Kamis, 08 Maret 2018

Magnet Jokowi dan Ujian Elektoral

Magnet Jokowi dan Ujian Elektoral
Adi Prayitno  ;   Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia; 
Dosen Politik UIN Jakarta
                                                  KORAN SINDO, 05 Maret 2018



                                                           
Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 masih lama. Namun, sejumlah partai politik (parpol) telah memantapkan hati mengusung Jokowi kembali maju dalam kontestasi lima tahunan itu.

Deklarasi dukungan PDI Perjuangan pada Jumat (23/2) di Bali melengkapi dukungan Partai Golkar, NasDem, PPP, dan Hanura yang jauh hari sudah bulat mengusung Jokowi maju di pilpres. Aliran deras dukungan sejumlah parpol menegaskan magnet politik Jokowi masih kuat. Keberlimpahan dukungan memosisikan Jokowi melambung di atas angin. Bukan semata mengamankan ambang batas presidential threshold 20%, melainkan lebih sebagai bentuk komitmen politik parpol pengusung untuk merebut kemenangan kembali. Jokowi memang sudah banyak melakukan perubahan besar.

Pembangunan infrastruktur yang masif, terutama di luar Pulau Jawa adalah upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara merata yang tak melulu berkutat di Pulau Jawa dan Jakarta. Langkah positif Jokowi ini layak diapresiasi. Namun, di ujung spektrum lain target capaian pertumbuhan ekonomi, meningkatkan daya beli, serta akses terhadap lapangan pekerjaan belum sesuai ekspektasi rakyat yang perlu dicarikan solusinya. Tentu bukan perkara mudah, mengingat usia kabinet kerja Jokowi tinggal hitungan bulan. Dalam politik tak ada yang bisa mendahului kehendak Tuhan. Sekalipun elektabilitas Jokowi menjulang tetap saja ikhtiar memperbaiki kinerja harus ditingkatkan untuk menambal dukungan rakyat.

Puncak popularitas dan elektabilitas kerap tak senapas dengan kemenangan. Sebab banyak rakyat yang menentukan pilihan politik justru sesaat sebelum mencoblos di TPS. Dukungan terhadap Jokowi tentu tak lahir dalam ruang hampa, melainkan didasarkan pada kalkulasi politik rasional bahwa dia memiliki magnet elektoral cukup besar. Kepuasan terhadap kinerja ditengarai menjadi magnet utama yang mampu menyihir sejumlah parpol sehingga mencalonkan Jokowi kembali. Kecenderungan elektabilitas Jokowi juga terus naik.
Survei SMRC pada Desember 2017 memotret dukungan kepada Jokowi mencapai 61,4% dari semula yang hanya 51,1% dan Prabowo 25,7%. Selebihnya suara tersebar di banyak kandidat lain. Secara kasatmata, kekuatan modal politik Jokowi sejatinya memuluskan langkahnya menang Pilpres 2019. Apalagi sejauh ini hanya Prabowo yang dianggap layak sebagai penantang serius.

Poros Pilpres

Jika tak ada badai, peta Pilpres 2019 sepertinya tak akan banyak berubah. Poros kekuatan politik relatif sama dan berpotensi mengulang rivalitas 2014 silam. Hanya Jokowi dan Prabowo yang selalu menempati urutan teratas perolehan survei saling bersaing. Setidaknya ada tiga skenario poros bisa disodorkan guna membaca peta Pilpres 2019. Pertama, Prabowo akan menjadi penantang utama Jokowi. Dengan catatan Prabowo dapat mengantongi dukungan PKS untuk menggenapi syarat 20% presidential threshold. Sejauh ini pertalian hati kedua parpol masih terus senapas.

Setidaknya bisa dilihat dari keintiman dalam sejumlah pilkada serentak. Semangat PKS dan Gerindra tetap sama, yakni mengganti Jokowi dari tampuk kekuasaan politik nasional melalui proses pemilu. Kesamaan suasana batin ini yang mengentalkan keyakinan akan terjadi duel ulang antara Jokowi dan Prabowo. Kedua, kemungkinan muncul figur alternatif yang dinakhodai poros Cikeas dengan catatan Partai Demokrat mampu merangkul dua parpol lain. Bacaan realistisnya, Demokrat paling mungkin menggandeng PKB karena ketua umumnya Muhaimin Iskandar (Cak Imin) mengincar posisi calon wakil presiden (cawapres).

Selain itu, Demokrat juga harus bersusah payah menggandeng satu parpol lain, misalnya PPP atau PAN demi menggenapi ambang batas pencapresan 20%. Ketiga , meski peluangnya nyaris tertutup, tapi prediksi munculnya calon tunggal masih bisa terealisasi karena ada opini yang mencoba menduetkan Jokowi dengan Prabowo. Kecenderungan pragmatis parpol membuat skenario ketiga bisa terwujud. Hal terpenting bagi parpol adalah capres dan cawapresnya sama. Bagi-bagi kekuasaannya pun harus sama. Pada tahap ini ideologi dan persaingan antarparpol ditiadakan.

Idealnya, Pilpres 2019 diramaikan oleh tiga kandidat guna mendinamisasikan kematangan politik rakyat. Pada saat bersamaan munculnya kan-didat alternatif di luar poros Jokowi dan Prabowo diharapkan mampu menutup celah defisit calon pemimpin masa depan. Tentu sangat ironis jika pilpres hanya menampilkan wajah-wajah lawas tanpa peremajaan figur politik baru. Secara umum elektabilitas Jokowi belum aman. Dalam logika survei, posisi aman elektabilitas petahana di atas 65% dengan tingkat kepuasan mencapai 70%. Itu artinya, Jokowi harus mencari cawapres yang bisa menjaga stabilitas elektoral. Model koalisi tradisional kombinasi antara Jawa dan luar Jawa maupun Nasionalis dan Islamis masih relevan dipertimbangkan di tengah dinamika politik yang kian tak menentu.

Ujian Elektoral

Dalam kondisi alamiah, tingkat kepuasan publik dan kondisi elektabilitas tinggi memudahkan Jokowi menang pilpres. Secara normatif, dalam potret pemilih rasional yang diintrodusir Anthony Downs dalam karya klasiknya An Economic Theory of Democracy (1957) bahwa rakyat cenderung akan memilih kembali petahana yang dianggap sukses memenuhi harapan hidup mereka. Meski begitu, berbagai peristiwa politik dan dinamika ekonomi yang terjadi belakangan akan menjadi ujian elektoral Jokowi sesungguhnya.

Setidaknya ada tiga isu krusial yang bisa menjadi ujian elektoral mantan Gubernur DKI Jakarta ini. Pertama, soal kenaikan harga BBM yang dibarengi dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok berpotensi menggerus kepercayaan rakyat. Apalagi dalam hitungan bulan umat Islam akan menghadapi bulan puasa yang bisa memantik fluktuasi harga, bahkan inflasi. Elektabilitas Jokowi bisa terganggu jika tak mampu mencari solusi atas problem domestik rakyat ini. Kedua, tentang kebangkitan politik identitas dan menguatnya populisme Islam. Harus diakui, di era Jokowi hubungan pemerintah dengan umat Islam selalu dihadaphadapkan.

Sekalipun Jokowi rajin blusukan mendatangi pesantren, tapi isu tentang kriminalisasi ulama dan fenomena orang gila menyerang ustaz akan terus dijadikan “kayu bakar” politik guna merusak elektabiltias Jokowi. Relasi Islam dan pemerintah menjadi isu sensitif yang mesti disikapi dengan bijak. Ketiga , performa di bidang hukum terutama terkait dengan upaya “pembonsaian” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan penuntasan kasus kriminal Novel Baswedan. KPK babak belur menghadapi gempuran badai serangan yang datang dari berbagai penjuru arah mata angin.

Sementara pelaku penyerangan Novel Baswedan belum menemukan titik terang. Padahal banyak kasus besar di republik ini bisa diungkap cepat, seperti terorisme, narkoba, dan menciduk gerombolan Cyber Muslim Army (CMA). Berbekal elektabilitas menjulang, Jokowi bisa menang mudah jika mampu mengelola hambatan elektoral yang setiap saat datang silih berganti.

Dalam politik merawat kejayaan bukan perkara mudah. Butuh stamina dan strategi jitu untuk terus mempertahankan keunggulan. Karena politik tak melulu soal kapasitas dan elektabilitas namun juga menyangkut daya tahan yang harus kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar