Hukuman
Pengucilan bagi Koruptor
M Ali Zaidan ;
Dosen Ilmu Hukum UPN Veteran Jakarta
|
KOMPAS, 27 Januari 2017
Penjara
pada hakikatnya diperuntukkan bagi orang-orang yang melakukan kejahatan
disebabkan faktor-faktor yang tidak mungkin dihindarinya. Pelaku kejahatan
dipandang sebagai orang-orang yang malang dan oleh karena itu perlu dilakukan
pembinaan oleh negara. Mereka melakukan kejahatan bukan karena ketamakan atau
keserakahan, melainkan karena dihadapkan pada satu pilihan yang tidak mungkin
dapat dielakkannya.
Semenjak
diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada 1915, pidana
penjara mulai dikenal dalam sistem hukum di Indonesia. Oleh karena saat itu
belum tersedia rumah penjara, maka Wetboek van Strafrecht harus menunggu tiga
tahun agar berlaku efektif sampai disahkannya reglement kepenjaraan tahun
1918.
Sejak
itu, nomenklatur penjara mulai dikenal luas sebagai sarana untuk
menanggulangi kejahatan. Sebagai bagian dari kebijakan kriminal, pidana
penjara dapat dikatakan efektif, apalagi semenjak berubahnya sistem penjara
menjadi sistem pemasyarakatan pada 1995.
Seiring
meningkatnya angka kriminalitas dan makin canggihnya modus operandi
kejahatan, pidana penjara masih menampilkan sosoknya yang konvensional, yakni
sebagai alat bagi negara untuk merampas kemerdekaan bagi mereka yang
melakukan kejahatan.
Akibatnya
rumah-rumah penjara menjadi penuh sesak, berdampingan dengan laju peningkatan
kejahatan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Akibat lebih lanjut,
penjara tidak dapat lagi menjalankan fungi primernya sebagai wadah pembinaan
narapidana. Alih-alih narapidana menjadi lebih baik, penjara justru dipandang
sebagai tempat belajar kejahatan. Penjara telah menjelma menjadi sekolah
tinggi tempat belajar ilmu kejahatan.
Alhasil,
penjara telah menjadi semacam ”pabrik kejahatan” (factory of crime) yang
memproduksi berbagai kejahatan. Ketimpangan antara ideal dan kenyataan sangat
mencolok. Jumlah residivis meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah
narapidana yang dipenjarakan.
Bahkan,
fenomena akhir-akhir ini menunjukkan penjara justru sebagai tempat yang aman
untuk melakukan kejahatan. Kasus terbongkarnya pembuatan sabu di penjara
merupakan bukti kebenaran ungkapan ini. Berbagai bentuk penyimpangan lainnya
pun terjadi di lembaga pemasyarakatan.
Bukan penjara
Ketika
Edwin H Sutherland menggelontorkan konsep tentang kejahatan kerah putih
(white collar crime), semestinya semenjak saat itu paradigma pemidanaan
dirombak total. Kejahatan kerah putih dikonsepsikannya sebagai kejahatan yang
dilakukan oleh orang-orang yang terhormat dalam kedudukan ataupun
pekerjaannya.
Jenis
kejahatan ini berbanding terbalik dengan kejahatan konvensional yang dikenal
dengan blue collar crime. Salah satu karakteristik yang menonjol adalah
penggunaan kekerasan yang minimalis diganti dengan penggunaan teknologi dan
taktik yang tersamar dan sering terorganisasi serta menimbulkan kerugian
secara finansial yang amat besar.
Mereka—pelaku
kejahatan—itu memiliki tingkat pendidikan relatif tinggi, tetapi justru
digunakan untuk melakukan kejahatan. Di samping itu, korupsi selalu
berkelindan dengan penggunaan kekuasaan (power). Perjumpaan antara tingkat
pendidikan yang tinggi dan penyalahgunaan kekuasaan itulah menjadikan korupsi
sebagai kejahatan yang luar biasa.
Keluarbiasaan
delik korupsi selain berkaitan dengan subyek dan obyek serta akibat yang
ditimbulkan juga berupa luka sosial yang sangat parah. Korupsi laksana
parasit yang menggerogoti tubuh bangsa sehingga bangsa menjadi ringkih akibat
beban sosial yang ditanggung masyarakat semakin berat.
Pengucilan
Berdasarkan
anatomi di atas, penghukuman terhadap pelaku korupsi tidak cukup dengan
hukuman penjara saja. Kebijakan pemenjaraan terhadap pelaku korupsi semakin
minimalis, artinya pelaku korupsi dihukum penjara ringan.
Masihkah
pidana penjara dianggap obat mujarab untuk membuatterpidana menjadi jera?
Lalu apa arti extraordinary crime kalau pelaku korupsi masih menikmati
pelbagai fasilitas selama dalam penjara. Ingat kasus Gayus Tambunan atau
Artalyta Suryani. Penjara tidak menyebabkan mereka sadar telah melakukan
kejahatan yang melukai bangsanya. Perlu direkonstruksi bentuk sanksi sosial
berupa pengucilan dari masyarakatnya guna menggantikan pidana penjara yang
tidak efektif lagi.
Hukuman
pada hakikatnya merupakan pemakluman terhadap penjahat. Apabila ia melakukan
perbuatan, jenis hukuman seperti itulah yang akan dipikulnya. Dengan
demikian, jika hukuman penjara dijatuhkan secara minimalis, sistem sosial
dalam masyarakat seharusnya diperkuat untuk mengimbanginya. Masyarakat
hendaknyadididik agar tidak berlaku permisif terhadap koruptor. Masyarakat
perlu disadarkan bahwa perilaku koruptif tidak mendapat tempat dalam sistem
sosial mana pun.
Jika
masyarakat dipandang sebagai suatu sistem sosial yang melembaga berdasarkan
nilai-nilai kepercayaan (trust), maka koruptor adalah orang-orang yang
dinilai telah mengkhianati nilai-nilai kepercayaan yang menjadi fundamen
keberlangsungan sistem sosial masyarakat. Oleh karena itu, penghukuman berupa
pengucilan, yakni dibuang dari pergaulan sosial—setidak-tidaknya untuk
sementara waktu—patut dipertimbangkan sebagai hukuman yang pantas bagi
mereka.
Hukuman
pada hakikatnya adalah membatasi, dan pembatasan itu tidak saja terhadap
kemerdekaan bergerak, tetapi terhadap kenikmatan lain yang hanya dapat
diberikan kepada orang yang patuh pada hukum. Hukuman (pidana) selalu
mengakibatkan penderitaan dan pasti dirasakan sebagai sesuatu yang tidak
menyenangkan. Koruptormemiliki kekuasaan untuk memanfaatkan kelemahan hukum
dan sistem peradilan yang mendukungnya. Akibatnya mereka sering lolos dari
jerat sarang laba-laba yang memang tidak diperuntukkan buat mereka.
Hukuman
pengucilan pada prinsipnya merupakan penjara juga meskipun mereka tetap bebas
di lingkungan masyarakatnya. Pidana pengucilan itu telah dikenal sebelum
kedatangan penjajah di bumi Ibu Pertiwi ini, lalu mengapa sekarang kita tidak
mencobanya? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar