Sabtu, 30 Desember 2017

Meluruskan Tafsir Putusan MK

Meluruskan Tafsir Putusan MK
Ari Wirya Dinata ;  Peneliti Muda Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas; Mahasiswa Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia
                                                    KOMPAS, 26 Desember 2017



                                                           
Menegakkan hukum tanpa melanggar hukum. Postulat  tersebut cukup untuk menggambarkan apa yang dilakukan oleh lima hakim Mahkamah Konstitusi (Maria Farida, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Manahan MP Sitompul, dan Saldi Isra),  yang menolak  secara keseluruhan pengujian Pasal 284 Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 285 dan Pasal 292 Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diajukan oleh pemohon. Secara keseluruhan, pasal-pasal tersebut berisi mengenai perzinaan dan pemerkosaan.

Namun, pasca-putusan ini dibacakan, bak gelombang tsunami, argumentasi, pendapat, dan komentar secara membabi buta muncul di pelbagai media, termasuk media sosial, berasal dari publik yang merespons putusan ini. Tidak peduli benar-salah, ujungnya adalah kesimpulan yang menuding bahwa Mahkamah Konstitusi telah melegalkan perbuatan zina dan perbuatan lesbi, gay, biseks, dan transgender (LGBT).

Bebas tetapi paham

Berpendapat dan mengeluarkan pikiran memang merupakan hak asasi bagi semua orang yang dijamin di dalam Konstitusi Pasal 28 UUD NRI 1945 sebagai bentuk penghormatan kebebasan berekspresi (freedom of expression) serta manifestasi dari demokrasi. Meskipun demikian, kebebasan yang dimiliki oleh rakyat dalam menyampaikan argumentasi, pendapat yang tidak didukung dengan pemahaman yang mumpuni dan analisis yang kuat, hanya akan membangun kesesatan dalam berpikir serta menggiring opini publik yang salah.

Alih-alih menuju demokrasi madani, berintelektual, dan berakhlak, yang terjadi justru akan mengarah pada anarki dan budaya demokrasi parokial.

Tentu kita tidak ingin membangun atmosfer berdemokrasi dengan intuisi yang dangkal dan sebatas emosional semata: yaitu karena ketakutan terhadap bahaya masif yang dapat diakibatkan dari pengaturan hukum yang lemah tentang perzinaan dan LGBT dalam sistem hukum pidana Indonesia saat ini,  lalu memaksakan agar kehendak tersebut diterima mentah-mentah tanpa memperhatikan prosedur hukum yang tepat dalam menanganinya.

Gelombang protes yang tidak berlandaskan cara berpikir hukum ini hanya akan menciptakan tirani mayoritas, di mana publik tidak peduli dengan model dan prosedur. Yang  penting  bagi mereka perkara perzinaan dan LGBT dikriminalisasi.

Respons salah baca

Setidaknya inilah yang tergambar dari respons masif publik yang salah membaca dan memahami putusan Mahkamah Konstitusi serta melabel Mahkamah Konstitusi pro kepada legalisasi perbuatan  zina dan LGBT. Padahal, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-XIV/2016 yang dibacakan 14 Desember 2017, sama sekali tidak menyebutkan adanya kata legalisasi di dalam pertimbangan ataupun amar putusan. Bahkan, untuk menegaskan posisi tersebut dan meredam gelombang publik yang salah kaprah terhadap putusan ini, Mahkamah Konstitusi secara kelembagaan mengeluarkan rilis tertanggal 18 Desember 2017.

Pada hakikatnya, duduk permasalahan dari permohonan ini sangatlah sederhana, yaitu berangkat dari kegelisahan para pemohon atas maraknya perbuatan zina dan LGBT sehingga urgen untuk memberi tafsir terhadap ketentuan KUHP warisan Belanda yang telah usang dalam mendalilkan perbuatan zina yang tidak lagi sesuai dengan politik hukum pidana, nilai-nilai sosial dan agama yang hidup di negara Indonesia.

Sementara itu, Mahkamah Konstitusi berpendapat, dengan putusan yang tidak bulat, yaitu 5:4, untuk menolak permohonan pengujian tersebut dengan dalil bahwa Mahkamah Konstitusi tidak ingin memperluas tafsir dari bunyi pasal-pasal yang diujikan karena akan menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai miniparlemen, yaitu ada parlemen di luar DPR dan Presiden yang secara konstitusional diamanatkan UUD 1945 memiliki kewenangan untuk membentuk suatu norma baru (positive legislator), sementara MK semangat pembentukannya hanyalah lembaga yang bersifat membatalkan norma hukum (negative legislator), yaitu tatkala terdapat norma-norma yang dibuat oleh pembentuk undang-undang yang tidak sejalan dengan semangat konstitusi.

Apalagi permintaan dari pemohon tidak hanya memperluas penafsiran, tetapi juga mengubah subyek, jenis perbuatan, dan pidana tentulah tidak tepat jika memaksakan kepada Mahkamah Konstitusi.

Hukum kontrol sosial

Jamak diketahui bahwa hukum adalah alat untuk menciptakan kontrol sosial. Untuk menjalankannya terdapat pranata-pranata hukum dengan kewenangan masing-masing agar dapat bekerja secara seimbang sesuai dengan prinsip negara hukum, yaitu pemisahan kekuasaan (separation of power).

Oleh karena itu, libido untuk memaksa Mahkamah Konstitusi  menerima dan memperluas makna pasal tersebut sebagaimana kehendak pemohon justru menempatkan MK sebagai lembaga yang mencaplok kewenangan lembaga  lain (tirany judicial), yaitu DPR dan Presiden untuk membentuk  undang-undang sesuai amanat Pasal 5  junto Pasal 20 UUD 1945.

Tidak hanya itu, munculnya tekanan yang memaksa Mahkamah Konstitusi memberi tafsir sebagaimana kehendak pemohon akan membuat Mahkamah
Konstitusi keluar dari prinsip judicial renstrait, yaitu konsep pemisahan kekuasaan: di mana pengadilan harus dapat melakukan pengekangan atau pengendalian diri dari kecenderungan ataupun dorongan untuk bertindak layaknya pembentuk undang-undang.

Pada dasarnya sangat jelas posisi Mahkamah Konstitusi bahwa tidak ada keberpihakan Mahkamah Konstitusi pada perbuataan zina dan LGBT, tetapi Mahkamah Konstitusi tidak ingin terjebak dalam keadaan yang di luar kewenangan sehingga menyebutkan bahwa kebijakan untuk mengkriminalisasi perbuatan sebagaimana dimaksud oleh pemohon adalah kewenangan lembaga pembentuk undang-undang (open legal policy).

Waspada ”status quo”

Di sisi lain, apabila dicermati pendapat berbeda (dissenting opinion) yang disampaikan oleh empat hakim Mahkamah Konstitusi lainnya, juga mengacu pada pembentuk undang-undang untuk memperbaiki ketentuan pasal yang dimaksud oleh pemohon. Artinya, justru argumentasi yang dibangun oleh empat hakim Mahkamah Konstitusi jauh lebih berbahaya karena akan membuat status quo apabila ketentuan dalam Pasal 284 Ayat (1), (2), (3), (4), dan (5), Pasal 285 dan Pasal 292 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dibatalkan. Hal ini akan menghilangkan rem terhadap perzinaan dan menciptakan lubang risiko lebih besar.

Dengan demikian, sudah tepat kirannya apabila pemohon justru mengarahkan usaha-usahanya untuk mengkriminalisasi perbuatan ini melalui saluran konstitusional yang benar. Misalnya, mengawal proses legalisasi di DPR. Bahkan, keterangan DPR dalam persidangan pengujian ini jelas menyebutkan bahwa apa yang diminta (petitum) pemohon sudah menjadi materi dalam Rancangan Undang-Undang KUHP, seharusnya ini yang diawasi prosesnya. ●

1 komentar:

  1. ||Satu Akun semua jenis Game ||

    Game Populer:
    =>>Sabung Ayam S1288, SV388
    =>>Sportsbook,
    =>>Casino Online,
    =>>Togel Online,
    =>>Bola Tangkas
    =>>Slots Games, Tembak Ikan, Casino
    Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
    || Online Membantu 24 Jam
    || 100% Bebas dari BOT
    || Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA

    Pakai Pulsa Tanpa Potongan
    Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
    Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia

    WhastApp : 0852-2255-5128

    BalasHapus