Jumat, 05 Januari 2018

Sumber Energi Peredaran Gelap Narkotika di Indonesia

Sumber Energi
Peredaran Gelap Narkotika di Indonesia
Anang Iskandar ;  Dosen Universitas Trisakti;
Ka BNN 2012-2015; Kabareskrim 2015-2016
                                          MEDIA INDONESIA, 28 Desember 2017



                                                           
DIAM-DIAM sebenarnya, setiap proses penegakan hukum dengan melakukan penahanan terhadap penyalah guna narkotika lalu berujung pada vonis penjeblosan dalam penjara justru menjadi sorotan masyarakat. Bukan itu saja, bahkan menjadi pertanyaan di akar rumput.Sebabnya ialah itu semua bertentangan dengan tujuan dari lahirnya Undang-Undang Narkotika. Bahkan ditengarai, itu justru bisa menjadi sumber energi dalam berkembangnya peredaran gelap narkotika di Indonesia. Lontaran pertanyaan dan pernyataan itu muncul karena adanya tarik-menarik antara upaya hukum dan upaya kesehatan, khususnya dalam penanganan penyalahguna narkotika. Terlebih lagi selalu saja berujung pada menangnya penegakan hukum dengan criminal justice system-nya sehingga bermuara dengan dijebloskannya penyalah guna ke penjara.

Fakta itu semua tentunya mengabaikan prinsip khusus penegakan hukum yang terintegrasi dengan upaya pemulihan kesehatan. Ini yang justru menjadi rohnya dari UU Narkotika kita, bahkan yang menjadi cita-cita bangsa Indonesia serta bangsa-bangsa di dunia.
Secara yuridis, sebenarnya Indonesia telah menganut sistem pemidanaan rehabilitasi terhadap penyalah guna. Yaitu sejak pemerintah menyetujui Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya menjadi UU No 8/1976 tentang Pengesahan Konvensi Tunggal tentang Narkotika 1961 beserta protokol yang mengubahnya.

UU No 8/1976 itu mengintegrasikan pendekatan penegakan hukum dan upaya kesehatan. Bentuknya dengan sistem pemidanaan rehabilitasi dalam menangani penyalah guna narkotika. Selanjutnya Undang-Undang No 8/1976 ini menjadi sejenis ‘UUD’ kita dalam penanganan masalah narkotika di Indonesia di kemudian harinya. Berdasarkan UU tersebut juga, akhirnya dibuatlah UU Narkotika Indonesia. Mulai UU Narkotika Tahun 1976, kemudian diubah dengan UU Narkotika Tahun 1997, dan terakhir menjadi UU No 35/2009 tentang Narkotika.

Perspektif dari ketiga UU narkotika tersebut sebenarnya sama persis dengan induknya, khususnya dalam menangani penyalah guna narkotika, yaitu mengintegrasikan pendekatan penegakan hukum dan upaya kesehatan. Perspektif UU No 35/2009 tentang Narkotika yang berlaku sekarang ini juga mengintegrasikan pendekatan penegakan hukum dengan upaya pemulihan. Atau dengan kata lain, menggunakan double track system pemidanaan, yaitu khusus terhadap pengedar dan kelompoknya, menggunakan criminal justice system (CJS) dan bermuara pada pidana penjara. Terhadap penyalah guna dan kelompoknya, menggunakan rehabilitation justice system (RJS), yaitu proses pertanggungjawaban secara kriminal, penghukumannya keluar dari penghukuman kriminal menjadi penghukuman nonkriminal.

Politik hukum penanganan

Secara khusus, politik hukum dalam menangani penyalah guna narkotika ialah, pertama, melindungi dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan narkotika. Kedua, menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu. Itu semua tertuang dalam pasal tujuan dibentuknya UU narkotika. Oleh karena itu, penyalah guna narkotika, bila bermasalah dengan hukum, ditangkap dan diproses secara kriminal. Namun, upaya paksa yang dilakukan penegak hukum tidak boleh ‘menahan’ maupun ‘memvonis penjara’, tetapi diberi alternatif upaya paksa berupa penempatan di lembaga rehabilitasi. Demikian juga penjatuhan hukumannya, keluar dari penghukuman pidana, menjadi nonpidana yaitu berupa hukuman rehabilitasi.

Selaras dengan politik hukum dalam menangani penyalah guna narkotika itu, UU No 35/2009 menyatakan bahwa ‘narkotika itu obat tapi dapat menimbulkan penyakit ketergantungan jika dikonsumsi tanpa resep dokter’. Di titik itu, orang yang sakit ketergantungan karena menyalahgunakan, mengonsumsi narkotika ini, diancam dengan pidana penjara maksimal 4 tahun. Sementara itu, berdasarkan hukum acara pidana (Pasal 21 KUHAP), tersangka yang diancam dengan hukuman di bawah 5 tahun, sepanjang proses pertanggungjawaban pidananya sampai di pengadilan, tidak memenuhi syarat untuk dilakukan upaya paksa berupa penahanan.

Lalu berdasarkan PP No 25/2011 sebagai turunan UU Narkotika Indonesia, yang bertujuan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu, untuk mewujudkan tujuan UU tersebut, penyidik, penuntut umum, dan hakim diberi kewenangan menempatkan penyalah guna ke lembaga rehabilitasi pada semua tingkat pemeriksaan baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun pemeriksaan pengadilan. Kewenangan ini merupakan konstruksi dari UU narkotika dengan RJS-nya. Tujuannya tentu saja berguna untuk menghindarkan tersangka penyalah guna ditahan maupun tidak ditahan, tapi direhabilitasi. Itu sekaligus sebagai bentuk jaminan dari UU bahwa penegak hukum hanya boleh menggunakan upaya paksa berupa rehabilitasi. Atau dengan kata lainnya, penegak hukum hanya boleh melakukan tindakan dan penghukuman berupa rehabilitasi.

Konstruksi RJS dalam UU narkotika Indonesia lainnya ialah kepada para hakim di pengadilan. Para hakim itu khusus diberi kewenangan yang sifatnya wajib terhadap perkara-perkara penyalah guna dan dalam keadaan ketergantungan. Atau yang disebut juga sebagai perkara pecandu, untuk menghukum rehabilitasi baik terbukti bersalah maupun tidak terbukti bersalah dalam sidang pengadilan. Bobot hukuman rehabilitasi itu sendiri sebenarnya sama dengan hukuman penjara. Ini adalah proses RJS. Di titik ini, kerap kali terlihat dan ada kesan bahwa penegak hukum merasa UU-nya ambigu sehingga mereka kurang sreg. Praktiknya? Apa lagi. Tambah jauh panggang dari api. Penyalah guna yang ditangkap penegak hukum ‘ditahan’ pada seluruh tingkat pemeriksaan.

Untuk dapat ditahan di-‘juncto’-kan dengan pasal pengedar. Padahal, tujuan UU ialah untuk melindungi, menyelamatkan, serta menjamin rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Pada poin ini perlu dicermati agar penegakan hukum justru seharusnya berada di jalur yang sesuai dengan undang-undang yang sudah berlaku. Bukan itu saja, ketika sampai meja hijau, hakim juga menambahkan bebannya dengan cara memberikan vonis hukuman penjara. Ini berlanjut terus hingga masa kini. Meski tidak dimungkiri juga, ada beberapa nama beken yang sudah mendapatkan hukuman rehabilitasi. Sebut saja Ridho Rhoma, Ello, dan Restu Sinaga oleh beberapa pengadilan negeri di Jakarta. Akan tetapi, bagaimana dengan nama yang tidak beken alias masyarakat umum, yang terjerat sebagai penyalah guna narkotika? Lalu mereka hingga saat ini justru masih dijebloskan dalam penjara?

Indikator penyalah guna

Padahal, indikator penyalah guna itu kasatmata. Sederhana saja, yaitu mereka yang kedapatan memiliki narkotika dalam jumlah tertentu (jumlahnya sedikit) untuk keperluan sehari-hari dan mereka membelinya untuk dikonsumsi. Jadi bukan untuk dijual. Tujuan mereka tidak mencari keuntungan.

Maka dalam kacamata victimologi, mereka sebenarnya merupakan korban dari kejahatan narkotika. Pemahaman ini yang seharusnya terus terlontar dan dikampanyekan sehingga awam mudah membedakan, mana pengedar dan mana penyalah guna. Hingga menjadi jelas dan tegas, mana yang harus dihukum berat dan mana yang dihukum rehabilitasi.

Lagi pula, itu semua sudah terpaparkan dengan jelas dan tegas, pasal demi pasal dari UU narkotika yang sudah berlaku. Menjadi pertanyaan jika kemudian paparan itu sulit terpahami.

Pemicu

Permasalahan lain yang timbul akibat penahanan karena mendapat vonis pemenjaraan terhadap penyalah guna ialah menjadi pemicu ‘kriwikan dadi grojokan’ atau hal kecil yang bisa jadi masalah besar. Konkretnya hal itu justru dapat menjadi energi yang tak kunjung padam bagi suburnya peredaran gelap narkotika di Indonesia. Sebab, pertama, penyalah guna tidak sembuh. Mereka bakal tetap menjadi demand peredaran gelap narkotika. Apalagi demand-nya justru berkumpul di LP sehingga LP menjadi sasaran bagi lokasi bisnis narkotika yang menggiurkan. Pada kondisi inilah, LP justru menjadi tak berdaya menghadapi para penyuplai kebutuhan penyalah guna yang dipenjara itu.

Kedua, jumlah penyalah guna meningkat dari waktu ke waktu. Semua karena penyalah guna lama justru tidak direhabilitasi. Dengan itu malah menimbulkan penyalah guna baru sehingga kebutuhan akan narkotika semakin besar. Di titik ini, pemain narkotika semakin banyak untuk kemudian menjadi penyuplainya. Titik ini juga mengakibatkan bisnis narkotika justru bertambah besar. Ketiga, mematikan upaya penyembuhan atau rehabilitasi secara mandiri yang menjadi tanggung jawab dari keluarga, serta program wajib lapor ke institusi penerima wajib lapor (IPWL) yang dilakukan Kemenkes, Kemensos, dan BNN untuk mendapatkan kesembuhan.

Pada poin ini, meskipun diiming-imingi bahwa telah dibiayai pemerintah dan diberi bonus tidak dituntut pidana oleh UU, masyarakat justru tetap takut. Sebabnya ialah pengalaman komunal dari masyarakat selama ini, yaitu ‘jika berhubungan dengan hukum, yaitu mengikuti jalur criminal justice system, malahan diperlakukan seperti kriminal’. Keempat, instansi pemerintah yang menyelenggarakan fungsi rehabilitasi menjadi terkendala karena tidak adanya input baik input dari sumber rehabilitasi yang bersifat mandiri, wajib lapor, maupun dari keputusan hakim meskipun secara kuantitas dari tahun ke tahun bertambah banyak jumlahnya.

Penegakan hukum vs upaya kesehatan

Tarik-menarik praktik penegakan hukum yang bermuara ke penjara, dengan penegakan hukum bermuara di tempat rehabilitasi dalam penanganan narkotika, mulai terasa lebih keras awal abad ini. Praktik tarik-menarik penanganan penyalah guna yang mestinya bermuara di tempat rehabilitasi ternyata lebih kuat tarikannya dengan muaranya ke penjara. Hal ini sebenarnya justru berdampak signifikan pada upaya pemulihan kesehatan penyalah guna sehingga menjadi terkendala, baik secara mandiri maupun upaya pemulihan kesehatan melalui wajib lapor. Karena itu, upaya pemulihannya bagai ‘hidup segan mati tak mau’. Di sisi inilah, Indonesia justru malah menghasilkan generasi sakit tanpa penyembuhan.

Dampak lain ialah terjadinya berbagai masalah. Baik dalam pembangunan infrastruktur rehabilitasi maupun pengelolaan infrastruktur LP. Pembangunan infrastruktur LP seperti deret hitung, sedangkan pertambahan jumlah penyalah guna yang menghuni LP seperti deret ukur. Hasilnya justru menjadikan LP overload. Penghuninya sebagian besar orang sakit adiksi dengan gangguan kejiwaan bersifat stimulan, halusinogen, maupun depresan. Kondisi ini tentu saja membahayakan LP itu sendiri dan memperparah kondisi penghuninya, khususnya penyalah guna yang dijebloskan ke penjara.

Dampak lain ialah pudarnya ‘semangat’ dari aparat pengemban fungsi rehabilitasi, yaitu Kemenkes, Kemensos, dan BNN dalam menangani rehabilitasi. Sebabnya ialah penyalah guna mandiri menjadi takut tertangkap penegak hukum ketika berobat sehingga rehabilitasi mandiri tidak laku. Demikian juga rehabilitasi dari sumber wajib lapor untuk sembuh juga dihantui rasa takut tertangkap penegak hukum. Sebabnya juga secara empiris, diproses secara kriminal murni dan vonisnya dipenjara sehingga fungsi rehabilitasi menjadi tidak berkembang. Dampak akhirnya tentu saja sudah bisa terbayangkan sekarang ini. Konkretnya, Indonesia berpenduduk besar dengan jumlah penyalah guna sekitar 5,8 juta, tapi hanya memiliki satu rumah sakit yang benar-benar mengurusi ketergantungan obat (RS KO) di bawah Kemenkes serta hanya memiliki tujuh lokasi rehabilitasi narkotika di bawah BNN, yang daya tampungnya sendiri kini sudah tidak memadai. Terlebih lagi jika dibandingkan dengan jumlah prevalensi penyalah guna.

Untung rugi

Pada akhirnya, dengan data dan fakta di atas, Indonesia sendiri yang merugi. Khususnya jika praktik penegakan hukum atas penyalah guna dengan menggunakan CJS serta diganjar hukuman penjara. Bahkan, meskipun penyalah guna telah menjalani hukuman dijebloskan dalam penjara itu, mereka justru tidak sembuh dari penyakit adiksi atau ketergantungan obat. Mengingat di penjara itu justru mereka tidak direhabilitasi bahkan malah disatukan dengan tahanan serupa atau berbeda lainnya sehingga selama dan setelah dipenjara, mereka masih berstatus pecandu atau penyalah guna dalam keadaan ketergantungan serta berakibat masih menjadi demand-nya peredaran gelap narkotika.

Di lain pihak, negara justru telah mengeluarkan biaya yang sangat besar, mulai prosesi penegakan hukum pada setiap tingkat pemeriksaan, baik dalam proses penyidikan, penuntutan, maupun proses peradilan, hingga biaya menghukum penjara sesuai dengan lamanya putusan hakim. Lalu sebenarnya apa manfaat dari menghukum penjara penyalah guna yang notabene pecandu? Alih-alih memberantas narkotika, dengan menghukum penjara justru malah menambah energi untuk berkembangnya bisnis narkotika di Indonesia. Maka pertanyaannya, kenapa kita harus menguras tenaga dan membuang biaya besar jika hanya malah menghasilkan generasi tidak sehat selama dan setelah keluar dari penjara? Bukankah itu namanya keliru? Itu nama ‘keliru’. ●


Tidak ada komentar:

Posting Komentar