Ilusi
Trump dan Implikasinya
A Prasetyantoko ;
Rektor Universitas Katolik Indonesia
Atma Jaya
|
MEDIA
INDONESIA, 23 Januari 2017
INAUGURASI
Donald Trump sebagai Presiden ke-45 Amerika Serikat diwarnai situasi ambigu
di seluruh pelosok negeri, yang juga berimbas pada level global. Para
pendukung menganggap pidatonya sangat lugas, berbeda dengan pidato presiden
lainnya yang berbunga-bunga tetapi tidak konkret. Namun, bagi penentangnya,
pidato Trump dikategorikan sebagai pidato terburuk seorang presiden negara
besar, sama sekali tidak visioner.
Momen
pelantikan Presiden Trump tergolong tak lazim karena selain tak banyak yang
mengelu-elukan, di banyak tempat justru terjadi demonstrasi menentang
presiden baru. Inilah ambiguitas masyarakat AS yang akan berlangsung beberapa
tahun ke depan. Seakan momen ini menjadi penanda semakin terpuruknya kejayaan
peradaban AS.
Tampak
begitu besar situasi paradoksal antara apa yang ingin dituju dan realitas di
lapangan. Ketika Presiden Trump menyerukan slogan Make America Great Again,
justru fakta di lapangan bisa sebaliknya, yaitu situasi AS menjadi semakin
terpuruk.
Dalam
pidatonya, Presiden Trump dengan lugas menyatakan America first sebagai
prinsip utama pemerintahannya. Pendekatan yang dalam sejarah AS hanya sebatas
rumor dan kasak-kusuk serta tak pernah menjadi mainstream di AS, kini secara
resmi diadopsi sebagai pendekatan pemerintah. Sederhananya, prinsip ini
mengajarkan agar penduduk AS mengonsumsi barang AS sendiri serta
mempekerjakan orang AS. Kepentingan domestik didahulukan. Momen ini sangat
penting bagi AS karena selama ini negara ini selalu dianggap sebagai promotor
prinsip keterbukaan.
Kini
pola kebijakan tengah berubah secara drastis. Era ini ke depan akan ditandai
dengan pola kebijakan yang lebih bersifat proteksionistis. Itu artinya, peran AS di kancah global juga
akan mengalami reposisi penting.
Apa
implikasinya bagi negara berkembang seperti Indonesia?
Meski
seluruh retorika yang dibangun dipastikan tak semua bisa dan akan dilaksanakan,
stand point Presiden AS sudah akan membuat perubahan pola relasi ekonomi
antarnegara, khususnya dengan negara berkembang.
Ilusi industrialisasi
Secara
lugas, Presiden Trump dalam pidato pelantikannya menyadari sepenuhnya, sikap
dan pilihan politik yang lebih mendahulukan kepentingan domestik secara
alamiah akan diikuti negara lain. Secara pragmatis, Presiden Trump juga
mempersilakan negara lain mendahulukan kepentingan domestik masing-masing. Dengan
begitu, Presiden Trump tengah membuka celah bagi munculnya berbagai friksi
dan perang kepentingan, khususnya di sektor perdagangan secara global. Itulah
mengapa situs the Guardians menilai pidato Trump ini sebagai genderang perang
politik luar negeri AS.
Presiden
Trump meyakini, menutup diri dan lebih melihat ke dalam perekonomian akan
lebih maju dan memakmurkan. Bisa jadi prinsip ini benar, seandainya sistem
industri masih konvensional. Sebaliknya, faktanya sekarang industri sudah
sedemikian maju dan lintas-negara.
Tak
mungkin lagi sebuah negara menutup diri. Jika dipaksakan, bukannya akan
membuat industri dinamis, sebaliknya akan cenderung melambat.
Industrialisasi
sudah memasuki fase revolusi gelombang keempat.
Revolusi
industri 4.0 ditandai dengan sintesis antara faktor fisik, digital dan
biologi. Berbagai penemuan di berbagai bidang telah membuat sistem industri
menjadi lebih efisien di satu sisi, tapi juga lentur.
Pertama,
industri terdiri dari sekumpulan lini produksi yang terikat satu sama lain
secara global. Itulah yang disebut sebagai Global Value-Chain.
Karena
sifat industrinya ini pula, keterbukaan setiap negara dibutuhkan untuk
mendorong industri. Semakin terbuka sebuah negara, semakin dinamis
industrinya. Sebaliknya, semakin tertutup justru akan mematikan sektor
industrinya.
Kedua,
sifat alamiah industri yang berkembang belakangan ini memang tak menyerap
banyak tenaga kerja. Kualifikasi sumber daya manusia yang diperlukan dalam
industrialisasi 4.0 mengarah pada kelompok berpengetahuan tinggi dinamis dan
inovatif. Karena faktor terakhir ini, ketimpangan terjadi di semua negara,
termasuk di AS sendiri.
Secara
umum, perbedaan masyarakatnya begitu tegas, yaitu kelompok yang memiliki
akses informasi dan pengetahuan dan tidak. Semakin tinggi akses pada
pengetahuan dan informasi, akumulasi kekayaannya semakin baik. Dan
sebaliknya.
Dalam
kasus pemilihan Presiden AS terakhir ini, orang-orang yang terpinggirkan dari
akses pengetahuan dan informasi ingin dilibatkan kembali dengan cara memilih
Donald Trump. Dengan begitu, memang tugas Presiden Trump setelah terpilih
pertama-tama ialah merealisasikan propaganda politik yang memenangkan
pemilihannya. Masalahnya, apakah itu realistis?
Jika
memang arah kebijakan AS ke depan akan lebih pro-kelompok yang terbuang dari
akses informasi dan pengetahuan, nampaknya lanskap perekonomian AS juga akan
berubah. Masalahnya, tak ada perubahan cepat (revolusioner) yang mulus, pasti
akan diwarnai gejolak. Dan apakah ini era dimulainya pergolakan baik secara
politik dan ekonomi di AS? Tak ada satu orang pun yang tahu.
Implikasi pada negara
berkembang
Segera
setelah dilantik, Trump berjanji akan menarik keikutsertaannya dari
Trans-Pacific Partnership (TPP), dan bahkan akan segera mengevaluasi
kesepakatan perdagangan bebas kawasan Amerika Utara atau NAFTA (North
American Free Trade Agreement) yang sudah berusia lebih dari 20 tahun. Implikasinya
pada level global akan segara dirasakan, ketika perdagangan global akan
menyusut dan pada gilirannya akan membuat pertumbuhan ekonom melambat.
Sektor
perdagangan dan industri akan menjadi faktor penting yang memengaruhi
dinamika perekonomian global dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek,
dampak kebijakan Trump sudah dirasakan.
Pertama,
Trump akan menurunkan tarif pajak baik perseorangan maupun perusahaan menjadi
sekitar 15% saja. Dengan demikian, penerimaan negara akan menyusut tajam.
Kedua,
pada waktu bersamaan akan meningkatkan pengeluaran secara besar-besaran di
berbagai proyek infrastruktur. Rupanya Trump ingin mengulangi keberhasilan
sejarah AS dengan New Deal pada masa pemerintahan Presiden Roosevelt yang
berhasil menghadapi masa depresi besar 1930-an. Implikasi dari kombinasi
kebijakan ini sudah dirasakan, yaitu pasar utang AS langsung melonjak.
Likuiditas dari negara berkembang mengalir ke pasar utang AS.
Dengan
struktur penerimaan dan pengeluaran yang timpang, pemerintah tak punya cara
lain kecuali merilis surat utang dalam jumlah besar. Dengan mengalirnya
likuiditas dari negara berkembang ke AS, mata uang dolar akan terus menguat.
Akibatnya, barang-barang produksi AS menjadi lebih mahal. Ekspor AS akan terpukul. Dan karena itu,
pasar domestik difungsikan menampung produksi AS.
Dengan
begitu, peningkatan pendapatan di dalam negeri AS harus menjadi agenda. Karena
jika tidak, pasarnya akan terlalu kecil jika dibandingkan dengan produksi AS
yang begitu besar. Memang tampaknya sederhana, tapi implikasi di lapangan tak
semudah yang dibayangkan dalam logika normatif yang sederhana.
Pengalaman
Donald Trump sebagai pengusaha tak semuanya bisa dilaksanakan dalam tata
pemerintahan negara sebesar AS. Dibutuhkan kompetensi teknokratis, selain
pemetaan politik yang komprehensif.
Tanpa
upaya ini, bisa jadi propaganda Presiden Trump akan berujung pada kemarahan
warga yang merasa tak mendapatkan apa-apa. Semuanya hanya ilusi belaka.
Memanfaatkan momentum
Bagi
negara berkembang seperti kita, hal pertama yang harus disadari, peta
permainan global akan segara berubah. Maka dari itu, kita harus bersiap
dengan perubahan yang lebih protektif tersebut.
Meski
ada berbagai tantangan serius di masa depan, muncul pula berbagai peluang
yang juga harus dimanfaatkan. Jika perdagangan global menurun serta transaksi
dengan AS berkurang, konsolidasi kawasan regional menjadi penting. Apalagi
jika benar AS segera keluar dari TPP dan NAFTA, justru peran dari pasar
kawasan ASEAN justru berpotensi bersinar. Masyarakat Ekonomi ASEAN justru
memiliki momentum untuk mempercepat integrasi ekonomi agar menguntungkan para
anggotanya.
Jika
peran AS dalam peta perdagangan global surut, peran Tiongkok justru makin
menonjol. Kepemimpinan AS dalam TPP pasti bisa dengan cepat ditangkap
Tiongkok dengan mengakselerasi persekutuan blok Tiongkok atau Regional
Comprehensive Economic Partnership (RCEP).
Bagi
perekonomian Indonesia sendiri, RCEP bisa jadi lebih memiliki makna ketimbang
TPP.
Dengan
demikian, di antara berbagai kerugian dan tantangan dengan naiknya Trump,
kita justru melihat terbukanya peluang untuk mengakselerasi integrasi
perdagangan kita guna mendapatkan nilai tambah yang lebih baik.
Meski
demikian, bukan berarti situasinya akan lebih rileks. Sebaliknya, tingkat
ketidakpastian akan semakin tinggi, sehingga gejolak juga menjadi semakin tak
terkendali. Untuk itu, melanjutkan berbagai upaya reformasi kebijakan yang
berorientasi perubahan struktural perekonomian domestik harus dilanjutkan.
Di
bawah Presiden Joko Widodo, perekonomian Indonesia dianggap sebagai salah
satu yang paling menjanjikan karena terlihat ada upaya pembenahan
besar-besaran. Momentum ini jangan sampai terlewatkan, mengingat peluang ini
tidak akan berulang dalam sejarah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar