Kidung
Wingit
Kurnia JR ; Sastrawan
|
KOMPAS, 21 Januari
2017
Beberapa
tahun yang lalu, orang masih melihat Mbah Sup di dusun yang senantiasa
diselimuti hawa dingin karena nemplok di punggung pegunungan itu. Kebiasaan
beliau duduk di langgar tak pernah dia tinggalkan.
Mbah
Sup bukan tokoh masyarakat setempat atau guru agama. Ia hanya lelaki tua
peramah yang sesekali rajin menanam tomat dan cabai di pekarangan gubuknya.
Satu hal yang pernah dia sesali di langgar desanya ialah lantainya yang kini
keramik putih. ”Jadi silau, terlalu terang. Hilang ademnya,” ujarnya.
Dulu,
katanya, ubinnya berwarna kelabu, licin karena dilap setiap hari dan sekian
tahun digosok sarung jemaah shalat dan anak-anak mengaji. Dindingnya papan
jati dengan kaso-kaso yang klasik. Separuh dinding kayu dan kaso jati masih
dipertahankan, tetapi separuh sudah ditembok berlapis keramik.
Ketika
saya datang, dia sedang duduk di teras masjid, bersandar pada tiang, tampak
terkantuk- kantuk, tetapi bibirnya komat-kamit menembang lamat-lamat, seperti
merintih, sangat pelan, ”Lii khomsatun uthfi bihaa harral waba’il hatimah.”
Aku memiliki lima pegangan yang dengan pusaka itu kupadamkan api yang
meluluhlantakkan.
Shalawat
itu pada dekade 1950-an dan 60-an biasa dilantunkan di masjid-masjid di Jawa
sembari menunggu shalat berjemaah lima kali sehari. Bahkan, kidung ini
diyakini bisa mengusir wabah penyakit. Isinya tentang kecintaan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarganya. Kidung yang tipikal lirik dan nadanya
seperti ”Cublak-cublak Suweng” gubahan Sunan Giri atau ”Lir-Ilir” karya Sunan
Kalijaga. Tembang shalawat ini sendiri belum dipastikan gubahan siapa dari
lembaga Wali Sanga itu.
Sebagai
sarana untuk menyentuh hati orang banyak dalam rangka penyebaran agama Islam
dan penanaman budi pekerti luhur yang dilakukan Wali Sanga, kidung ini
berpola sederhana. Yang dipentingkan ialah kandungan pesannya berkenaan
dengan akhlak agar setiap pribadi Muslim menjadikan cinta kepada Kanjeng Nabi
dan keluarganya sebagai energi iman sehingga setia meneladani akhlak mereka
dalam setiap langkah kehidupan.
”Aji-aji
limo wujud manungso/linuwih ilmu sumber tulodo/ tindak lakune adoh ing
olo/manah niate tansah waskito.
Mbah
Sup pernah bercerita bahwa pada masa mudanya tembang ini tidak pernah lepas
dalam kesehariannya. Islam bagi dia adalah hidup itu sendiri. Islam bukan
teks Al Quran sebagai kitab semata, melainkan tuntunan praktis dengan
kehadiran pribadi Rasul dan segenap keluarga Beliau sebagai teladan. ”Kanjeng
Muhammad Rosulillah/Sayyidatunisa Siti Fatimah/Sayyidina Ali Karomallohu
Wajhah/Putro kekalih Hasan lan Husein”.
Kidung
ini mengajak kaum santri menelaah sejarah, khususnya riwayat kehidupan
junjungan mereka, karena pendidikan setiap pribadi dimulai dari lingkungan
keluarga. Bagaimana Rasul memberi teladan akhlak bersama lingkungan
terdekatnya sebagai pedoman hidup mukmin yang selaras dengan Al Quran.
Bahkan,
santri didorong mengenali ajaran yang dijabarkan para ulama seperti Imam
Syafii sebagaimana termaktub di dalam bait pamungkas: ”Mboten bakal ketrimo
sholate/yen mboten maos shalawate/Imam Syafii ngendikaake/niki bukti agunge
drajate”.
Betapa
tenteram orang Jawa dahulu kala dalam asuhan para kekasih Allah yang welas
asih. Mereka dibimbing dengan keteladanan dan rasa seni yang sederhana, tetapi
sarat nilai luhur. Warisan para aulia diterapkan dalam pendidikan pesantren
oleh para ulama sejati yang ketat menjaga adab dakwah dalam disiplin Rasul.
Para
ulama di berbagai pesantren Jawa-Madura tak mengajarkan Islam berkonteks
kekuasaan yang hanya mengukir perebutan takhta serta jatuh bangun dinasti
demi dinasti dan khilafah dari jazirah ke jazirah, tetapi bagaimana berakhlak
dengan akhlak Nabi. Bahkan, eksekusi terhadap Syeh Siti Jenar akibat
penyimpangan metode dalam pengajaran di dalam hikayat Wali Sanga tidak
dilanjutkan dengan persekusi terhadap murid-muridnya yang tidak berdosa.
Dengan
tembang ”Lir-Ilir”, ”Cublak-cublak Suweng”, dan ”Lii Khomsatun” yang nada dan
liriknya sederhana, para aulia menuntun umat ibarat mengasuh anak-anak
memasuki kematangan jiwa rohani tanpa cekokan fikih yang keras. Apalagi
menanamkan bibit pertengkaran tentang siapa yang paling benar dalam beragama.
Hanya diajarkan untuk jadi yang paling penyayang pada sesama. Dalil-dalil
hukum yang mendalam dikhususkan bagi santri yang dahaga ilmu dan bertekad
jadi penerus para guru hingga Islam kini jadi agama terbesar di Nusantara.
Sayang
sekali tembang shalawat ”Lii Khomsatun” yang syahdu mendayu-dayu menyentuh
lubuk hati tak lagi dilantunkan di langgar, mushala, atau masjid di seantero
Jawa. Sayang, sungguh, Mbah Sup pun telah tiada. Hanya kuburnya membisu di
tanah pemakaman desa yang lengang dalam pelukan hawa dingin. Gema suara lirih
beliau saat menembang tak lagi tersisa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar