Jumat, 09 Maret 2018

Populisme dan Krisis Demokrasi

Populisme dan Krisis Demokrasi
Otto Gusti Madung  ;   Dosen Filsafat Politik dan HAM di STFK Ledalero, Flores, NTT;  Alumnus Doktor di Hochschule fuer Philosphie, Muenchen, Jerman
                                              MEDIA INDONESIA, 08 Maret 2018



                                                           
”EIN Gespenst geht um in der Welt der Populismus (Seekor hantu sedang mengancam dunia populisme namanya)” (Ernest Gellner, 1969). Apa yang menjadi kecemasan Gellner pada dekade 1960-an kini kembali menjadi ancaman bagi politik global di abad ke-21. Pada tataran global sejumlah politikus populis siap dan telah merebut kekuasaan. Sederetan nama seperti Viktor Orban, Jaroslaw Kaczynski, dan Robert Fico adalah para pemimpin populis yang telah meraih puncak kekuasaan politik di Eropa.

Kemenangan para politikus populis mencapai puncaknya dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden Amerika Serikat. Sejumlah kalangan bahkan berpandangan, sebutan populis untuk seorang Donald Trump dipandang terlalu sopan. Lebih pantas ia mendapat julukan fasis sebab dalam 20 tahun terakhir tak satu pun politikus Amerika Serikat selain Donald Trump yang berani secara terbuka menghina kelompok minoritas dan perempuan.

Untuk konteks Indonesia, sekurang-kurangnya sejak Pemilihan Presiden 2014, isu populisme telah memasuki arena pertarungan politik. Ketika itu kedua kandidat yang bertarung mengusung dua model populisme nasionalis yang berbeda. Vedi R Hadiz dan Richard Robinson dalam 'Competing populism in post-authoritarian Indonesia' (2017) berpandangan, munculnya pemimpin populis di Indonesia merupakan bentuk protes atas persoalan ketidakadilan sistematis yang tidak pernah disentuh dalam dua dekade demokrasi desentralisasi.

Ketimpangan sosial sedang berkembang menuju arah yang mencemaskan. Sekarang ini angka indeks Gini di Indonesia berada pada posisi 0,393. Angka ini memang mengalami penurunan jika dibandingkan dengan nilai indeks Gini pada Maret 2015, yakni 0,408. Akan tetapi, masih lebih tinggi dari rasio Gini pada akhir masa Orba, yakni 0,35 (Bdk Arif Budimanta, 2018).

Krisis demokrasi

Populisme adalah kritikan atas sistem demokrasi representatif yang gagal menciptakan keadilan sosial dan menjadi penyambung lidah rakyat yang diwakilinya. Populisme selalu ditandai dengan sikap anti elitisme dan anti-establishment. Populisme juga selalu ditandai dengan sikap antipluralisme. Slogan seperti 'Kami dan hanya kami merepresentasikan kehendak rakyat yang sesungguhnya' adalah ekspresi antipluralisme yang populis.

Sikap antipluralisme terungkap dalam keengganan untuk berdebat guna mencari solusi alternatif terhadap persoalan politik. Gerakan populisme di Eropa misalnya disebabkan oleh politisasi isu integrasi Eropa yang merupakan bagian esensial dari konflik antara integrasi dan demarkasi. Hal ini berdampak fatal ketika sejumlah politikus beranggapan bahwa tak ada solusi alternatif untuk mengatasi krisis Uni Eropa.

Para pemikir politik bicara tentang 'policy without politics' atau pengambilan kebijakan teknis tanpa adanya perdebatan substansial yang melibatkan warga. Patologi ini menyuburkan populisme ketika para populis menanggapinya dengan meniupkan politik identitas tanpa konsep politik.

Kepada publik disuguhkan pertentangan antara teknokrasi dan populisme. Para teknokrat beranggapan bahwa hanya ada satu kebijakan teknis politik (policy) rasional sementara seorang populis berkampanye bahwa pandangannya merupakan ungkapan kehendak rakyat yang sesungguhnya (der wahre Wille des Volkes).

Baik populisme maupun teknokrasi dituntun oleh logika internal monolog dan antipluralistis. Para politikus populis dan teknokrat enggan berdiskusi untuk mencari solusi alternatif karena memandang posisi masing-masing sebagai dogma yang berlaku absolut. Di sini dua jenis fundamentalisme politik bertemu dalam satu sikap antipolitik.

Demokrasi antagonistis

Ini bertentangan dengan logika demokrasi yang senantiasa membuka ruang untuk berbuat salah, tetapi memiliki kemampuan untuk memperbaiki kesalahan. Kemampuan untuk belajar dari kesalahan merupakan kekuatan demokrasi jika dibandingkan dengan sistem otoritarian.

Demokrasi bukan dogma. Atau dalam bahasa Claude Lefort (1988), legitimasi demokrasi berpijak pada diskursus tentang apa yang legitim dan apa yang tidak legitim. Sebuah perdebatan yang tidak dibangun di atas sebuah jaminan akan kata akhir yang dapat diprediksi.

Sikap antikritik dan enggan mencari solusi alternatif merupakan model konsensus neoliberal yang telah mendorong lahirnya populisme. Alih-alih mengakui demokrasi sebagai sebuah diskursus tanpa kata akhir, kepada warga disuguhkan dogma bahwa hanya ada satu policy rasional.

Menurut Chantal Mouffe (2015), pembungkaman potensi konflik dalam demokrasi berhasil menjinakkan antagonisme antara populisme kiri dan kanan. Situasi 'post-demokrasi' ini telah membidani lahirnya populisme kanan, para penganutnya menentang para migran serta mengonstruksikan konsep nasionalisme etnik yang rasial dan anti orang asing.

Tugas politik menurut Mouffe ialah merancang populisme kiri yang mampu merumuskan tuntutan-tuntutan warga yang tidak terakomodasi lewat politik teknokrasi status quo. Para populis kiri harus menampilkan sebuah antagonisme fundamental secara jelas dalam masyarakat. Antagonisme tersebut tidak dibangun antara masyarakat dan para migran atau pendatang, tapi antara warga masyarakat dan kekuatan-kekuatan politik serta ekonomi neoliberal.

Populisme sesungguhnya dapat menjadi kekuatan transformatif dalam politik di Indonesia ketika berhadapan dengan cengkeraman oligarki yang kian menguat. Sejumlah data menunjukkan penguasaan aset oleh 40 orang terkaya di Indonesia melampaui angka 580 ribu kali lebih besar dari pendapatan per kapita (Arif Budinata, 2018). Jika ketimpangan sosial ini tidak ditangani secara serius, sejumlah persoalan sosial seperti politik identitas dan populisme kanan akan terus menguat di Indonesia ke depan.

Populisme di Indonesia gagal menjadi kekuatan antagonis terhadap oligarki karena proses demokratisasi di Indonesia sedang ditandai dengan absennya tradisi liberalisme (perjuangan untuk hak-hak individu) dan gerakan kiri yang mengedepankan agenda keadilan sosial (Bdk Hadiz dan Robinson, 2017). Politik menjadi arena pertarungan pelbagai model populisme. Akibatnya, populisme di Indonesia tidak memiliki daya emansipatoris, tapi diinstrumentalisasi untuk melanggengkan kekuasaan oligarki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar