Kejahatan
Tanpa Korban
Muladi ; Tim Ahli Perumusan RUU
KUHP
|
KOMPAS,
15 Januari
2018
Polemik terkait putusan
Mahkamah Konstitusi tentang LGBT atau lesbian, gay, biseksual, dan transjender,
serta tertangkapnya beberapa artis dan
pejabat terkenal atau keluarganya
karena menggunakan narkoba, dan terungkapnya berbagai delik susila
merebak akhir- akhir ini. Polemik ini menyadarkan kita akan adanya
kontroversi tentang konsep kejahatan tanpa korban (victimless crime) yang
seharusnya dipahami secara komprehensif dan akurat.
Terminologi kejahatan
tanpa korban mencakup perbuatan-perbuatan yang dipandang tercela dan ilegal
tanpa kekerasan, yang secara tipikal langsung hanya melibatkan si pelaku,
atau terjadi atas dasar persetujuan atau transaksi sukarela di antara
orang-orang dewasa secara konsensual dan tak menimbulkan korban badan atau
harta orang lain yang tak bersalah yang tak berpartisipasi secara langsung
dalam perbuatan tersebut (Decker, 1973).
Aspek pertama adalah
adanya perilaku konsensual antarpartisipan orang dewasa. Kedua, para pihak
atau pelaku yang terlibat tak akan menaruh keberatan atas perbuatan itu. Dan
ketiga, perbuatan tersebut tidak menimbulkan kerugian terhadap orang lain
yang tak berpartisipasi.
Contoh, perilaku seksual
yang tak normal (LGBT) yang dilakukan secara klandestin, bersifat privat, tak
dilakukan di muka umum, tak dipublikasikan dan tak melibatkan anak-anak di
bawah umur serta tak dilakukan dengan kekerasan atau pemaksaan. Begitu pula
penggunaan narkoba secara pribadi untuk rekreasi semata-mata, pelacuran,
perjudian, perzinaan suka sama suka, kumpul kebo, hubungan seks antar-orang
dewasa yang belum kawin, sodomi, mabuk-mabukan, pornografi, percobaan bunuh
diri, aborsi, bigami (poliandri), penggelandangan, perbuatan cabul dan inses
(hubungan seksual di antara orang-orang berkeluarga dekat).
Persoalan mendasar di sini
adalah telah terjadinya pergeseran standar moral, nilai, norma, perilaku, dan
keyakinan masyarakat. Pemahaman istilah tanpa korban (victimless) dikaitkan
dengan prinsip bahwa seorang individu berada dalam posisi memiliki kedaulatan
mutlak terhadap dirinya dan lembaga-lembaga seperti masyarakat dan negara
yang bersifat abstrak tidak boleh melarang karena korbannya adalah pelakunya
sendiri dan pemidanaan adalah perbuatan yang tidak bijaksana yang dapat
mencederai hak pribadi (right to privacy) orang yang tidak
bersalah.
Terhadap
perbuatan-perbuatan itu tidak ada yang berkeberatan karena justru di sini
terdapat pertukaran pelayanan atau harta benda yang sama-sama diharapkan para
pihak yang berusaha mencegah kerugian, baik individual maupun sosial untuk
tidak terjadi, sebagaimana kejahatan pada umumnya. Dalam hukum pidana
kejahatan tanpa korban dianggap bukan ”mala per se” (perbuatan yang pada
dasarnya memang jahat dari sisi kewajaran, moral, dan peradaban, dan bukan
karena dilarang oleh undang-undang), tetapi merupakan ”mala prohibita”
(perbuatan yang dinilai jahat atau tercela karena diatur oleh UU).
Kontroversi
Pemidanaan terhadap
kejahatan tanpa korban di beberapa negara menimbulkan kontroversi. Ada yang
berpandangan bahwa pemidanaannya merupakan refleksi langkah kriminalisasi
yang berlebihan (overcriminalization) yang
melanggar hak asasi manusia (HAM) serta merupakan salah penggunaan sanksi pidana. Padahal,
salah satu syarat utama kriminalisasi (proses atau etika legislatif untuk
menjadikan suatu perbuatan menjadi tindak pidana) adalah adanya korban nyata
(victimizing), baik faktual maupun potensial.
Mereka menuntut agar
tindak pidana tersebut didekriminalisasi atau dicabut sebagai tindak pidana
atau dibatasi pengaturannya atau bahkan tidak perlu dituntut dan dipidana (soft approach). Pembinaan
tanpa menggunakan sanksi pidana dapat
diterapkan sebagai alternatif. Contoh, rehabilitasi dan detoksifikasi
terhadap pencandu narkoba, psikotropika dan zat adiktif lain, serta pencandu
alkohol.
Pembinaan moral dan
keagamaan atau langkah-langkah pembinaan lain yang efektif dan rasional juga
dapat diimplementasikan. Contoh, lokalisasi pelacuran yang diawasi secara
ketat disertai inspeksi kesehatan di beberapa negara dan perizinan lokalisasi
perjudian dengan syarat sangat ketat bagi pelakunya.
Beberapa negara Eropa,
sejumlah negara bagian Amerika Serikat, dan Rusia telah melakukan
dekriminalisasi terhadap kejahatan tanpa korban tertentu disertai
syarat-syarat tertentu pula, seperti terhadap penggunaan ganja untuk rekreasi
dan pengobatan pribadi, perzinaan, hubungan seks di luar kawin, prostitusi,
sodomi, homoseksual, pornografi, dan mabuk-mabukan. Pemidanaan dianggap hanya akan mengakibatkan biaya penegakan
hukum yang besar dan akan menyebabkan penuhnya penjara serta rentan terhadap
penyalahgunaan.
Sebaliknya yang menolak
paham kejahatan tanpa korban mengajukan argumentasi, bahwa pengertian korban
kejahatan dalam sistem peradilan pidana tidak hanya korban langsung, tetapi
juga mencakup korban potensial ikutan yang berdekatan (proximately harmed)
yang diduga akan terjadi pada orang lain secara tidak langsung. Contoh,
meningkatnya penyebaran penyakit HIV/AIDS secara tidak langsung pada
masyarakat akibat praktik LGBT liar.
Contoh lain adalah
meningkatnya jumlah bandar-bandar narkoba, baik nasional maupun
transnasional, sebagai pemasok para pengguna yang semakin luas dengan
keuntungan yang menjanjikan. Belum lagi masalah pornografi dan perbuatan
asusila lain yang cenderung akan merusak moral anak-anak di bawah umur.
Perjudian juga akan memicu berkembangnya premanisme, lintah darat, pelacuran,
minuman keras, dan berbagai kejahatan kekerasan (Garvin dan LeClair, 2011).
Di masyarakat Timur yang
monodualistik, kekeluargaan dan religius, korban kejahatan tidak dilihat
secara individual, tetapi juga bersifat sosial. Perjudian, delik susila yang
semula hanya bersifat individual dan konsensual bersifat kriminogin berupa
kejahatan dan korban ikutan.
Hal ini jelas akan merusak
standar moral masyarakat sekitarnya. Pelacuran akan diikuti oleh bisnis mucikari,
keberadaan para pengguna narkoba yang semakin luas akan memicu berkembangnya
jumlah bandar dan pengedar narkoba secara lebih terorganisasi.
Dekriminalisasi yang akan
mencerminkan penegakan hukum selektif tidak cukup. Harus ada kebijakan
rasional dan efektif yang bertujuan untuk meminimalkan dan memitigasi
pelanggaran hukum dan moralitas yang semula bersifat privat kemudian
cenderung dapat menimbulkan korban secara tidak langsung berupa kejahatan
ikutan. Apalagi dibantu oleh perkembangan teknologi sarana transportasi,
komunikasi, dan informatika modern.
Relaksasi
dan mitigasi
Selain langkah-langkah
berupa dekriminalisasi, beberapa negara Barat telah menerapkan
dekriminalisasi terbatas dengan syarat ketat (semi-legalized), misalnya
terkait dengan legalisasi penggunaan ganja, kanabis, dan mariyuana untuk
kesenangan sendiri atau untuk pengobatan. Demikian juga terkait dengan
legalisasi pornografi, prostitusi, perzinaan, LGBT , dan kumpul kebo, serta
perjudian.
Dalam Rancangan
Undang-Undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) Indonesia yang akan
segera disahkan, persoalan kejahatan tanpa korban secara tidak langsung juga
banyak diperdebatkan. Contoh, perjudian yang hanya bisa dilakukan dengan izin, delik susila
yang bersifat privat (zina, kumpul kebo, persetubuhan antar-orang dewasa yang
tidak kawin) kemungkinan akan dirumuskan sebagai delik aduan apabila anggota
keluarga atau masyarakat sekitar ada yang berkeberatan, dan inses tetap
dilarang karena tabu dalam kehidupan beragama. Demikian juga mabuk di tempat
umum tetap merupakan tindak pidana.
LGBT dilarang apabila menyangkut
anak di bawah umur, dilakukan dengan paksaan atau kekerasan, dipublikasikan
atau dilakukan di muka umum. Rehabilitasi juga banyak diterapkan bagi
pengguna narkoba. Pornografi dipidana kecuali ada alasan penghapus pidana
berupa karya seni, budaya, olahraga, dan ilmu pengetahuan. Aborsi tetap
merupakan tindak pidana, kecuali dilakukan oleh dokter atas dasar tindakan
medis tertentu dalam keadaan darurat untuk menyelamatkan jiwa ibu dan/atau
janinnya. Bigami tetap dipidana. Pelacuran dengan berkeliaran di tempat umum
(loitering), juga dikriminalisasikan. Membantu bunuh diri (bukan euthanasia)
juga diancam pidana.
Indonesian Way tersebut
dirumuskan dengan selalu mempertimbangkan batas- batas pembenaran (margins of
appreciation) berupa Pancasila, hak-hak asasi manusia, dan asas-asas hukum
umum yang diakui bangsa-bangsa beradab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar