Twiplomacy
Trump
Abdul Halim ; Alumnus Sekolah Pascasarjana Program Studi
Diplomasi Universitas Paramadina, Jakarta; Direktur Eksekutif Pusat Kajian
Maritim untuk Kemanusiaan (Center of Maritime Studies for Humanities)
|
KORAN
SINDO, 25
Januari 2017
Donald
John Trump resmi menjabat sebagai presiden Amerika Serikat ke-45 pada Jumat
(20/1). Dalam pidatonya, Trump menekankan pentingnya jiwa
nasionalis-patriotik untuk mengembalikan kejayaan Amerika Serikat (make America great again).
Di
ranah hubungan internasional, Trump menegaskan penghormatannya terhadap
kepentingan bangsa-bangsa lain sembari memprioritaskan kepentingan diplomasi
Amerika Serikat. Pidato ini diunggah ke Twitter dan Facebook miliknya. Tak
pelak, pidatonya disukai oleh lebih dari 344.000 dan dibagikan kembali oleh
76.426 pengikut (followers) Trump
di Twitter dan Facebook. Seperti kita ketahui, Trump menulis beragam cuitan
diplomatik yang ditujukan kepada negara sekutu atau mereka yang dianggap
sebagai ancaman.
Kepada
Israel, Trump berpesan ”stay strong” karena 20 Januari kian dekat (25
Desember 2016) dan mengolok-olok Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai klub
hiburan (27 Desember 2016) menyusul resolusinya untuk menghentikan pendudukan
Israel atas Palestina. Tidak hanya itu, Trump juga menyoal inkonsistensi
China di Laut China Selatan dan pembiaran terhadap perilaku Korea Utara (3
Januari 2017). Ia menambahkan, ”Korea Utara menebar kebohongan terkait dengan
senjata nuklir yang diklaim bisa menjangkau Amerika Serikat” pada 3 Januari.
Menariknya,
Trump juga menyinggung Rusia dengan menyebut, ”memiliki relasi konstruktif
dengan Rusia merupakan hal baik dalam mengatasi pelbagai isu dan problem
dunia”(7Januari). Trump menyadari sepenuhnya manfaat dan dampak yang timbul
dari penggunaan media sosial seperti Twitter dan Facebook. Betapa tidak,
dengan akun @realDonaldTrump, Presiden Amerika Serikat ini memiliki jumlah
pengikut (followers) sebanyak 21.562.994.
Sementara
di Facebook, followers-nya mencapai 18.583.364. Dengan perkataan lain, sekali
cuitan di Twitter dan Facebook, Trump bisa menjangkau 40.146.358 orang secara
langsung. Akankah Trump mengubah gaya diplomasi Twitternya? Sepertinya Trump
bakal berkata sebaliknya. Apalagi banyak pemimpin dunia dan pelaku diplomatik
yang menggunakan media sosial sebagai sarana informasi dan komunikasi politik
internasional.
Selain
Trump, pemimpin dan pelaku diplomasi dunia yang merasakan manfaat penggunaan
media sosial antara lain Presiden Republik Iran Hassan Rouhani (jumlah
followers sebanyak 565.353), Presiden Republik Prancis Francois Hollande
(followers 1.852.451), Presiden Federasi Rusia Vladimir Putin (560.665),
Kanselir Jerman Angela Merkel (83.770), Paus Francis (10.268.194), Hillary
Clinton (12.504.745), Presiden Amerika Serikat Barack Obama (83.059.518),
Perdana Menteri Inggris Theresa May (215.244), Direktur IMF Christine Lagarde
(386.949), dan Presiden Republik Indonesia Joko Widodo (6.709.115).
Inilah
era ”Twiplomacy”, medium baru diplomasi publik yang digunakan tidak hanya
oleh pemimpin dunia atau aktor negara, melainkan juga melibatkan hampir 2
miliar penduduk dunia (non-state actors). Dalam buku Twitter for Diplomats,
Menteri Luar Negeri Italia Giulio Terzi (November 2011-26 Maret 2013)
menyebut Twitter memberikan dua dampak positif yang sangat besar: (i)
mempercepat pertukaran ide antara pemangku kebijakan (policymakers) dan
masyarakat sipil; dan (ii) meningkatkan kemampuan diplomat- diplomat dalam
pengumpulan informasi, antisipasi, analisis, kontrol, dan memberi reaksi atas
peristiwa-peristiwa tertentu (2013: 7).
Betapa
tidak, hanya dengan 140 karakter, Twitter memudahkan penyebaran berita dan
opini secara real time , dengan cara yang sederhana dan ringkas, untuk
mempercepat pencapaian tujuan kebijakan luar negeri suatu negara. Statista.com
mencatat, pemakai Twitter terbesar berada di Amerika Serikat (67,54 juta),
diikuti India (41,19 juta), Indonesia (24,34 juta), Jepang (22,4 juta), China
(19,19 juta), Brasil (17,97 juta), Inggris (14,06 juta), dan Meksiko (9,62
juta). Bagaimana dengan pengguna Facebook? Statista.com menunjukkan, pengguna
Facebook terbesar kelima belas di dunia tersebar di India (195,16 juta),
Amerika Serikat (191,3 juta), Brasil (90,11 juta), Indonesia (77,58 juta),
China (52,87 juta), Meksiko (46,03 juta), Filipina (39,82 juta), Jerman
(36,82 juta), Inggris (36,45 juta), Turki (33,09 juta), Prancis (30,39 juta),
Jepang (28,21 juta), Italia (28,18 juta), Kanada (22,37 juta), dan Spanyol
(21,48 juta).
Kini
jumlah pengguna media sosial Twitter dan Facebook meningkat berlipatlipat.
Statista.com menyebut, pada kuartal IV 2015, Twitter memiliki 305 juta
pengguna aktif. Sementara Facebook per Januari 2015 telah digunakan oleh 1,59
miliar warga dunia. Pendek kata, Twitter telah mengubah gaya hidup banyak
orang. Di arena kebijakan luar negeri dan diplomasi, teknologi telah membawa
perubahan besar atas pola diplomasi tradisional yang berlangsung sejak abad
ke-18. Seperti dikatakan Hillary Clinton, ”Pemakaian internet telah mengubah
setiap aspek dari bagaimana orang di seluruh dunia hidup, belajar,
mengonsumsi, dan berkomunikasi.
Koneksi
teknologi telah mengubah strategi diplomasi abad ke-21”. Thomas L. Friedman
menyebut revolusi teknologi sejak 2007 merupakan faktor penting yang
mendorong terjadi perubahan lanskap sosial-politik di banyak negara dan
diplomasi internasional, tidak terkecuali di Amerika Serikat dengan
terpilihnya Trump sebagai presiden Amerika Serikat. Hal ini ditandai dengan
peluncuran iPhone, Facebook, Twitter, Hadoop, Big Data, Cloud, dan Android
(New York Times, 19 November 2016) yang telah memberikan pelbagai kemudahan
pengguna internet untuk saling berkomunikasi dan bertukar informasi secara
langsung meski tinggal di benua yang berbeda.
Eskalasi
pemakaian teknologi ini jika tidak diantisipasi, juga bakal melahirkan
ochlocracy atauhukumrimba. Protesmassa antipemerintah dan pemberontakan
bersenjata yang menimpa Tunisia, Mesir, Yaman, Suriah, dan Libia atau populer
dengan sebutan Arab Spring adalah gambaran berlakunya hukum rimba saat
legitimasi pemerintah anjlok di depan rakyatnya. Fenomena twiplomacy Trump
juga menggambarkan kekuatan individu untuk membangun kelompok kerja ad
hoc-nya dalam merumuskan kebijakan luar negeri dan memengaruhi komunitas
diplomasi internasional demi pencapaian kepentingan nasional Amerika Serikat.
Saking
berpengaruhnya, Seoul menugaskan staf kementerian luar negerinya untuk
memantau dan menganalisis kebijakan luar negeri Amerika Serikat via cuitan
Trump (Telegraph, 05/1). Fakta ini menunjukkan, efek yang paling signifikan
dari twiplomacy, kata Claudio Bisogniero (Duta Besar Italia untuk Amerika
Serikat), adalah dunia sedang menyaksikan pergeseran geopolitik kekuasaan.
Diplomasi via Twitter telah mendekatkan pelbagai aktor diplomasi/hubungan
internasional, baik negara maupun nonnegara.
Dominasi
aktor negara bahkan seringkali berganti posisi dengan entitas nonnegara
seperti pemuka agama, selebritas, dan lembaga swadaya masyarakat. Mengapa hal
ini terjadi? Di dalam masyarakat, kata filsuf berkebangsaan Slovenia Slavoj
Zizek, ada keterhubungan aturan yang tidak tertulis, bagaimana politik
bekerja dan konsensus terbangun. Fenomena sarkasme twiplomacy Trump
membongkar kesadaran publik dan memaksa semua orang kembali berpikir bahwa
perjuangan melawan segala bentuk pelecehan dan penjajahan terhadap martabat
kemanusiaan belumlah usai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar