Selasa, 18 April 2017

Percepatan Dukungan SDM Industri

Percepatan Dukungan SDM Industri
Enny Sri Hartati  ;   Direktur Institute for Development of Economics and Finance
                                                        KOMPAS, 17 April 2017


                                                                                                                                                           

Potensi sumber daya alam yang melimpah lebih dari cukup menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan utama basis produksi bagi para investor. Dengan luas hutan yang mencapai lebih dari 130 juta hektar, semestinya Indonesia mampu menjadi jawara untuk industri kertas. Namun, ekspor barang cetakan (kertas) Indonesia baru mencapai 226 juta dollar AS. Sementara ekspor Singapura yang tidak memiliki hutan dan industri kertas mencapai 1,5 miliar dollar AS.

Demikian juga, sekalipun memiliki perkebunan karet yang luas, impor ban dan plastik masih tinggi. Akibatnya, industri karet dan plastik turun 8,34 persen pada 2016. Dengan predikat negara yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia, industri pengolahan ikan banyak yang gulung tikar. Bahkan, Indonesia masih termasuk negara yang mengimpor ikan cukup tinggi.

Industri makanan dan minuman sebenarnya masih tumbuh cukup tinggi, di atas 8 persen. Namun, Indonesia masih sangat bergantung pada bahan baku. Bahkan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, dan kulit dapat dikatakan tinggal menjadi industri jasa jahit (maklon). Di sisi lain, kelapa sawit yang bisa dikembangkan tidak hanya menjadi minyak goreng, masih diekspor dalam bentuk komoditas mentah atau setengah jadi.

Pengembangan industri tidak hanya dilakukan pada sumber daya yang berada di atas bumi, tetapi juga yang berada di perut bumi Indonesia. Pengembangan industri logam, baja, besi, dan aluminium akan menjadi fondasi percepatan industrialisasi. Artinya, terdapat anomali dalam kebijakan industrialisasi di Indonesia karena berbagai komoditas strategis yang dapat dikembangkan menjadi industri unggulan diekspor dalam bentuk mentah.

Kementerian Perindustrian menargetkan pertumbuhan industri mencapai 5,5 persen pada 2017. Untuk itu, harus ada strategi akselerasi dan efisiensi yang konkret. Akselerasi dapat dilakukan dengan pengoptimalan kapasitas terpasang dan percepatan realisasi investasi yang telah disetujui. Ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang memadai diperlukan untuk meningkatkan realisasi investasi. Ketersediaan SDM industri yang terampil dan berkualitas akan menjadi daya tarik investor karena akan meningkatkan produktivitas.

Kualitas SDM industri memang masih menjadi salah satu hambatan. Lembaga pendidikan belum mampu menghasilkan tenaga kerja yang siap pakai. Porsi tenaga kerja terampil level menengah baru mencapai 30 persen dari total pekerja industri. Porsi tenaga kerja industri bidang produksi cenderung stagnan, hanya berkisar 12-13 persen. Sering terjadi ketidakcocokan antara keahlian lulusan dan spesifikasi kebutuhan industri. Pendidikan vokasi, terutama sekolah menengah kejuruan (SMK), juga sering tidak cocok dengan kebutuhan industri. Padahal, terdapat 13.600 SMK dengan 142 jenis kompetensi. Sebanyak 36 jenis di antaranya berkaitan dengan kompetensi industri. Salah satu penyebabnya, di samping terbatasnya sarana dan prasarana, hanya 22 persen dari total 302.000 guru SMK yang merupakan guru produktif atau mampu mengajar praktik. Padahal, seharusnya proses pembelajaran di SMK adalah 60 persen praktik dan 40 persen teori.

Balai latihan kerja

Data Bank Dunia menunjukkan, hanya 7,7 persen perusahaan di Indonesia yang mampu memberikan pelatihan formal kepada tenaga kerja. Kesenjangan ketersediaan keahlian SDM industri tersebut yang menyebabkan realisasi industri padat karya terhambat. Untuk itu, program pelatihan melalui balai latihan kerja (BLK) harus ditingkatkan. Terdapat 301 BLK yang terdiri dari 17 BLK Kementerian Ketenagakerjaan dan 284 BLK milik pemerintah daerah. Dari total BLK daerah, 38 BLK tidak lagi beroperasi karena tidak memiliki instruktur dan peralatannya rusak. Sebanyak 246 BLK masih beroperasi, tetapi hanya 65 BLK yang memenuhi standar baik, sedangkan sisanya berstatus cukup atau buruk.

Mestinya, porsi anggaran pendidikan 20 persen lebih dari cukup untuk pemenuhan kebutuhan SDM industri. Melalui kolaborasi dengan asosiasi industri, frekuensi dan kualitas pelatihan dapat ditingkatkan. Pemerintah perlu memberikan insentif bagi industri yang memiliki program peningkatan kualitas SDM. Jika perlu, pemerintah mewajibkan penggunaan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) difokuskan untuk peningkatan keterampilan dan keahlian tenaga kerja yang belum memiliki keterampilan dan keahlian.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, baru sekitar 10 persen dari tenaga kerja yang memiliki sertifikat keterampilan atau keahlian kerja. Rendahnya tingkat sertifikasi dan akreditasi kompetensi ini diidentifikasi menyulitkan perusahaan atau investor baru mencari tenaga kerja profesional. Untuk itu, lembaga yang berperan melakukan sertifikasi dan akreditasi tenaga kerja semestinya berperan aktif dan memberikan berbagai kemudahan, tentu tanpa mengurangi ketentuan standardisasinya. Jika perlu, berkolaborasi dengan lembaga sertifikasi internasional agar memperoleh penguatan keabsahan dari sertifikasi yang dikeluarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar