Selasa, 16 Januari 2018

Kejahatan Tanpa Korban

Kejahatan Tanpa Korban
Muladi  ;  Tim Ahli Perumusan RUU KUHP
                                                      KOMPAS, 15 Januari 2018



                                                           
Polemik terkait putusan Mahkamah Konstitusi tentang LGBT atau lesbian, gay, biseksual, dan transjender, serta  tertangkapnya beberapa artis dan pejabat terkenal atau keluarganya  karena menggunakan narkoba, dan terungkapnya berbagai delik susila merebak akhir- akhir ini. Polemik ini menyadarkan kita akan adanya kontroversi tentang konsep kejahatan tanpa korban (victimless crime)  yang seharusnya dipahami secara komprehensif dan akurat.

Terminologi kejahatan tanpa korban mencakup perbuatan-perbuatan yang dipandang tercela dan ilegal tanpa kekerasan, yang secara tipikal langsung hanya melibatkan si pelaku, atau terjadi atas dasar persetujuan atau transaksi sukarela di antara orang-orang dewasa secara konsensual dan tak menimbulkan korban badan atau harta orang lain yang tak bersalah yang tak berpartisipasi secara langsung dalam perbuatan tersebut (Decker, 1973).

Aspek pertama adalah adanya perilaku konsensual antarpartisipan orang dewasa. Kedua, para pihak atau pelaku yang terlibat tak akan menaruh keberatan atas perbuatan itu. Dan ketiga, perbuatan tersebut tidak menimbulkan kerugian terhadap orang lain yang tak berpartisipasi.

Contoh, perilaku seksual yang tak normal (LGBT) yang dilakukan secara klandestin, bersifat privat, tak dilakukan di muka umum, tak dipublikasikan dan tak melibatkan anak-anak di bawah umur serta tak dilakukan dengan kekerasan atau pemaksaan. Begitu pula penggunaan narkoba secara pribadi untuk rekreasi semata-mata, pelacuran, perjudian, perzinaan suka sama suka, kumpul kebo, hubungan seks antar-orang dewasa yang belum kawin, sodomi, mabuk-mabukan, pornografi, percobaan bunuh diri, aborsi, bigami (poliandri), penggelandangan, perbuatan cabul dan inses (hubungan seksual di antara orang-orang berkeluarga dekat).

Persoalan mendasar di sini adalah telah terjadinya pergeseran standar moral, nilai, norma, perilaku, dan keyakinan masyarakat. Pemahaman istilah tanpa korban (victimless) dikaitkan dengan prinsip bahwa seorang individu berada dalam posisi memiliki kedaulatan mutlak terhadap dirinya dan lembaga-lembaga seperti masyarakat dan negara yang bersifat abstrak tidak boleh melarang karena korbannya adalah pelakunya sendiri dan pemidanaan adalah perbuatan yang tidak bijaksana yang dapat mencederai hak  pribadi (right to privacy) orang yang tidak bersalah.

Terhadap perbuatan-perbuatan itu tidak ada yang berkeberatan karena justru di sini terdapat pertukaran pelayanan atau harta benda yang sama-sama diharapkan para pihak yang berusaha mencegah kerugian, baik individual maupun sosial untuk tidak terjadi, sebagaimana kejahatan pada umumnya. Dalam hukum pidana kejahatan tanpa korban dianggap bukan ”mala per se” (perbuatan yang pada dasarnya memang jahat dari sisi kewajaran, moral, dan peradaban, dan bukan karena dilarang oleh undang-undang), tetapi merupakan ”mala prohibita” (perbuatan yang dinilai jahat atau tercela karena diatur oleh UU).

Kontroversi

Pemidanaan terhadap kejahatan tanpa korban di beberapa negara menimbulkan kontroversi. Ada yang berpandangan bahwa pemidanaannya merupakan refleksi langkah kriminalisasi yang berlebihan (overcriminalization) yang  melanggar hak asasi manusia (HAM) serta merupakan  salah penggunaan sanksi pidana. Padahal, salah satu syarat utama kriminalisasi (proses atau etika legislatif untuk menjadikan suatu perbuatan menjadi tindak pidana) adalah adanya korban nyata (victimizing), baik faktual maupun potensial.

Mereka menuntut agar tindak pidana tersebut didekriminalisasi atau dicabut sebagai tindak pidana atau dibatasi pengaturannya atau bahkan tidak perlu dituntut  dan dipidana (soft approach). Pembinaan tanpa menggunakan sanksi pidana  dapat diterapkan sebagai alternatif. Contoh, rehabilitasi dan detoksifikasi terhadap pencandu narkoba, psikotropika dan zat adiktif lain, serta pencandu alkohol.

Pembinaan moral dan keagamaan atau langkah-langkah pembinaan lain yang efektif dan rasional juga dapat diimplementasikan. Contoh, lokalisasi pelacuran yang diawasi secara ketat disertai inspeksi kesehatan di beberapa negara dan perizinan lokalisasi perjudian dengan syarat sangat ketat bagi pelakunya.

Beberapa negara Eropa, sejumlah negara bagian Amerika Serikat, dan Rusia telah melakukan dekriminalisasi terhadap kejahatan tanpa korban tertentu disertai syarat-syarat tertentu pula, seperti terhadap penggunaan ganja untuk rekreasi dan pengobatan pribadi, perzinaan, hubungan seks di luar kawin, prostitusi, sodomi, homoseksual, pornografi, dan mabuk-mabukan. Pemidanaan dianggap  hanya akan mengakibatkan biaya penegakan hukum yang besar dan akan menyebabkan penuhnya penjara serta rentan terhadap penyalahgunaan.

Sebaliknya yang menolak paham kejahatan tanpa korban mengajukan argumentasi, bahwa pengertian korban kejahatan dalam sistem peradilan pidana tidak hanya korban langsung, tetapi juga mencakup korban potensial ikutan yang berdekatan (proximately harmed) yang diduga akan terjadi pada orang lain secara tidak langsung. Contoh, meningkatnya penyebaran penyakit HIV/AIDS secara tidak langsung pada masyarakat akibat praktik LGBT liar.

Contoh lain adalah meningkatnya jumlah bandar-bandar narkoba, baik nasional maupun transnasional, sebagai pemasok para pengguna yang semakin luas dengan keuntungan yang menjanjikan. Belum lagi masalah pornografi dan perbuatan asusila lain yang cenderung akan merusak moral anak-anak di bawah umur. Perjudian juga akan memicu berkembangnya premanisme, lintah darat, pelacuran, minuman keras, dan berbagai kejahatan kekerasan (Garvin dan LeClair, 2011).

Di masyarakat Timur yang monodualistik, kekeluargaan dan religius, korban kejahatan tidak dilihat secara individual, tetapi juga bersifat sosial. Perjudian, delik susila yang semula hanya bersifat individual dan konsensual bersifat kriminogin berupa kejahatan dan korban ikutan.

Hal ini jelas akan merusak standar moral masyarakat sekitarnya. Pelacuran  akan diikuti oleh bisnis mucikari, keberadaan para pengguna narkoba yang semakin luas akan memicu berkembangnya jumlah bandar dan pengedar narkoba secara lebih terorganisasi.

Dekriminalisasi yang akan mencerminkan penegakan hukum selektif tidak cukup. Harus ada kebijakan rasional dan efektif yang bertujuan untuk meminimalkan dan memitigasi pelanggaran hukum dan moralitas yang semula bersifat privat kemudian cenderung dapat menimbulkan korban secara tidak langsung berupa kejahatan ikutan. Apalagi dibantu oleh perkembangan teknologi sarana transportasi, komunikasi, dan informatika modern.

Relaksasi dan mitigasi

Selain langkah-langkah berupa dekriminalisasi, beberapa negara Barat telah menerapkan dekriminalisasi terbatas dengan syarat ketat (semi-legalized), misalnya terkait dengan legalisasi penggunaan ganja, kanabis, dan mariyuana untuk kesenangan sendiri atau untuk pengobatan. Demikian juga terkait dengan legalisasi pornografi, prostitusi, perzinaan, LGBT , dan kumpul kebo, serta perjudian.

Dalam Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia yang akan segera disahkan, persoalan kejahatan tanpa korban secara tidak langsung juga banyak diperdebatkan. Contoh, perjudian yang hanya  bisa dilakukan dengan izin, delik susila yang bersifat privat (zina, kumpul kebo, persetubuhan antar-orang dewasa yang tidak kawin) kemungkinan akan dirumuskan sebagai delik aduan apabila anggota keluarga atau masyarakat sekitar ada yang berkeberatan, dan inses tetap dilarang karena tabu dalam kehidupan beragama. Demikian juga mabuk di tempat umum tetap merupakan tindak pidana.

LGBT dilarang apabila menyangkut anak di bawah umur, dilakukan dengan paksaan atau kekerasan, dipublikasikan atau dilakukan di muka umum. Rehabilitasi juga banyak diterapkan bagi pengguna narkoba. Pornografi dipidana kecuali ada alasan penghapus pidana berupa karya seni, budaya, olahraga, dan ilmu pengetahuan. Aborsi tetap merupakan tindak pidana, kecuali dilakukan oleh dokter atas dasar tindakan medis tertentu dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa ibu dan/atau janinnya. Bigami tetap dipidana. Pelacuran dengan berkeliaran di tempat umum (loitering), juga dikriminalisasikan. Membantu bunuh diri (bukan euthanasia) juga diancam pidana.

Indonesian Way tersebut dirumuskan dengan selalu mempertimbangkan batas- batas pembenaran (margins of appreciation) berupa Pancasila, hak-hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui bangsa-bangsa beradab. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar