Mengembalikan
Politik Keadaban
Benny Susetyo ; Penasihat UK Pancasila
|
MEDIA
INDONESIA, 13 Januari 2018
WAKAPOLRI Komjen
Syafruddin mengatakan, Polri menaruh perhatian khusus terhadap ancaman kabar
bohong atau hoaks yang beredar di pilkada serentak 2018. Isu hoaks bisa
terjadi. Oleh karena itu, Polri bukan hanya menyiapkan pengamanan fisik,
melainkan juga cyber patrol kita juga sudah siapkan dan sudah
operasionalkan," kata Syafruddin di kantor Wakil Presiden RI, Jakarta,
Senin (8/1).
Menurut Syafruddin,
potensi hoaks di pilkada bisa sangat mungkin dimunculkan demi menjatuhkan
lawan atau kampanye hitam. Maraknya kampanye hitam tidak lepas dari maraknya
politik kebencian yang di bungkus dalam baju SARA. Isu sengaja dimainkan
karena biaya politik sangat murah. Calon pemimpin tidak perlu kerja keras,
tanpa perlu merumuskan agenda yang jelas untuk menuju perubahan yang lebih
baik tetapi menggunakan proganda membunuh lawan politik dengan cara
sistematis meraih simpatik publik. Proganda tujuan untuk membohongi publik
dengan menggunakan fakta dan data penuh kamuflase. Targetnya publik tertipu
agenda tersembunyi.
Sentimen SARA yang merusak
persatuan bangsa dan menyebabkan potensi bangsa ini kehilangan masa depan
karena memilih pemimpin yang tidak memiliki keutamaan publik untuk melayani
rakyatnya. Penggunaan isu SARA, seperti membuat agitasi yang menyulut sentimen
dan sisi emosional sebagian masyarakat. Akibatnya, hasutan dan ujaran
kebencian akhirnya membuat pemilih menjadi irasional. Kampanye hitam pada
dunia politik sebuah upaya terorganisasi untuk memengaruhi proses pengambilan
keputusan pemilih.
Kampanye hitam dapat
dilakukan melalui berbagai media elektronik, cetak, maupun internet. Ini juga
termasuk situs-situs berita yang mendadak bermunculan dengan nama domain yang
provokatif, tapi umumnya tidak kredibel. Ada agenda tertentu di balik
meluasnya keresahan karena sentimen dan hasutan. Harapannya, kelompok
tertentu akan memetik keuntungan politik.
Meski begitu, sebenarnya
tidak mudah mengapitalisasi sentimen keagamaan dan etnisitas yang
dipolitisasi demi keuntungan elektoral belaka. Argumentasi logisnya, karena
masyarakat sebenarnya sudah sangat rasional dan cukup dewasa menyikapi
hembusan SARA demi tujuan politik.
Isu SARA kembali mencuat
dan menjadi instrumen partai, untuk merebut simpati masyarakat di tengah
situasi karut-marut politik, ekonomi, dan sosial. Ini secara tidak langsung
mengafirmasi kegagalan partai melahirkan figur berkualitas. Mereka kekurangan
visi dan ideologi. Defisit inilah yang membuat ruang publik menjadi korban.
Dimanfaatkan untuk memfasilitasi ajang kampanye hitam, dengan mengakumulasi bahasan-bahasan
provokatif, tendensius, saling serang, termasuk menggunakan isu SARA.
Padahal, masyarakat sudah jengah.
Berpihak
kepada masyarakat
Mari sedikit menengok
Pemilu 1955, yakni partai-partai bisa dikatakan cukup punya ideologi dan
berpihak pada masyarakat. Ada yang memperjuangkan nasib petani, buruh,
sosialis, dan orang kecil. Partai waktu itu dalam konteks untuk merebut hati
rakyat, dengan memperjuangkan ideologi rakyatnya.
Menurut Goode (2005),
memang semestinya ruang publik linier dengan norma, ekspektasi, serta tujuan
demokrasi masyarakat. Demokrasi diisi dengan keadaban dan ruang publik
dipergunakan sebagai sarana membangun panggung diskursus konstruktif partai
dan rakyat, tentang berpolitik serta bernegara. Ini dilakukan tanpa harus menyentuh
dan menyalahgunakan isu SARA.
Pada situasi pemilu
pertama 1955, tidak ada isu SARA untuk menyerang lawan. Partai bicara tentang
program kerja. Politik masih beradab dan beretika. Malahan ketika itu partai
agama pun tidak berbicara agama. Partai Katolik, Partai Masyumi, semua
berbicara tentang program. Pemilu 1955 dinilai paling demokratis karena dalam
berdebat, adu program, dan perencanaan tetap menggunakan etika berpolitik.
Meskipun mereka menggunakan partai agama, tetap mengedepankan politik akal sehat.
Isu SARA yang kembali
muncul jelang Pilkada 2017, lebih karena tidak adanya visi misi yang jelas
peserta. Penyebab lain, tidak adanya kepercayaan diri untuk bersaing secara
sehat karena mereka tidak punya solusi untuk membawa keluar dari kumparan berbagai
masalah. Akhirnya, isu SARA hanya untuk membakar emosional yang potensial
melahirkan konflik. Jika peserta pilkada percaya diri dan mempunyai program
yang baik untuk menyejahterakan masyarakat, tidak perlu menggunakan isu agama
dan etnik. Penggunaan isu SARA sudah tidak mempan. Masyarakat tidak mudah
lagi terprovokasi untuk ikut-ikutan merespons lemparan isu agama dan etnis.
Maka dari itu, masyarakat harus pandai-pandai menilai dan mengukur
kapabilitas kandidat dari agenda perubahan yang ditawarkan, serta solusi
berbagai persoalan.
Hindari kompetisi politik
hasut-menghasut dan menyakiti. Akhirnya bangsa ini kehilangan harapan
mewujudkan keadaban politik. Kita berharap, pilkada serentak mengutamakan
nilai–nilai Pancasila dengan menjaga persatuan serta mengedepan kepentingan
bangsa, bukan kepentingan kekuasan.
Partai politik punya
tanggung jawab moral untuk menjaga persatuan bangsa dengan mengedepankan
agenda serta program, bukan politik SARA menguasai ruang publik. Bangsa
membutuhkan politik akal sehat yang menjadi pemandu kehidupan publik bukan
lagi politik kebencian karena keadabaan politik di bangun politik gagasan
seperti apa yang diperjuangkan generasi 28 dan dilanjutkan pikiran cemerlang
Soekarno dan Hatta.
Harus
jadi agenda
Keadaban politik harusnya
dijadikan agenda dalam menyakinkan pemilih dengan perubahan yang jelas dan
terukur. Bukan lagi politik identitas yang hanya mengaduk emosi publik. Visi
pemimpin harus jelas melayani daulat rrakyat bukan daulat uang . Kedaulatan
rakyat seharusnya menjadi prioritas utama dalam kebijakan dan visi mereka ke
depan. Jika dilihat dari apa yang terjadi selama ini, kita belum menemukan
calon pemimpin yang serius memperhatikan kedaulatan rakyat itu.
Calon pemimpin bangsa
hanya memandang dari cakrawala sempit yang hanya mementingkan golongan dan
partainya sendiri. Perlu cara pandang baru bagi calon pemimpin bangsa bahwa
dengan kekuatan atau figur semata, krisis bangsa ini tidak terselesaikan.
Bahwa hanya dengan mengandalkan kekuatan sendiri dan menegasikan kekuatan
lainnya, bangsa ini akan semakin terjerumus ke jurang yang terdalam.
Bangsa ini tidak
membutuhkan sosok pemimpin yang kuat, tetapi pemimpin yang memiliki orientasi
yang jelas, berpihak kepada rakyat dan bukan kepada pemilik modal.
Pertumbuhan ekonomi bukan satu-satunya ukuran sukses pemerintahan. Ukuran
utamanya ialah berkurangnya jumlah orang miskin, pengangguran, kebodohan, dan
kerusakan lingkungan hidup, berkurangnya korupsi, pelanggaran HAM, serta
kekerasan dalam jumlah yang signifikan.
Itu merupakan syarat
kontrak moral terhadap siapa pun yang berani mencalonkan dirinya sebagai
pemimpin bangsa. Siapa pun sosoknya tidak begitu penting. Yang dipentingkan
ialah apakah mereka benar-benar memiliki keutamaan itu. Keutamaan pemimpin
dinilai dari catatan moral dan pengabdian kepada bangsa yang pernah
dibuatnya.
Sangat penting melihat
kesungguhan orang yang akan menjalankan sebuah roda pemerintahan. Keutamaan
pemimpin dinilai dari catatan moral dan pengabdian kepada bangsa yang pernah
dibuatnya. Amat penting melihat kesungguhan orang yang akan menjalankan
sebuah roda pemerintahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar