Menenun
Semangat Kebangsaan
Fathorrahman Ghufron; Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan
Kalijaga;
Wakil Katib Syuriyah PWNU
Yogyakarta
|
KOMPAS, 30 Januari 2017
Ada sebuah kegelisahan yang selalu menggeliat
dalam benak kita manakala mencermati fenomena radikalisme yang terjadi di
berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Mengapa radikalisme kerap kali
berujung kekerasan? Apakah kekerasan sudah menjadi sebuah habitus utama yang
memang ditakdirkan oleh pelaku radikalisme untuk mengekspresikan segala macam
pikiran dan perilakunya? Dan, ketika pelaku radikalisme banyak didominasi
oleh kelompok keagamaan tertentu, apakah naluri keberagamaan mereka memang
dibaluti oleh ajaran kekerasan yang diyakini sebagai khitahnya?
Beberapa pertanyaan di atas merupakan cermin
analitik yang banyak dikupas oleh berbagai kalangan yang secara khusus
mengkaji dan meneliti fenomena radikalisme yang banyak disertai kekerasan.
Tulisan Mark Juergensmeyer, ”Teror Atas Nama Tuhan: Kebangkitan Global
Kekerasan Agama” jadi salah satu kajian empiris perihal radikalisme yang
begitu masif dimanfaatkan sekelompok orang sebagai ekspresi tindak kekerasan.
Apalagi ketika naluri keberagamaan yang
radikalistik beririsan dengan semangat fundamentalisme untuk menegakkan paham
keagamaan secara subyektif yang didominasi oleh ciri berpikir yang absolut,
non-dialogis, apologetik-defensif, dan pengklaim kebenaran. Maka, yang
bermunculan adalah sikap kefanatikan yang mewujud dalam bentuk perasaan
sentimen dan penyesatan terhadap serangkaian perbedaan yang ada.
Atas dasar potret radikalisme yang begitu
durjana, kita pun bertanya-tanya, bagaimana cara efektif untuk menangkal dan
mengatasi radikalisme tersebut? Apalagi, berdasarkan hasil survei INFID dan
jaringan Gusdurian di sejumlah kota di Indonesia, 88,2 persen penduduk
Indonesia menolak tindakan radikalisme yang berbasis agama. Lalu, adakah
jalan lain yang bisa dijadikan panduan etis dan landasan etos untuk
menciptakan kedamaian dalam kehidupan kita, yang dalam bahasa agama dikenal
dengan istilah rahmatan lil alamin?
Meneguhkan Pancasila
Tulisan Donny Gahral Adian berjudul
”Radikalisme dan Pancasila” (Kompas, 14/1) menjadi catatan menarik
untuk direfleksikan bersama: bahwa untuk menangkal radikalisme bisa melalui
Pancasila yang didasari oleh semangat kolektivitas, yaitu lima sila yang
terkandung dalam Pancasila sejatinya mencerminkan ide-ide kolektivitas.
Ketika kita berketuhanan, maka kita harus memelihara solidaritas antarmanusia
pula.
Pandangan Donny Gahral Adian ini memberikan
wawasan lebih kepada kita bahwa dalam meneguhkan Pancasila, Pancasila harus
diawali dengan cara kita membangun sebuah pola pikir yang menyeluruh terhadap
lima sila yang termuat di dalamnya.
Semisal, ketika kita memahami dan menghayati
sila pertama, kita tidak bisa menafikan dan menegasi keberadaan manusia
lainnya—yang basis ontologisnya termaktub dalam sila kedua— yang memiliki
sistem kepercayaan yang berbeda. Sebab, jika itu yang dilakukan, sila ketiga
yang menyerukan spirit persatuan tidak akan bisa dilaksanakan dengan baik.
Demikian halnya sila keempat yang menyerukan
spirit kehikmatan melalui mekanisme permusyawaratan dan atau perwakilan,
tidak akan bisa berjalan dengan baik jika di antara kita masih memahami sila
pertama secara sektoral dan parsial. Apalagi ketika kita akan membincangkan
ihwal keadilan sosial, yang bisa meliputi semua rakyat Indonesia, maka sangat
mustahil untuk membangun iklim kesetaraannya.
Dengan demikian, semangat kolektivitas yang
menghubungkan antara satu sila dan sila yang lain di dalam meneguhkan
Pancasila menjadi modalitas keterjalinan antara satu sikap dan sikap yang
lain untuk mewujudkan pelibatan empatik dalam perilaku kita.
Kita tidak lagi mempersoalkan perbedaan
keyakinan, perbedaan ras, perbedaan ideologi dalam menenun semangat
kebangsaan, dan menyikapi persoalan keindonesiaan. Akan tetapi, yang patut
disadari, kita adalah sesama manusia yang senasib sepenanggungan, yang
lazimnya harus peduli bersama terhadap tegaknya kedamaian negara ini. Oleh
karena itu, dalam meneguhkan Pancasila, perlu memerhatikan ikatan bersama
dengan perasaan kolektif bahwa kehidupan yang damai akan tercipta jika antara
satu dan yang lain sama-sama berempati secara lintas batas.
Nilai-nilai ”rahmatan
lil alamin”
Dengan menempatkan ide-ide kolektivitas dalam
meneguhkan Pancasila dan disertai dengan sikap pelibatan secara empatik
antara satu dan yang lain, maka seiring dengan waktu Pancasila akan menjadi
pandangan hidup berbangsa dan bernegara yang dapat memberikan suatu pedoman
mengenai nilai kehidupan yang mengedepankan kedamaian bagi seluruh alam (rahmatan
lil alamin).
Secara sosiologis, konsep dasar rahmatan
lil alamin menegaskan berbagai nilai keluhuran perihal bagaimana
menyemaikan kesadaran etik yang mengedepankan prinsip-prinsip toleransi (tasamuh),
moderasi (tawasuth), keseimbangan (tawazun), dan keadilan (ta’adul)
dalam kehidupan. Dalam kaitan ini, beberapa prinsip ini menjadi modalitas
yang dapat mempertemukan semua elemen bangsa yang terdiri atas berbagai latar
belakang. Sebab, sejatinya, merujuk pada pemikiran Muhammad Fethullah Gulen
dalam buku ”Islam Rahmatan Lil ’Alamien: Menjawab Pertanyaan dan Kebutuhan
Manusia” bahwa kerahmatan adalah kebutuhan dasar yang dirindukan oleh setiap
orang.
Dengan kerahmatan, setiap orang bisa mengekspresikan
dirinya di berbagai arena tempat ia berada. Seorang pelaku usaha merasa
nyaman menjalin perdagangannya, seorang pejabat merasa tenteram menjalankan
tugas kekuasaannya, seorang pendidik merasa bebas mentransformasikan
pengetahuannya, dan siapa pun yang memiliki profesi yang berbeda-beda akan
merasakan keteduhan dalam menjalankan tugasnya.
Dalam kaitan ini, Pancasila sebagai dasar
negara Indonesia yang diyakini sebagai ideologi bangsa, baik dalam lingkup
pengetahuan (kognitif) maupun ajaran nilai (afektif dan psiko- motorik),
dapat dijadikan sebagai ruang alternatif untuk menyemaikan nilai-nilai rahmatan
lil alamin.Di saat wajah agama diekspresikan secara radikalistik oleh
sekelompok orang, dan yang terjadi setiap pemeluk agama sibuk mempertarungkan
”atas nama Tuhan” untuk menebar pengaruh sosialnya, maka Pancasila perlu
dihadirkan sebagai jalan kerahmatan yang dapat mengarahkan semua elemen
masyarakat kepada sikap saling mengasihi dan menghargai.
Melalui landasan prinsipil, seperti toleransi,
moderasi, keseimbangan, dan keadilan, nilai-nilai kerahmatan bisa dijadikan
landasan filosofi Pancasila dalam membangun negara yang damai, aman, dan
sentosa. Dan, ketika situasi kehidupan sejuk ini yang ditonjolkan, maka
Indonesia bersama Pancasila-nya akan menjadi kiblat perdamaian yang akan
dirujuk oleh dunia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar