Wiji
Thukul dan Janji Presiden Kita
Okky Madasari ;
Novelis;
Produser Eksekutif film tentang
Wiji Thukul, Istirahatlah Kata-Kata
|
JAWA
POS, 25
Januari 2017
”Jika Wiji Thukul masih
ada, apa sikapnya terhadap penggusuran, terhadap ketidakadilan yang marak
sekarang ini?”
Pertanyaan
itu beberapa kali mengemuka di dinding-dinding Twitter dan Facebook, dalam
lontaran kalimat maupun tulisan panjang lengkap dengan argumen-argumennya.
Ada yang benar-benar ingin tahu; ada yang ingin menghangatkan suasana; ada
juga yang menggunakannya sebagai sindiran di tengah-tengah antusiasme publik
terhadap film tentang Wiji Thukul, Istirahatlah Kata-Kata, yang saat ini
diputar di bioskop.
Wiji
Thukul, penyair yang keberadaannya hingga kini belum diketahui, telah
menyiapkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan macam itu dalam puisi-puisinya.
Soal
penggusuran, dia tegas berkata, ”Ayo gabung ke kami, biar jadi mimpi buruk
presiden!” Soal polemik tentang warga legal dan tak legal yang mendiami
kampung, dia berkata, ”Kampung orang-orang kecil yang dibikin bingung oleh
surat-surat izin dan kebijaksanaan.” Soal hoax dan kebohongan yang sekarang
diributkan di mana-mana, Wiji pun jauh-jauh hari sudah menyadarinya: ”Di
radio aku mendengar berita-berita, tapi aku jadi muak karena isinya
kebohongan yang tak mengatakan kenyataan.”
Masih
banyak lagi persoalan hari ini yang seolah sudah diramalkan jauh-jauh hari
oleh Wiji dalam sajak-sajaknya. Entah karena memang Wiji adalah seorang
penyair yang melampaui zamannya atau memang kita dan bangsa ini yang masih
berkubang dalam kebebalan dan kesialan yang sama, tanpa sedikit pun mau
belajar dari masa lalu.
Antusiasme
masyarakat, utamanya generasi muda, yang begitu besar dalam menyambut film
Wiji Thukul adalah sebuah kabar baik bagi kita semua. Sebuah pertanda
tumbuhnya kesadaran bangsa ini untuk mencari tahu kebenaran, untuk turut
menjaga ingatan bahwa ada seorang penyair yang sengaja dihilangkan penguasa
karena sajak-sajak kritisnya.
Tapi,
di sisi lain, antrean anak-anak muda yang ingin menonton film ini, tanpa
diragukan lagi, adalah sebuah kabar buruk untuk penguasa. Kehadiran film
tentang Wiji Thukul yang mendapat perhatian besar itu seharusnya juga menjadi
tamparan dan mengusik rasa malu siapa pun yang sekarang sedang berkuasa.
Kita
semua tak akan lupa, salah satu janji kampanye Presiden Joko Widodo (Jokowi)
pada 2014 adalah menyelesaikan kasus hilangnya para aktivis, termasuk Wiji
Thukul. Bahkan, Jokowi dengan tegas berkata, ”Wiji Thukul harus ditemukan,
hidup atau meninggal.”
Tapi,
apa yang terjadi setelah dia terpilih? Jokowi seolah lupa pernah membuat
janji tersebut. Bahkan lebih dari itu, Jokowi –yang terpilih sebagai presiden
karena (salah satunya) menjadi tumpuan harapan atas penegakan hak asasi
manusia (HAM) di negeri ini– kini kerap menjalankan pemerintahan dengan
mengabaikan prinsip-prinsip HAM.
Tanpa
perlu berpikir panjang, kita tahu apa yang akan dikatakan Wiji atas
pembungkaman kebebasan. Sederet peristiwa yang kita bayangkan tak akan
terjadi di bawah pemerintahan Jokowi justru marak terjadi di rezim ini. Mulai
pelarangan dan pembubaran berbagai kegiatan yang diadakan masyarakat,
penangkapan penulis buku hanya karena bukunya dianggap menghina Jokowi,
hingga tendensi menguatnya intoleransi.
Isu-isu
kebebasan, HAM, dan penegakan demokrasi bukan hal yang terlalu penting bagi
Jokowi yang sedang memprioritaskan pembangunan bendungan dan jembatan.
Padahal, pembangunan infrastruktur pun sudah sejak mula disinggung Wiji dalam
sajak-sajaknya. Jalan raya yang dibangun menggusur kampung, kota-kota yang
gemerlap, gedung-gedung tinggi yang menggantikan pohon, serta orang-orang
yang hanya diam dan tak bisa bersuara hingga akhirnya hanya menjadi korban
keputusan-keputusan yang dibuat penguasa.
Istirahatlah Kata-Kata
Film
tentang Wiji Thukul, Istirahatlah Kata-Kata, bukanlah sebuah film yang hadir
untuk berteriak lantang menyuarakan ketidakadilan di sekitar kita. Bahkan, ia
juga tak berteriak-teriak meminta kasus hilangnya Wiji segera dituntaskan.
Film tersebut hanya ingin mengusik perlahan kesadaran dan ingatan bangsa ini
tentang ketidakadilan yang terjadi di masa lalu maupun yang terjadi hari ini,
di masa yang baru. Film itu juga barangkali tak akan dianggap penting oleh
presiden dibanding urusan lobi-lobi politik para politikus dan upaya untuk
mendapatkan dukungan dari mereka yang punya massa.
Wiji
Thukul, seorang penyair yang hanya punya kata-kata, selamanya tak akan punya
suara dalam dinamika perebutan kekuasaan. Penguasa di masa lalu memilih
melenyapkannya dan penguasa di masa kini memilih mengabaikannya.
Tapi
jangan lupa, kata-kata belum binasa. Kesadaran baru anak-anak muda bangsa ini
akan tumbuh menjadi mimpi buruk untuk penguasa. Seperti Wiji, kelak mereka
juga akan selalu ingat apa artinya diabaikan dan dianggap tak ada oleh
negara. Semangat dan gagasan Wiji akan selalu bersama mereka. Ada dan
berlipat ganda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar