Selasa, 10 April 2018

Gaduh Ancaman Tsunami

Gaduh Ancaman Tsunami
Abdul Muhari  ;   Chairman Sentinel Asia Tsunami Working Group
                                                         KOMPAS, 10 April 2018



                                                           
Setelah berita ancaman gempa megathrust M8 di Jakarta, minggu lalu berita tentang potensi ancaman tsunami di selatan Jawa Barat dan Selat Sunda juga menjadi viral dan menerima beragam pendapat, tanggapan dan sanggahan.

Diskursus yang hanya fokus pada isu potensi ancaman bahaya ditangkap oleh masyarakat menjadi polemik yang meresahkan karena tidak dibarengi dengan solusi mitigasi yang terukur dan bisa diterapkan (applicable). Apalagi belakangan isu ini berkembang jauh dari ranah sains yang menjadi koridor awal diskusi. Jika pola diskursus kebencanaan yang seperti ini terus dilanjutkan, dikhawatirkan sasaran jangka panjang untuk meningkatkan ketahanan masyarakat dalam arti yang sebenarnya tidak akan tercapai karena pembicaraan berhenti hanya pada ancaman bahaya dan selalu minus informasi komprehensif tentang apa yang harus dilakukan setelahnya (what to do next)?

Tsunami di Selat Sunda

Sebenarnya tak ada yang ‘baru’ jika disebutkan potensi tsunami di Selat Sunda bisa mencapai ketinggian 57 meter. Jika dilihat kembali ke belakang tahun 1883, tsunami yang terjadi akibat letusan Gunung Krakatau membangkitkan tsunami dengan ketinggian berkisar 37 – 45 meter di Merak dan 22 meter di Teluk Betong (Bandar Lampung saat ini). Jejak kedahsyatan tsunami Krakatau sampai saat ini masih terlihat dari batu karang sangat besar (boulder) dengan estimasi berat mencapai 600 ton yang terbawa tsunami sampai ke darat di kawasan pesisir Anyer. Kejadian tsunami 1883 tersebut menelan korban jiwa hingga 36,417 orang.

Seperti yang tertulis pada catatan Symons (1888) dalam Choi dkk (2003) dan Pelinovsky dkk (2005), begitu dahsyatnya tsunami tahun 1883 ini sampai menimbulkan “osilasi gelombang yang tak wajar” di tempat-tempat yang sangat jauh seperti yang terekam pada alat pencatat pasang surut di Port Elizabeth di Afrika Selatan (1,58 meter), Aden-Yaman (37 sentimeter) dan English Channel (selat yang memisahkan Inggris dan Prancis) setinggi 6 sentimeter. Jadi, kawasan pesisir di daerah Selat Sunda merupakan kawasan yang ‘akrab’ tsunami raksasa di masa lalu.

Ada kejadian gempa di Kota L’Aquila, Italia yang bisa dijadikan pembelajaran dalam memaknai peran peneliti dan penelitiannya dalam membangun kesiapsiagaan. Gempa yang terjadi pada tanggal 6 April 2009 tersebut menghancurkan setidaknya 3,000 sampai 11,000 bangunan dan mengakibatkan 309 orang tewas.

Gempa ini menjadi perhatian dunia karena tahun 2012 enam orang pejabat pemerintah (yang juga ilmuwan) di Italia dipenjara selama enam tahun atas tuduhan ‘pembunuhan tidak disengaja’ karena memberikan himbauan yang ‘tidak akurat, tidak komplit dan kontradiktif’ terhadap potensi gempa yang mungkin terjadi. Satu bulan sebelum gempa terjadi, diberitakan dalam suatu acara televisi bahwa seorang teknisi menemukan peningkatan radiasi gas Radon di lokasi gempa, yang menurut beberapa kajian ilmiah bisa menjadi pertanda kemungkinan akan terjadi gempa (tetapi peningkatan emisi gas Radon tidak selalu konsisten dengan kejadian gempa).

Teknisi ini kemudian dituduh sebagai penyebar berita bohong dan dilaporkan ke polisi atas tuduhan ‘menyebarkan ketakutan’ di masyarakat dan diharuskan untuk menghapus seluruh analisa terkait potensi gempa tersebut dari laman-laman internet. Beberapa hari sebelum gempa utama (main shock), terjadi peningkatan kejadian gempa-gempa kecil di wilayah L’Aquila, sehingga masyarakat mulai resah terkait dengan berita sebelumnya bahwa kemungkinan akan terjadi gempa besar.

Untuk menenangkan masyarakat, beberapa ilmuwan dan pejabat pemerintah memberikan statement bahwa gempa yang diprediksi tersebut ‘sepertinya tidak akan terjadi’ dan ‘keadaan tetap aman’ serta gempa-gempa kecil yang terjadi adalah ‘fenomena geologi biasa’, karena secara ilmiah memang belum ada metode yang bisa memprediksi terjadinya gempa.

Tetapi apa mau dikata, masyarakat yang diminta tetap tenang tersebut kemudian ternyata benar-benar dihantam gempa yang meluluhlantakan kota mereka. Terlepas dari kesalahan pernyataan tersebut, banyak pihak menyebutkan bahwa bencana di kota L’Aquila terjadi akibat kualitas bangunan yang memang tidak didesain untuk tahan gempa. Tetapi, para ilmuwan dan pejabat pemerintah yang memberikan pernyataan bahwa tidak akan terjadi gempa tersebut tetap diadili meskipun dua tahun berikutnya pada tahun 2014 hukuman mereka dibatalkan.

Kejadian di L’Aquila tersebut bisa diambil sebagai pelajaran bahwa informasi tentang potensi terjadinya bencana di suatu tempat bukan untuk diperdebatkan dan dipertentangkan, akan tetapi untuk ditindaklanjuti dengan upaya mitigasi yang applicable dan disegerakan tindak lanjutnya karena bencana tidak akan menunggu, kita yang harus segera bersiap untuk meminimalisasi dampaknya.

 Solusi mitigasi

Dalam menyusun upaya mitigasi gempa dan tsunami, ada dua karakteristik bencana yang harus diperhatikan yaitu high frequency but relatively low to medium risk (bencana yang sering terjadi tetapi relatif memiliki dampak risiko kecil sampai medium) dan low frequency but high risk disaster (bencana yang jarang terjadi tetapi memiliki dampak risiko sangat besar).

Skenario gempa untuk kasus pertama adalah skenario yang paling mungkin dan paling sering terjadi secara historis dalam membangkitkan tsunami di kawasan tersebut. Karakteristik jenis ini biasanya memiliki periode ulang pendek sekitar 50 sampai 150 tahun, dengan estimasi tinggi tsunami kurang dari 10 meter. Untuk karakteristik kedua, asumsi skenario yang digunakan adalah skenario terburuk yang mungkin terjadi secara ilmiah dengan periode ulang lebih dari 400 tahun dan estimasi tinggi tsunami di atas 20 meter (Muhari dkk, 2015).

Peraturan Pemerintah No 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pasal 17 Ayat (1) menyebutkan bahwa mitigasi bencana dengan tingkat risiko tinggi dititikberatkan pada kegiatan non struktur/non fisik.

Kenapa? Karena pengalaman gempa dan tsunami Jepang tahun 2011 memberikan kita pelajaran yang sangat penting bahwa tidak ada satu struktur fisik yang mampu menahan hantaman tsunami di atas 20 meter. Selain itu, perlu diingat bahwa umur struktur fisik bahkan beton sekalipun tidak lebih dari 50 tahun. Sedangkan ketika kita berbicara tsunami dengan kategori besar, maka kita berbicara periode ulang di atas 400 tahun. Artinya, ketika tsunami terjadi, struktur penahan tsunami tersebut mungkin sudah dalam kondisi tidak optimal dalam mereduksi potensi dampak yang mungkin terjadi.

Lalu bagaimana upaya non-struktur dalam kasus bencana dengan tingkat risiko tinggi? Dimulai dari tata ruang kawasan pesisir yang berbasis mitigasi. Pasca-tsunami tahun 2011, Jepang membagi kawasan pesisir yang direkonstruksi menjadi dua bagian yakni kawasan yang hampir pasti selalu terkena dampak tsunami dengan periode uang 30-150 tahun (berjarak sampai 1 kilometer dari bibir pantai) dan kawasan yang hanya terdampak oleh tsunami dengan periode ulang di atas 200 tahun (berjarak sampai tiga kilometer dari bibir pantai).

Kedua kawasan ini tidak boleh diisi dengan pemukiman. Kawasan pertama yang hanya boleh dimanfaatkan untuk pariwisata dan konservasi. Kawasan kedua boleh dimanfaatkan oleh industri dan pertanian dengan syarat ketahanan bangunan terhadap gempa dan tsunami yang sangat ketat. Prasarana evakuasi dari tsunami juga harus tersedia dan mudah dijangkau bagi pengguna kawasan ini.

Untuk kawasan yang belum terjadi tsunami dengan pemukiman di kawasan pesisir sudah relatif sangat padat, edukasi dan pelatihan evakuasi yang ditunjang dengan ketersediaan prasarana tempat evakuasi yang mudah dicapai adalah hal utama. Jepang melakukan gladi evakuasi di tiap kota yang rawan tsunami setidaknya tiga kali dalam setahun. Kemudian, untuk melindungi aset ekonomi seperti bangunan dan infrastruktur yang dibangun di kawasan rawan tsunami, peran serta asuransi dalam manajemen risiko sudah tidak bisa ditunda.

Regulasi nasional mengenai asuransi bencana mendesak untuk diadakan. Tanpa adanya regulasi nasional, skema asuransi bencana di Indonesia sulit diwujudkan.

Untuk jenis bencana dengan tingkat risiko sedang dan kecil, Peraturan Pemerintah No 64 Tahun 2010 tentang Mitigasi Bencana di Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Pasal 17 Ayat (2) dan (3) menyebutkan bahwa fungsi struktur fisik bisa dikedepankan ditunjang dengan upaya non-fisik. Hal ini dimaksudkan agar keberadaan struktur fisik berupa (misalnya) hutan pantai, tanggul dan pemecah gelombang dapat seiring sejalan dengan upaya perubahan perilaku masyarakat dalam merespons tanda-tanda bahaya seperti peringatan dini, gejala alam dan lain-lain.

Akhirnya kita semua tentu harus bersepakat bahwa informasi kebencanaan harus dipahami dalam konteks peningkatan kesiapsiagaan dalam arti luas. Suatu hasil kajian boleh saja diperdebatkan, imbauan agar masyarakat tetap tenang dan waspada boleh saja dilakukan. Akan tetapi hal tersebut harus dibarengi dengan tindakan yang lebih mendesak yakni implementasi upaya mitigasi baik struktural maupun non-struktural yang direncanakan dengan baik dan tersosialisasikan secara berkelanjutan kepada masyarakat.

1 komentar: