Populisme
dan Krisis Demokrasi
Otto Gusti Madung ; Dosen Filsafat Politik dan HAM di STFK Ledalero, Flores,
NTT; Alumnus Doktor di Hochschule fuer
Philosphie, Muenchen, Jerman
|
MEDIA
INDONESIA, 08 Maret 2018
”EIN Gespenst geht um in der Welt
der Populismus (Seekor hantu sedang mengancam dunia populisme namanya)”
(Ernest Gellner, 1969). Apa yang menjadi kecemasan Gellner pada dekade
1960-an kini kembali menjadi ancaman bagi politik global di abad ke-21. Pada
tataran global sejumlah politikus populis siap dan telah merebut kekuasaan.
Sederetan nama seperti Viktor Orban, Jaroslaw Kaczynski, dan Robert Fico
adalah para pemimpin populis yang telah meraih puncak kekuasaan politik di
Eropa.
Kemenangan para politikus populis
mencapai puncaknya dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika
Serikat. Sejumlah kalangan bahkan berpandangan, sebutan populis untuk seorang
Donald Trump dipandang terlalu sopan. Lebih pantas ia mendapat julukan fasis
sebab dalam 20 tahun terakhir tak satu pun politikus Amerika Serikat selain
Donald Trump yang berani secara terbuka menghina kelompok minoritas dan
perempuan.
Untuk konteks Indonesia,
sekurang-kurangnya sejak Pemilihan Presiden 2014, isu populisme telah
memasuki arena pertarungan politik. Ketika itu kedua kandidat yang bertarung
mengusung dua model populisme nasionalis yang berbeda. Vedi R Hadiz dan
Richard Robinson dalam 'Competing populism in post-authoritarian Indonesia'
(2017) berpandangan, munculnya pemimpin populis di Indonesia merupakan bentuk
protes atas persoalan ketidakadilan sistematis yang tidak pernah disentuh
dalam dua dekade demokrasi desentralisasi.
Ketimpangan sosial sedang
berkembang menuju arah yang mencemaskan. Sekarang ini angka indeks Gini di
Indonesia berada pada posisi 0,393. Angka ini memang mengalami penurunan jika
dibandingkan dengan nilai indeks Gini pada Maret 2015, yakni 0,408. Akan
tetapi, masih lebih tinggi dari rasio Gini pada akhir masa Orba, yakni 0,35 (Bdk
Arif Budimanta, 2018).
Krisis
demokrasi
Populisme adalah kritikan atas
sistem demokrasi representatif yang gagal menciptakan keadilan sosial dan
menjadi penyambung lidah rakyat yang diwakilinya. Populisme selalu ditandai
dengan sikap anti elitisme dan anti-establishment. Populisme juga selalu
ditandai dengan sikap antipluralisme. Slogan seperti 'Kami dan hanya kami
merepresentasikan kehendak rakyat yang sesungguhnya' adalah ekspresi
antipluralisme yang populis.
Sikap antipluralisme terungkap
dalam keengganan untuk berdebat guna mencari solusi alternatif terhadap
persoalan politik. Gerakan populisme di Eropa misalnya disebabkan oleh
politisasi isu integrasi Eropa yang merupakan bagian esensial dari konflik
antara integrasi dan demarkasi. Hal ini berdampak fatal ketika sejumlah
politikus beranggapan bahwa tak ada solusi alternatif untuk mengatasi krisis
Uni Eropa.
Para pemikir politik bicara
tentang 'policy without politics' atau pengambilan kebijakan teknis tanpa
adanya perdebatan substansial yang melibatkan warga. Patologi ini menyuburkan
populisme ketika para populis menanggapinya dengan meniupkan politik
identitas tanpa konsep politik.
Kepada publik disuguhkan
pertentangan antara teknokrasi dan populisme. Para teknokrat beranggapan
bahwa hanya ada satu kebijakan teknis politik (policy) rasional sementara
seorang populis berkampanye bahwa pandangannya merupakan ungkapan kehendak
rakyat yang sesungguhnya (der wahre Wille des Volkes).
Baik populisme maupun teknokrasi
dituntun oleh logika internal monolog dan antipluralistis. Para politikus
populis dan teknokrat enggan berdiskusi untuk mencari solusi alternatif
karena memandang posisi masing-masing sebagai dogma yang berlaku absolut. Di
sini dua jenis fundamentalisme politik bertemu dalam satu sikap antipolitik.
Demokrasi
antagonistis
Ini bertentangan dengan logika
demokrasi yang senantiasa membuka ruang untuk berbuat salah, tetapi memiliki
kemampuan untuk memperbaiki kesalahan. Kemampuan untuk belajar dari kesalahan
merupakan kekuatan demokrasi jika dibandingkan dengan sistem otoritarian.
Demokrasi bukan dogma. Atau dalam
bahasa Claude Lefort (1988), legitimasi demokrasi berpijak pada diskursus
tentang apa yang legitim dan apa yang tidak legitim. Sebuah perdebatan yang
tidak dibangun di atas sebuah jaminan akan kata akhir yang dapat diprediksi.
Sikap antikritik dan enggan
mencari solusi alternatif merupakan model konsensus neoliberal yang telah
mendorong lahirnya populisme. Alih-alih mengakui demokrasi sebagai sebuah
diskursus tanpa kata akhir, kepada warga disuguhkan dogma bahwa hanya ada
satu policy rasional.
Menurut Chantal Mouffe (2015),
pembungkaman potensi konflik dalam demokrasi berhasil menjinakkan antagonisme
antara populisme kiri dan kanan. Situasi 'post-demokrasi' ini telah membidani
lahirnya populisme kanan, para penganutnya menentang para migran serta
mengonstruksikan konsep nasionalisme etnik yang rasial dan anti orang asing.
Tugas politik menurut Mouffe ialah
merancang populisme kiri yang mampu merumuskan tuntutan-tuntutan warga yang
tidak terakomodasi lewat politik teknokrasi status quo. Para populis kiri
harus menampilkan sebuah antagonisme fundamental secara jelas dalam
masyarakat. Antagonisme tersebut tidak dibangun antara masyarakat dan para
migran atau pendatang, tapi antara warga masyarakat dan kekuatan-kekuatan
politik serta ekonomi neoliberal.
Populisme sesungguhnya dapat
menjadi kekuatan transformatif dalam politik di Indonesia ketika berhadapan
dengan cengkeraman oligarki yang kian menguat. Sejumlah data menunjukkan
penguasaan aset oleh 40 orang terkaya di Indonesia melampaui angka 580 ribu
kali lebih besar dari pendapatan per kapita (Arif Budinata, 2018). Jika
ketimpangan sosial ini tidak ditangani secara serius, sejumlah persoalan
sosial seperti politik identitas dan populisme kanan akan terus menguat di
Indonesia ke depan.
Populisme di Indonesia gagal
menjadi kekuatan antagonis terhadap oligarki karena proses demokratisasi di
Indonesia sedang ditandai dengan absennya tradisi liberalisme (perjuangan
untuk hak-hak individu) dan gerakan kiri yang mengedepankan agenda keadilan
sosial (Bdk Hadiz dan Robinson, 2017). Politik menjadi arena pertarungan
pelbagai model populisme. Akibatnya, populisme di Indonesia tidak memiliki
daya emansipatoris, tapi diinstrumentalisasi untuk melanggengkan kekuasaan
oligarki. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar