Kamis, 08 Maret 2018

Rendahnya Kesadaran tentang Keselamatan

Rendahnya Kesadaran tentang Keselamatan
Hasanudin Abdurakhman  ;   Cendekiawan; Penulis; 
Kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia
                                                    DETIKNEWS, 05 Maret 2018



                                                           
Kecelakaan kerja pada sejumlah proyek infrastruktur terjadi beruntun. Menteri PUPR sempat memerintahkan penghentian konstruksi semua proyek infrastruktur. Tapi jelas langkah itu tak berumur panjang, karena banyak hal yang harus dipertimbangkan. Beberapa hari kemudian pekerjaan sudah dilanjutkan kembali. Pertanyaan pentingnya, apakah setelah ini pelaksana proyek-proyek itu akan lebih memperhatikan keselamatan? Apakah setelah ini tidak akan terjadi lagi kecelakaan kerja?

Pernyataan Direktur Utama Waskita Karya, setelah terjadinya sejumlah kecelakaan itu, memberikan gambaran yang jelas bahwa aspek keselamatan memang diabaikan. Eksekutif perusahaan lebih fokus pada aspek-aspek finansial, lalu lalai memperhatikan aspek keselamatan. Manajemen keselamatan katanya akan diperbaki. Seberapa baik? Bagaimana caranya?

Membangun sistem manajemen keselamatan bukan hal mudah. Keselamatan adalah soal kebiasaan. Dalam hal ini kebiasaan ribuan orang. Mulai dari pimpinan puncak perusahaan, manajemen di level menengah, pelaksana di lapangan, hingga ke buruh-buruh yang melakukan berbagai pekerjaan kasar dan berbahaya. Bagaimana mengubah itu semua? Jelas tidak bisa dilakukan dalam waktu singkat.

Dalam konteks eksekutif, memberi perhatian atau tidak kepada aspek keselamatan di lapangan akan membuat struktur profit-loss perusahaan berubah. Ya, keselamatan tidak gratis. Menetapkan perubahan dalam manajemen proyek demi memperhatikan keselamatan akan memunculkan biaya yang tidak kecil. Akankah eksekutif perusahaan mau mempertaruhkan reputasi pembukuan mereka demi para pekerja yang tidak pernah mereka kenal? Perlu perubahan mind set yang mendasar untuk bisa melakukan itu.

Di tingkat yang lebih praktis, situasinya tidak lebih sederhana. Seperti saya tulis di atas, keselamatan adalah soal kebiasaan. Bagaimana kebiasaan pekerja kita dalam hal keselamatan? Parah. Kita bisa melihatnya dengan mudah dari cara mereka berkendara. Orang-orang yang bekerja di berbagai proyek konstruksi itu adalah orang-orang yang biasa berkendara secara mengerikan. Mereka bisa berganti jalur secara mendadak tanpa memberi tanda, menyalip dengan memotong jalan kendaraan lain, atau bahkan melawan arus. Mereka juga biasa naik sepeda motor tanpa helm. Ringkasnya, ini adalah orang-orang yang biasa mengabaikan keselamatan.

Hasilnya, seperti yang kita lihat itu, kecelakaan beruntun. Yang sampai kepada kita melalui berita media massa itu hanya sebagian kecil saja. Menurut Hukum Heinrich, satu kecelakaan fatal didahului oleh setidaknya 29 kecelakaan ringan. Dengan adanya 5 atau 6 kecelakaan fatal yang diberitakan, setidaknya sudah terjadi 150 kecelakaan ringan, dan ribuan kejadian nyaris celaka ( near-miss). Kejadian-kejadian itu tidak diberitakan, bahkan mungkin sama sekali tidak dicatat kejadiannya.

Itu adalah masalah kita yang berikutnya, soal mind set terhadap keselamatan. Kejadian baru dianggap sebagai kecelakaan kalau sudah ada yang terluka parah atau mati. Kecelakaan kecil dianggap bukan kecelakaan. Karena itu dibiarkan, tidak diambil tindakan agar tidak terulang.

Standar pada perusahaan dengan manajemen keselamatan yang rapi, setiap kejadian kecelakaan, termasuk yang ringan, dilaporkan, dan informasinya disebar ke seluruh perusahaan terkait. Sebuah industri dengan 250 anak perusahaan di seluruh dunia akan menyebarkan informasi kecelakaan di suatu unit usahanya kepada seluruh anak perusahaan, agar menjadi perhatian, dan agar segera mengambil langkah-langkah pencegahan. Itu yang biasa dilakukan.

Dapatkah level itu dicapai? Kondisi di perusahaan pelaksana konstruksi tadi sungguh parah. Ada kejadian fatal, diikuti kejadian fatal lain, itu terus berlangsung selama hampir setengah tahun. Artinya, bahkan kejadian kecelakaan parah di suatu proyek tidak menjadi bahan kewaspadaan pada proyek lain. Ini menggambarkan buruknya sistem manajemen keselamatan. Bagaimana mengubah itu dalam sekejap? Bagaimana mengubah ribuan pekerja yang biasa mengabaikan keselamatan tadi menjadi orang yang peduli dan terampil menjaga keselamatan? Ya, keselamatan tidak hanya soal , kesadaran saja. Ada aspek keterampilan di situ. Artinya, perlu waktu lama untuk mengubah perilaku para pekerja, menumbuhkan kebiasaan kerja selamat tadi.

Yang lebih parah, kesadaran soal keselamatan ini terlihat rendah hingga pada elite pemimpin negara. Presiden Joko Widodo masih sering tampil dengan mengabaikan keselamatan, seperti dibonceng dengan sepeda motor tanpa helm. Bahkan pernah saya lihat foto Presiden sedang duduk menumpang di kendaraan bak terbuka. Demikian pula dengan pejabat lain. Menteri Kelautan dan Perikanan pernah mempublikasikan foto dia naik sepeda motor tanpa memakai helm. Kapolri juga pernah begitu. Gubernur DKI pernah ikut kerja bakti, meraup kotoran di selokan dengan tangan, tidak menggunakan alat. Semua itu adalah tindakan yang mengabaikan keselamatan. Tindakan seperti itu dipublikasikan secara vulgar kepada publik.

Konyolnya, jarang ada yang bersuara, memandangnya dari sudut pandang keselamatan. Banyak yang memujinya sebagai sikap merakyat dan informal. Tegasnya, rakyat terbiasa mengabaikan keselamatan. Pemimpin hendak mencitrakan diri mereka merakyat, dengan menunjukkan perilaku mengabaikan keselamatan. Ibaratnya, murid kencing berdiri, para guru ikut kencing berdiri bersama murid-muridnya, lalu mereka dipuji sebagai guru yang akrab. Sungguh ini merupakan pameran kesalahan berpikir yang mendasar.

Kembali ke soal proyek konstruksi tadi, yakinlah bahwa kecelakaan tidak bisa dihentikan hanya dengan keinginan saja. Perlu perubahan manajemen secara mendasar dan menyeluruh. Semoga hal itu memang benar dilakukan, bukan sekadar pencitraan saat konferensi pers belaka.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar