Media
Sosial dan "Mendacity"
Bre Redana ;
Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 29 Januari 2017
Kalau
dirasa-rasakan, media sosial dekat sekali dengan mendacity. Kosakata bahasa
Inggris mendacity berasal dari kosakata Latin mendacitas, artinya kebohongan.
Seseorang yang terus-menerus berbohong disebut memiliki karakter mendacity,
karakter pembohong. Frustrasi kita menghadapi pembohong patologis seperti
itu.
Kini,
seiring kian akrabnya orang dengan media sosial, makin diakrabi istilah hoax
alias kabar bohong. Banyak kosakata baru seakan melekat dengan media sosial:
hoax, hater, buzzer, follower, crowd, dan lain-lain.
Mungkin
karena sifat medianya, digerakkan saraf jari-jari yang lama-lama terlatih,
kemampuan jari-jari mereproduksi dan mengotak-atik informasi dan image
akhirnya melebihi kecepatan kerja otak. Secara sederhana, mekanisme tubuh
seperti itu disebut refleks. Orang menyerap dan menanggapi informasi secepat
gerak refleks. Cepet bingitz, istilah remaja dan orang-orang berumur yang
kekanak-kanakan. Tak perlu dipikir.
Ditambah
kualitas literasi yang rendah dengan minat baca nomor dua terendah di dunia,
jadilah otak yang tak terlatih dengan mudah diperdaya kebohongan. Otak yang
terus diperdaya kebohongan akhirnya menyesuaikan diri, mengembangkan
kesanggupan dirinya sendiri untuk tak kalah memproduksi kebohongan.
Bersemai
kebohongan-kebohongan, dari kecil sampai besar, dari main-main seperti humor
tak lucu di WhatsApp sampai yang serius dan berpotensi memecah belah
persaudaraan bangsa. Telah lahir kelas sosial pembohong: the mendacity class.
Kelas sosial ini terdiri atas penderita patologi sosial sebagai pembohong
tadi ataupun mereka yang pantas dikasihani, mayoritas yang dikarenakan
kebodohan dan tingkat pendidikan yang rendah menjadi korban pembodohan.
Pembohong besar mengangkat diri sebagai pemimpin besar, bicara berapi-api
tentang hakikat langit seolah bicara kasunyatan, menyangkal segalanya,
termasuk bahwa Bumi bulat. Ada juga yang jadi melankolis berlebihan. Oh,
kenapa jadi begini..
Tidak
semuanya salah manusia. Teknologi selalu membawa manusia pada fase evolusi
lanjut. Revolusi digital telah membawa manusia pada fase pasca kasunyatan,
post-truth. Yang sebelumnya diyakini banyak orang sebagai kebenaran tengah
dibongkar, sebagaimana otoritas kepakaran, expertise, kini diolok-olok dan
dianggap tidak ada. The death of expertise, Mas, kata Mbak Sarie mengutip
ahli di Amerika. Amatir-profesional sama saja, pintar-bodoh sami mawon. Dari
kerabat ataupun teman-teman yang punya anak baru tahu bahwa sekarang ini
tidak ada anak sekolah tidak naik kelas seperti zaman dulu. Semua naik, semua
lulus.
Kecepatan
informasi berlangsung bersamaan dengan ledakan jumlah penduduk dan kemudahan
mobilisasi manusia. Tempat-tempat sepi dan alam perawan diburu para fundamentalis
selfie. Tahun-tahun terakhir ini, selain ledakan jumlah penduduk, juga
ditandai ledakan pelancong. Libur beberapa hari, tempat-tempat tertentu
dibanjiri fundamentalis liburan. Bali, Yogya, Bandung, menyusul kota-kota
lain, seperti Cirebon, di ambang krisis air tanah dikarenakan perkembangan
hotel-hotel murah untuk mengakomodasi turisme massal. Belum krisis lingkungan
yang lain, termasuk sampah.
Bagaimana
dengan perkembangan media? Dulu populer istilah pers sebagai anjing penjaga,
the press is a watchdog. Kini media-media atau medium menurut pakar media
Marshall McLuhan menentukan isi-telah berubah. Isi atau konten, menurut
McLuhan, hanyalah "sekerat daging yang dibawa pencuri (dalam hal ini
maksudnya medium tadi) untuk mengalihkan perhatian anjing penjaga di
otak". Watchdog baginya bukan anjing penjaga yang menggonggongi lembaga
pemerintah, legislatif, atau hukum, melainkan anjing penjaga sebagai penjaga
kesadaran otak kita. Sesuatu yang ada dalam diri kita sendiri.
Media
digital membuat yang nyata dan tidak nyata kabur batasnya. Kita harus
terus-menerus memelihara kewaspadaan anjing penjaga di otak kita, the
watchdog of the mind. Kesadaran harus dipelihara. Eling. Jangan mau otak kita
dikadali kebohongan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar