Minggu, 31 Desember 2017

Putusan Final dan Mengikat MK

Putusan Final dan Mengikat MK
Despan Heryansyah ;  Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi; 
Mahasiswa Program Doktor FH-UII Yogyakarta
                                                    KOMPAS, 27 Desember 2017



                                                           
Harus diakui, memasuki usia yang ke-14 tahun Mahkamah Konstitusi, kita masih tetap dalam fase pencarian format ideal pelembagaan MK.

Sejak awal berdiri pada 2004, MK telah memberikan warna baru bagi perwujudan negara hukum di Indonesia. Tak berhenti sampai di situ, MK juga telah membuka ruang perdebatan baru yang dalam dan substantif di kalangan ahli hukum tata negara.

Bagaimana tidak, kewenangan membatalkan UU yang dibuat oleh presiden dan DPR (lembaga negara konstitusional yang mendapat mandat langsung dari rakyat) adalah konstruksi baru yang sebelumnya tak dikenal dan bahkan cenderung diharamkan dalam masa Trias Politika. Rumus dasarnya bahwa tiap-tiap kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) itu terpisah dan tidak boleh saling mencampuri.

Harus pula diakui, MK adalah produk terbaik reformasi yang masih bertahan sampai hari ini. Bertahan dalam makna terus menjaga komitmen terhadap idealisme negara dan tentu masih tetap dapat kepercayaan rakyat. Memang tak semua putusan MK bersifat populis. Namun, kepercayaan atas integritas ”sebagian” hakim MK masih terus hidup sehingga dukungan masyarakat masih tetap mengalir.

Keberadaan MK sebagai pengawal demokrasi, pelindung konstitusi, dan penjaga HAM adalah gerbang terakhir bagi masyarakat Indonesia untuk memperjuangkan keadilan. Dengan ekspektasi yang begitu besar, selain dituntut memiliki kemampuan dalam ilmu hukum dan integritas dalam menegakkannya, seorang hakim MK juga diharuskan menjadi seorang negarawan, yaitu orang yang mengelola negara dengan kewibawaan dan kebijaksanaan.

Problem putusan MK

Untuk menjalankan kewenangan yang begitu besar, pada putusan MK dilekatkan satu sifat yang tak dimiliki pengadilan lain di Indonesia, yaitu sifat final and binding. Sifat ini bermakna putusan MK adalah putusan pertama dan terakhir yang tak ada ruang hukum untuk mengujinya lagi. Sifat ini belakangan dapat banyak kritik dari sebagian ahli hukum tata negara.

Bagaimana jika suatu ketika ada putusan MK yang nyata merugikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan, atau bertentangan dengan ideologi negara Pancasila? Padahal, putusan MK adalah final and binding. Dalam kondisi ini, hukum kita tidak menyediakan jalan keluar, padahal potensinya seberapa pun kecilnya masih tetap mungkin akan terjadi. Harus dipahami bahwa sejak awal kita meletakkan kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, bukan di tangan hukum, karena hukum adalah representasi dari negara yang cenderung akan menindas rakyat.

Konsekuensinya, apabila suatu ketika terjadi persinggungan antara kehendak rakyat dan hukum, hukumlah yang harus dimenangkan. Rakyat  tidak boleh dikorbankan atas nama hukum, bahkan hukum konstitusi sekalipun. Namun, sifat putusan MK ini menutup itu semua.

Di sisi lain, hakim MK sendiri bukan tanpa cacat sama sekali. Setidaknya dua hakim MK yang saat ini dikenai status terpidana memberikan pelajaran bahwa tidak semua hakim MK bersih dan negarawan. Potensi korupsi dan penyalahgunaan wewenang masih terbuka. Karena itu, sifat putusan MK yang final and binding harus dipertimbangkan dan dicarikan solusinya. Namun, jangan sampai solusi yang ditawarkan justru akan membelenggu hakim MK dan membuat putusan menjadi tidak bermutu.

Marwah MK dalam mengawal demokrasi, melindungi konstitusi, dan menegakkan hak HAM harus tetap terjaga. Namun, jangan sampai kita mendirikan negara hukum yang melukai hati rakyat, si pemilik kedaulatan. Sebagus dan seideal apa pun UU, jika rakyat tak menghendaki, tak selayaknya dapat tempat di rumah negara hukum Indonesia.

Dalam konteks ini, penulis menawarkan solusi atas sifat final and binding putusan MK agar masih ada celah untuk mengujinya jika suatu hari ditemukan ada kesalahan fatal. Model di pengadilan internasional barangkali layak dijadikan contoh.

Putusan pengadilan internasional masih dapat diujikan oleh pengadilan internasional itu sendiri, tetapi diuji dengan jumlah hakim yang berbeda dari putusan pertama. Dengan demikian, di MK, misalnya, dapat saja dalam semua persidangan hanya diadili oleh maksimal tujuh hakim MK. Namun, apabila ada pihak yang merasa dirugikan oleh putusan MK tersebut, dalam jangka waktu tertentu MK dapat menguji putusan MK sendiri dengan diadili oleh semua hakim MK.

Putusan semua hakim MK inilah yang pada akhirnya memiliki sifat final and binding. Dengan model ini, diharapkan kekhawatiran atas putusan MK dapat mencederai Pancasila dan kedaulatan rakyat dapat diatasi. ●

1 komentar:

  1. ||Satu Akun semua jenis Game ||

    Game Populer:
    =>>Sabung Ayam S1288, SV388
    =>>Sportsbook,
    =>>Casino Online,
    =>>Togel Online,
    =>>Bola Tangkas
    =>>Slots Games, Tembak Ikan, Casino
    Permainan Judi online yang menggunakan uang asli dan mendapatkan uang Tunai
    || Online Membantu 24 Jam
    || 100% Bebas dari BOT
    || Kemudahan Melakukan Transaksi di Bank Besar Suluruh INDONESIA

    Pakai Pulsa Tanpa Potongan
    Juga Pakai(OVO, Dana, LinkAja, GoPay)
    Support Semua Bank Lokal & Daerah Indonesia

    WhastApp : 0852-2255-5128

    BalasHapus