Selasa, 11 April 2017

Politik Kewarganegaraan

Politik Kewarganegaraan
Yonky Karman  ;   Pengajar di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Jakarta
                                                        KOMPAS, 10 April 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Nasionalisme adalah energi vital perjuangan melawan dominasi asing yang menghambat kemandirian politik dan ekonomi bangsa. Tenun kebangsaan beraneka corak identitas politik berbasis (keyakinan) agama, suku, ras, kasta, profesi, jender, dan lainnya.

Kaum nasionalis berutang, antara lain, kepada ide-ide kritis sosialisme untuk mematahkan kekuatan narasi kapitalisme kaum kolonial. Dengan politik kebangsaan, Indonesia meraih kemerdekaan dan tegak sampai sekarang. Nasionalisme kehilangan karakter inklusifnya ketika didefinisikan secara eksklusif di luar identitas kewarganegaraan.

Hitler membangun nasionalisme Jerman (nazisme) di atas basis ras Arya. Negara memperlakukan kaum keturunan Yahudi, yang notabene warga negara turun-temurun, seperti warga yang kehilangan hak-hak konstitusionalnya. Hal serupa terjadi terhadap kelompok etnis Rohingya di Myanmar.

Diskriminasi adalah memperlakukan warga berdasarkan identitas tunggal yang tak ada kaitannya dengan kewarganegaraan. Warga didorong ke tepi kehidupan berbangsa. Diskriminasi horizontal di antara sesama warga bangsa diperkuat oleh diskriminasi vertikal dengan negara gagal mengoreksi penyelewengan berbangsa itu.

Menyadari anakronisme pencantuman kata "pribumi" dalam UUD 1945 untuk masa kini, dihentikanlah diskriminasi konstitusional yang berlangsung sejak Indonesia merdeka. Amandemen konstitusi mengafirmasi kebangsaan Indonesia yang multietnis dan multikultural.

Paradoks nasionalisme

Sejarah perjuangan Indonesia tak bisa dipisahkan dari semangat keagamaan. Sebagai bagian dari jati diri mayoritas bangsa, agama tidak dalam posisi diametral dengan kebangsaan. Jalan Indonesia untuk menjadi modern bukan sekularisme yang mengisolasi agama di ruang privat, juga bukan mencurigai agama sebagai penghambat modernitas. Kepublikan agama dirayakan dan diamalkan.

Nasionalisme religius merupakan jalan tengah untuk Indonesia yang bukan negara agama, juga bukan negara sekuler. Namun, nilai-nilai universal agama tidak menghilangkan partikularisme agama dalam praktik. Agama membentuk demarkasi sosial pemisah antara yang beragama dan yang tak beragama, yang religius dan yang sekuler, kelompok umat yang satu dan kelompok umat yang lain.

Ada paradoks terselubung dengan nasionalisme religius ketika agama secara eksklusif menentukan corak kebangsaan. Fakta dan kemungkinan nasionalisme sekuler dinafikan. Corak inklusif kebangsaan diingkari. Sebaliknya, superioritas nasionalisme umat di atas nasionalisme sekuler atau yang kurang religius atau yang dari afiliasi religius minoritas.

Padahal, rahim Ibu Pertiwi telah melahirkan seorang Tan Malaka yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia seratus persen tanpa kompromi. Tak ada korelasi langsung antara nasionalisme dan agama. Nasionalisme tumbuh subur di sanubari anak-anak bangsa yang merasa senasib dalam sejarah ketertindasan dan sejarah perjuangan bersama.

Paradoks nasionalisme religius coba diselesaikan oleh rezim Orde Lama dengan proyek ideologis Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme). Proyek ambisius itu gagal. Rezim Orde Baru tak memberi tempat bagi komunisme. Penguatan nasionalisme dilakukan dengan memunculkan identitas tunggal tandingan: komunisme (terkait nasionalisme religius) atau pribumi (terkait nasionalisme ekonomi).

Agama dalam kontrol negara untuk menyukseskan pembangunan.

Orde Reformasi membuka babak baru nasionalisme religius dengan kemungkinan agama tanpa Pancasila sebagai ideologi organisasi politik. Dengan begitu, agama yang dalam praktiknya menyangkut satu kelompok masyarakat, ketika menjadi ideologis, berpotensi merusak tenun kebangsaan. Fundamentalisme agama menyubordinasi Pancasila dan negara. Hukum agama, kalau perlu, menyubordinasi hukum negara dan ketertiban umum.

Dalam paradigma keumatan yang melampaui kewarganegaraan, warga yang baik tidak terutama dinilai dari ketaatan warga kepada hukum, membayar pajak, bersih dari korupsi, mengabdi kepada masyarakat, mengharumkan nama bangsa dengan prestasi ilmiah atau olahraga. Baik buruknya warga dinilai dari keterlibatannya dengan agama. Agama pun terlalu jauh memasuki ruang publik. Eksesnya adalah penguatan intoleransi. Pendiskreditan hak-hak sipil dianggap wajar bagi yang tak memenuhi kriteria warga yang baik itu.

Imperatif kewarganegaraan

Faktanya, kehidupan sehari-hari warga dijalani dalam kemajemukan identitas tanpa perlu membenturkannya satu sama lain. Aktivasi identitas tertentu (deaktivasi identitas lain untuk sementara) sesuai dengan tuntutan aktivitas keseharian. Identitas tunggal yang berlaku untuk segala situasi tidak hanya ilusi, tetapi juga mereduksi kemajemukan identitas warga negara (Sen 2006).

Betapapun pentingnya, agama hanya salah satu identitas warga, itu pun bagi yang meyakininya. Banyak urusan dan persoalan hidup di dunia secara teknis ditangani negara. Titik temu agama dan negara bukan pada tataran teknis, melainkan pada tataran nilai-nilai yang menguatkan negara-bangsa dalam kebinekaannya. Pancasila menjadi ideologi negara yang mengatasi kebinekaan warga.

Politik identitas (politics of identity, identity politics) harus dibedakan dari identitas politik (political identity) yang berbasis afiliasi atau pilihan politik. Politik identitas adalah gerakan politik yang relatif baru berkembang pada paruh kedua abad ke-20 di lingkungan kaum minoritas tertindas yang mengalami diskriminasi. Dalam perkembangannya, politik identitas juga dipakai untuk gerakan politik berbasis identitas tunggal meski tanpa prakondisi ketertindasan kaum minoritas.

Residu politik identitas tunggal (pribumi, religius) masih kuat. Pilihan politik warga semasa pemilu dikaitkan dengan identitas tunggal. Nasionalisme dimaknai monolit dan antikebinekaan. Nasionalisme tidak memiliki daya korektif dari dirinya. Untuk itu, politik kewarganegaraan hadir memberi tempat bagi berbagai corak nasionalisme warga.

Kewarganegaraan tidak hanya identitas kependudukan atau sebatas kurikulum pendidikan. Warga maupun negara berkepentingan dengan politik kewarganegaraan. Secara horizontal, semua warga terhubung dalam interaksi sosial di ruang publik yang demokratis. Rasa tanggung jawab sebagai warga negara melampaui rasa tanggung jawab dari afiliasi primordial. Kesadaran sebagai warga negara memayungi kesadaran sebagai umat. Keumatan tidak dalam posisi bersaing dengan kebangsaan.

Secara vertikal, status kewarganegaraan menyatukan semua warga berhadapan dengan pemerintah yang wajib menjamin hak-hak warga tanpa diskriminasi. Sistem demokrasi secara normatif tidak memberikan toleransi bagi diskriminasi dalam bentuk apa pun selama warga tak melawan hukum. Negara demokrasi tidak boleh menjadi alat yang mengesahkan diskriminasi. Penguasa di tingkat nasional dan daerah harus menjamin kesamaan warga negara di depan hukum, tidak tebang pilih dalam penegakan hukum.

Tingkat demokratis suatu bangsa tidak hanya diukur dari tingginya partisipasi pemilih dalam pemilu, tetapi juga dari politik kewarganegaraan dalam praktik. Kewarganegaraan terberi sebagai identitas politik, tetapi politik kewarganegaraan harus direkayasa secara sosial melalui instrumen kultural dan hukum positif. Hanya dengan cara itu, terbangun nasionalisme dengan karakter yang melampaui primordialisme (nation and character building).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar