Menebarkan
Kebaikan
M Subhan SD ; Wartawan Senior Kompas
|
KOMPAS, 26 Januari 2017
Kebencian
dan kekasaran di dunia maya juga dunia nyata membuat banyak pihak tidak lagi
tinggal diam. Bukan melawan dengan kemarahan, melainkan dengan menebarkan
pesan-pesan kebaikan. Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri pada HUT ke-44
partai itu, 10 Januari lalu, mengajak kekuatan mayoritas yang selama ini diam
untuk bersuara dan menggalang kekuatan bersama.
Di
Bali, misalnya, tengah bergerak Activist Bali Creative (ABC). Yudha Bantono,
pegiat seni dan budaya, bersama komunitas desain grafis Bali tengah
menyiapkan gerakan melawan ujaran kebencian dan hoax. Bukan dengan bentuk
kekasaran, melainkan lewat "kampanye" memakai meme atau poster yang
berisi ajakan atau imbauan positif.
Konkretnya,
Yudha mengutip pandangan atau omongan para pendiri bangsa untuk kemudian
diviralkan. Langkah ini sekaligus diharapkan dapat menumbuhkan nasionalisme.
"Kami membuat perlawanan dengan gambar dan ujaran yang baik dan nasionalisme,"
ujar Yudha yang juga alumnus Kedokteran Hewan Universitas Udayana di rumahnya
di kawasan Batu Bulan, Gianyar, Bali, Sabtu (21/1) malam.
Sekarang
tidak sedikit publik yang bergerak melawan hoax. Pada 8 Januari gerakan anti
hoax dideklarasikan secara serentak di Jakarta, Bandung, Semarang, Wonosobo,
Surakarta, dan Surabaya. Presiden Joko Widodo juga telah menegaskan perang
melawan hoax. "Saya kira sudah lama kita bertarung dengan yang namanya
kabar bohong, yang namanya hoax itu," kata Jokowi seusai mengikuti
kejuaraan panahan di Lapangan Pusdikzi, Bogor, Minggu.
Membalas
kekasaran di media sosial dengan kekasaran barangkali sama buruknya. Melawan
kebencian dan kedengkian dengan kemarahan justru bisa membuat ruang publik
semakin gaduh dan menyebalkan. Selama ini, hoax telah membuat publik resah,
terbelah, dan berkomunikasi secara negatif. Kalimat-kalimat yang dilontarkan
jauh dari kesantunan yang selama ini dikenal sebagai jati diri bangsa kita.
Tidak
hanya orang kebanyakan, elite politik juga kerap melontarkan kata-kata sarkas
dan bernada penghinaan. Mereka barangkali lupa bahwa ekses media sosial bisa
mengusik kohesi sosial. Apalagi, tidak sedikit hoax yang diduga memiliki
motif politis dan hal itu bisa menjadi ancaman stabilitas nasional. Padahal,
elite adalah bagian dari kelompok masyarakat yang bertugas memberi
keteladanan kepada publik.
Presiden
juga mengajak masyarakat menumbuhkan budaya baru berupa membangun kesantunan
bertutur kata. "Dalam kita menyampaikan hal ujaran-ujaran di media sosial
jangan menghasut, jangan memfitnah, jangan menyebarkan kabar bohong, jangan
menyebarkan ujaran kebencian," kata Jokowi.
Di
era demokrasi, nilai-nilai demokratis selain keterbukaan, inklusi,
partisipasi, dan pemberdayaan, juga bahwa publik mampu membedakan hal-hal
yang kredibel dan dapat diverifikasi dengan hal-hal spekulatif, palsu, atau
propaganda (The Knight Commision, 2009).
Jika ada yang tidak bisa memahami dan membedakan hal-hal itu, bisa jadi
mereka tidak punya karakter demokratis. Di alam demokrasi, menebarkan pesan
baik akan lebih konstruktif dan produktif dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Ada ungkapan, mengajarkan mencari lampu untuk menerangi kegelapan
lebih bermakna ketimbang terus-menerus menyumpahi kegelapan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar