Dijelaskan pula dimana bedanya Demokrasi Pancasila yang diperbaharui dengan demokrasi liberal yang kini berlaku di dunia barat.

Ketiga, penjelasan soal apa yang kurang dalam praktek demokrasi Indonesia saat ini agar mencapai platform ideal Demokrasi Pancasila yang diperbaharui itu.

Keempat, apa yang semua kita bisa kerjakan untuk ikut mengkonsolidasikan Demokrasi Pancasila yang diperbaharui

Selanjutnya perlu diketahui adanya empat platform gagasan yang terbaca ikut bertarung dalam pilkada Jakarta. Ada gagasan demokrasi modern seperti di negara maju yang sangat anti diskriminasi, dan juga sangat tidak suka dengan isu agama di ruang publik.

Ada juga gerakan yang mencoba menyelinap untuk mengajak Indonesia kembali ke sistem sebelum amandemen UUD 45. Mereka mencari momentum agar dalam pilkada DKI terjadi pula breakthrough untuk memasukkan gagasan kembali pada demokrasi pancasila lama. Istilah yang populer di kalangan ini, demokrasi yang dipraktekkan sekarang sudah kebablasan dan terlalu jauh.

Ada pula gerakan yang menjadikan momentum kasus Al Maidah untuk sekaligus memasukkan konsep negara Islam, atau setidaknya NKRI bersyariah. Ini gerakan yang menginginkan prinsip hukum agama semakin diterapkan dalam ruang publik.

Ada pula platform gagasan yang mempertahankan sistem demokrasi yang ada di Indonesia saat ini, namun perlu lebih diperbaharui. Kita sebut saja ini gagasan Demokrasi Pancasila yang diperbaharui.

Gagasan yang tidak berada di kubu Ahok hanya gagasan NKRI bersyariah ataupun negara Islam. Sedangkan di kubu Anies Baswedan, dan juga Agus Harimurti jauh lebih beragam. Semua penganut gagasan di atas juga berkumpul di belakang Anies dan Agus.

Selesai pilkada, empat gagasan itu terus bertarung. Dugaan saya puncak pertarungan empat gagasan itu justru nanti di pilpres 2019.

Sambil mendukung calon presidennya masing-masing, empat gagasan itu mencoba membuat agenda sendiri. Jika bisa membuat calon presiden berhutang budi pada mereka untuk menjadikan agenda gagasan itu sebagai program nasional.

Langkah paling strategis paska pilkada Jakarta  mengajak para elit yang berpengaruh untuk menegaskan komitmen kembali pada Demokrasi Pancasila yang diperbaharui. Dua alasannya. Mayoritas pemilih Indonesia ada di platform itu. Goresan agama yang mendalam pada batin publik Indonesia juga membuat platform itu lebih mengakar.

Demokrasi Pancasila yang diperbaharui pastilah berbeda dengan negara Islam model Timur Tengah. Berbeda pula, ia dengan Demokrasi Pancasila sebelum amandemen UUD 45. Namun ia berbeda pula  dengan demokrasi liberal yang dipraktekkan negara barat saat ini.

Survei nasional dilakukan LSI Denny JA sejak 2005 sampai 2016. Juga survei Jakarta yang dilakukan terakhir di bulan April 2017. Ketika ditanya, apakah ibu bapak menginginkan Indonesia menjadi negara Islam seperti Timur Tengah, negara demokrasi liberal seperti negara barat, atau negara demokrasi pancasila (tak didefinisikan detail semua gagasan itu)?

Jawaban pemilih. sejak 2005 sampai kini tak banyak berubah. Yang inginkan negara Islam selalu di bawah 10 persen. Yang inginkan demokrasi liberal juga selalu di bawah 10 persen. Yang inginkan Demokrasi Pancasila selalu  di atas 70 persen.

Negara Islam tidak mengakar dalam batin rakyat Indonesia yang mayoritasnya beragama Islam. Demokrasi liberal barat juga masih asing bagi mayoritas publik Indonesia. Demokrasi Pancasila itu yang diidealkan.

Jika soal Demokrasi Pancasila itu didetailkan, ingin kembali dalam sistem politik era Orde Baru tanpa kebebasan seperti sekarang, atau sistem demokrasi seperti sekarang? Mayoritas memilih Demokrasi seperti saat ini.

Negara Islam tidak akan cocok jika dipaksakan ke Indonesia. Ia ditolak oleh mayoritas pemilih Muslim sendiri. Dunia modern sudah pula sampai pada kultur citizenship. Siapapun warga negara, apapun agamanya, mereka punya hak politik yang sama dan perlindungan hukum yang sama. Negara modern tidak mendiskriminasikan hak warga negara semata karena identitas sosialnya, termasuk agama.

Demokrasi Pancasila era Soekarno dan Suharto juga tidak pas jika dipaksakan kembali berlaku. Dwi Fungsi militer, hadirnya utusan golongan yang tidak dipilih di MPR, presiden sebagai mandataris MPR, pembatasan pada kebebasan berasosiasi dan kebebasan berpendapat itu masa lalu. Mencoba membawa kembali Indonesia sebelum amandemen UUD 45 juga ditolak mayoritas pemilih dalam aneka survei nasional.

Demokrasi liberal ala barat dengan civil liberty yang penuh, dan ruang publik yang kurang friendly dengan agama juga tidak mengakar. Memaksakan demokrasi liberal justru akan membuat antipati publik luas atas prinsip demokrasi secara menyeluruh.

Harus diterima bahwa prinsip demokrasi hanya akan kuat jika ia dikawinkan dengan kultur lokal yang dominan di sebuah wilayah. Untuk kasus indonesia, goresan agama dalam batin masyarakat sangat dalam. Demokrasi yang ingin mengakar harus mengakomodasi kondisi itu dalam sistem kelembagaannya.

Hadirnya kementrian agama misalnya tak dikenal dalam demokrasi liberal barat. Namun untuk indonesia, kementrian agama sebuah kompromi yang seharusnya diambil. Evolusi kesadaran publik mayoritas Indonesia menghendaki pemerintah ikut mengurus agama publik. Itu yang tak ada dalam demokrasi liberal barat.

Sungguhpun demikian, platform Demokrasi Pancasila yang diperbaharui perlu dikonsolidasikan. Tiga isu dibawah ini yang perlu ditambahkan agar Demokrasi Pancasila  yang diperbaharui itu bisa diterima sebagai "the only game in town." Ia akan diterima karena akomodatif terhadap aneka keberagaman yang ada.

Pertama, justru karena demokrasi ini memberikan peran agama yang lebih besar di ruang publik, perlu dibuat sebuah undang undang Perlindungan Kebebasan dan Umat bergama.

UU ini mengatur bagaimana Pancasila yang sentral dalam demokrasi dioperasionalkan di ruang publik. Dengan demikian, praktek dan keberagaman paham agama yang ada terlindungi sangat kuat, sebagaimana yang dipahat dalam sila pertama Pancasila.

Kementrian agama sudah mulai menyusun draftnya. Jika bisa, sebelum pilpres 2019, draft itu sudah disempurnakan dan final. Kita ingin dalam UU itu, aturan dibuat untuk lebih melindungi keberagaman agama dan kebebasan mereka beribadah dan bersosialisi di ruang publik.

Kedua, mengakomodasi luasnya spektrum gagasan yang ada dalam masyarakat. Sejauh itu semua masih dalam bentuk gagasan, ia dibolehkan belaka untuk hidup di ruang publik. Yang dilarang hanya gagasan yang merekomendasikan kekerasan seperti terorisme. Atau gagasan yang dipaksakan dengan kekerasan.

Akibatnya spektrum yang paling kanan dan yang paling kiri harus dibolehkan hidup. Melarang hak hidup gagasan, seberapapun ektremnya, kecuali yg merekomendasikan kekerasan dan kriminal, akan membuat aturan main bersama tidak akomodatif.

Misalnya, pemerintah dan para elit harus menerima adanya kebebasan beropini bagi yang paling kanan: gagasan negara Islam, dan yang paling kiri: gagasan LGBT, untuk menjadi wacana.

Semua negara demokrasi modern membolehkan hak hidup aneka gagasan selucu dan senorak apapun. Prinsipnya  ucapan Voltaire: Saya tak setuju pandangan tuan. Tapi hak tuan menyatakan pandangan itu akan saya bela.  Yang dibela bukan isi gagasan itu tapi hak hidupnya untuk ikut mewarnai dan bertarung di ruang publik.

Tak hanya pemerintah, tapi elit indonesiapun kadang tak siap dengan prinsip Voltaire itu. Misalnya mereka yang mengaku pro keberagaman. Ketika diskusi LGBT dilarang, mereka marah dan melawan. Tapi ketika diskusi HTI soal khilafah Islam dilarang, mereka senang dan mendukung.

Padahal prinsip Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Modern menjamin hak hidup aneka gagasan sejauh masih dalam bentuk gagasan, dan tidak menyerukan kekerasan ataupun tindakan kriminal.

Mengapa negara demokrasi modern bahkan membolehkan gagasan intoleran di ruang publik? Sangat simpel alasannya. Di samping itu bagian dari Hak Asasi Manusia, gagasan ekstrem dan intoleran itu tak pernah mendapatkan dukungan mayoritas. Gagasan itu berhenti hanya menjadi estalase keberagaman saja.

Ketiga, prinsip kedua itu harus juga diikuti tegaknya Law Enforcement aparatur negara. Ini sepenuhnya harus disadari pemerintah. Ketika demokrasi masih labih seperti sekarang, pemerintah harus hadir! Pemerintah harus tegas dan keras melindungi keberagaman itu. Jika tidak, kebebasan yang ada justru digunakan untuk menindas yang lemah.

Jadi inilah buah paling manis selesai pilkada Jakarta 2017. Lahir hikmah keharusan kita untuk meneguhkan kembali komitmen pada Demokrasi Pancasila yang diperbaharui. Jika tidak, semua akan melawan semua.

Masing-masing kita bisa berperan sesuai dengan pengaruh dan kapasitasnya. Satu saja targetnya. Kita ingin Demokrasi Pancasila yang diperbaharui semakin lama semakin menjadi "the only game in town."

Dengan demikian, politik kita semakin stabil. Keberagaman gagasan yang ada juga terakomodasi, sesuai dengan evolusi kesadaran publik Indonesia.

Tentu saja konsep demokrasi pancasila yang diperbaharui di atas banyak kelemahannya. Tapi alternatif lain, akan lebih banyak lagi kelemahannya dan tidak mengakar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar