Jumat, 09 Maret 2018

”Quo Vadis” Berantas Narkoba

”Quo Vadis” Berantas Narkoba
Arman Depari  ;   Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional
                                                        KOMPAS, 09 Maret 2018



                                                           
Dalam sebuah sidang kabinet terbatas di istana, Presiden Joko Widodo pernah menyampaikan dengan tegas: ”Indonesia darurat narkoba dan Indonesia perang terhadap narkoba!” Pernyataan orang nomor satu di Indonesia ini tidak main-main. Saat itu juga Presiden Jokowi langsung menyiapkan enam instruksi untuk memberantas narkoba.

Pernyataan sekaligus perintah Presiden Jokowi itu hingga saat ini belum terealisasikan secara signifikan. Bagaimana tidak, virus narkoba terus berdatangan menyerang Indonesia secara bergelombang dan menakutkan, situasi ini harus segera dikendalikan jika tak ingin melihat kerusakan yang lebih parah di masyarakat Indonesia, terutama generasi muda.

Narkoba musuh kita bersama

Narkoba jenis apa pun adalah persoalan serius bagi umat manusia. Narkoba menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa di dunia. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2016 menjelaskan, terdapat 247 juta orang di dunia menjadi penyalah guna narkoba. Dari angka itu, sebanyak 1,6 juta jiwa terserang HIV dan 6 juta jiwa terkena hepatitis C yang dapat mengakibatkan kematian bagi penderitanya.

Di Indonesia, pengguna narkoba telah mencapai 4,2 juta jiwa. Setiap hari 37 orang meninggal karena menyalahgunakan narkoba. Biaya ekonomi akibat narkoba ini terbilang sangat tinggi. Setiap tahun yang terbuang untuk belanja atau pembelian narkoba dan pengobatannya mencapai angka Rp 72 triliun. Nominal yang sungguh fantastis. Dari penyalahgunaan narkoba itu timbul tindakan kejahatan-kejahatan ikutannya (narcotics-related crime), seperti pembunuhan, penculikan, pemerasan, penyelundupan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan kecelakaan. Bahkan kini muncul fenomena ibu menjual anak kandungnya sendiri demi memperoleh narkoba. Barang haram ini benar-benar hadir meneror masyarakat kita.

Belakangan ini teror narkoba semakin hebat dan dahsyat. Buktinya adalah munculnya beberapa narkoba jenis baru yang disebut new psychoactive substance (NPS). Republik Rakyat China mengumumkan telah menemukan kurang lebih 800 jenis NPS, sedangkan Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) merilis 648 NPS telah ditemukan di seluruh dunia.

Sementara ini di Indonesia sudah ditemukan 71 jenis. Di antara yang sering ditemui adalah jenis flakka dengan nama gorilla, hanoman, holyshit. Jenis ini mengandung canabinoit sintetis yang punya efek jauh lebih dahsyat. Daya rusaknya 10 kali lipat dari jenis amphetamin type simultant (ATS) seperti sabu dan ekstasi atau sejenis narkotika lainnya yang alami ataupun sintetis.

Sebenarnya, dunia internasional telah berupaya mengantisipasi kejahatan dan penyalahgunaan narkoba itu melalui badan PBB, yakni dengan mengeluarkan beberapa konvensi, antara lain UN Single Convention on Narcotics Drugs (1961), UN Single Convention on Psychotropic Substance (1971), dan UN Convention Against Illicit Traffic in Narcotics Drugs and Psychotropic Substance (1988). Tak terkecuali Commision on Narcotics Drugs (UNCND) juga telah mengeluarkan Political Declaration Againts Drugs (2009).

Berdasarkan konvensi dan deklarasi itulah disusun lima pilar utama pemberantasan narkoba, yakni pencegahan, kerja sama, pemberantasan, terapi dan rehabilitasi, serta pengembangan alternatif (alternative development) sebagai upaya mengurangi pasokan (supply reduction) dan meminimalkan permintaan (demand reduction).

Konsep tersebut kemudian melahirkan deklarasi ASEAN Bebas Narkoba (ASEAN Drugs Free) 2015. Indonesia sebagai anggota negara ASEAN turut pula mengadopsi program tersebut sehingga di waktu yang lalu ada program Indonesia Bebas Narkoba 2015. Hal ini ditandai dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Badan Narkotika Nasional (BNN) melihat persoalan narkotika dan obat berbahaya itu dari dua pendekatan, yakni pendekatan ekonomi dan pendekatan budaya. Dalam konteks ekonomi, narkoba ini tiada lain adalah lahan bisnis gelap yang sangat berpotensi mengeruk keuntungan tinggi. Tingginya permintaan (demand) di Indonesia membuat sindikat narkoba memasok dalam jumlah yang besar.

Indonesia saat ini dipandang sebagai pasar yang empuk lantaran jumlah penduduknya yang terbilang sangat besar dengan pertumbuhan ekonomi yang baik pula. Maka jangan heran jika fenomena penyalahgunaan narkotika ini menjadi ”langgeng”. Inilah cara pebisnis narkoba mempertahankan kelangsungan ekonominya. Dari lapak bisnis itu pula mereka meraih kehidupan yang lebih ”layak”, memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, dan memperoleh kemewahan yang berlimpah. Para pebisnis ataupun pencandu obat terlarang itu pada umumnya juga turut berpartisipasi dalam sindikat narkoba.

Sementara dalam konteks budaya, narkoba menjadi gaya hidup, budaya hura-hura, pesta pora, pergaulan bebas, tempat hiburan malam, dan kebiasaan berpikir praktis untuk memecahkan sebuah masalah. Untuk itulah, sebagai pihak yang berada di garda paling depan (leading sector) penanggulangan narkoba, BNN tak pernah berhenti berjuang mengurangi permintaan pasar gelap serta memutus pasokan peredaran narkoba. Termasuk berupaya keras dalam hal terapi atau merehabilitasi para pencandu guna mengurangi ketergantungannya (harm reduction).
Baik pasokan, permintaan, maupun mengurangi ketergantungan itu harus dilakukan secara berimbang dan paralel. Maka, penegakan hukum penyalahgunaan narkoba ini harus tegas. Pencegahannya pun harus dilakukan sejak dini.

Penegakan hukum dan pencegahan yang optimal dapat pula dilakukan dengan pemberdayaan masyarakat. Di sinilah seluruh lapisan masyarakat terlibat untuk memahami bahaya narkoba. Masyarakat diharapkan mampu menghindari dan menolak narkoba sebagai musuh bersama. Dengan begitu, mereka bisa membentengi diri sendiri, keluarga, dan lingkungannya.

Memutus jaringan sindikat

Salah satu pilar pemberantasan narkoba adalah kerja sama internasional secara proaktif. Kerja sama proaktif dapat memperkuat petugas perbatasan di lintas negara (land border), bandar udara, dan jalur laut. Ruang kerja sama ini sebagai sarana tukar-menukar informasi intelijen terkait modus dan jejaring peredarannya.

Dengan demikian, target memutus jaringan sindikat narkoba mulai dari sumbernya di luar negeri, perbatasan teritorial negara, sampai masuk ke Indonesia, dapat dicapai. Termasuk dengan memutus peredaran narkoba di lembaga pemasyarakatan (lapas), sebab narapidana di lapas menjadi pengendali peredaran narkoba di luar penjara dan sering pula menjadi tempat produksi narkoba.

Dewasa ini, dalam memutus jaringan sindikat narkoba perlu ada prioritas untuk memutus pasokan (supply) dengan cara mencari, menemukan, mencegat, dan menyita barang bukti. Upaya memutus pasokan ini efeknya akan terlihat lebih masif dan membuahkan banyak hasil. Buktinya adalah saat melumpuhkan sindikat-sindikat tertentu seperti sindikat Iran dan sindikat Afrika Barat yang beberapa tahun lalu merajalela di Indonesia, meski sebetulnya kedua sindikat masih terbilang kecil jika dibandingkan dengan sindikat internasional yang masih beroperasi dan berkolaborasi dengan sindikat lokal yang eksis di sejumlah daerah di Indonesia.

Jaringan itu khususnya beroperasi di jalur perairan yang terbuka seperti di sepanjang pantai timur Sumatera, mulai dari Aceh sampai ke Lampung, Kepulauan Riau, terus ke arah pantai barat dan utara Kalimantan, tanpa terkecuali di beberapa wilayah di bagian timur Indonesia. Selama ini 80 persen transportasi narkoba melalui jalur laut sehingga selagi rute laut ini memberikan kesempatan untuk sindikat, mereka akan tetap melanjutkan penyelundupan-penyelundupan ke Indonesia.

Untuk menghentikan pasokan atau pengiriman narkoba dari negara sumbernya (hulu) juga diperlukan kesamaan persepsi. Selama ini, banyak negara Eropa yang tidak mau bekerja sama dengan Indonesia. Alasan mereka, hukum di Indonesia masih memberlakukan hukuman mati. Negara itu misalnya Belanda dan Australia, setelah dieksekusinya pelaku kejahatan narkoba kelompok ”Bali Nine”.

Selain harus menangkap dan memutus jaringan sindikat narkoba, penyidik BNN diwajibkan pula untuk menyidik tindak pidana pencucian uang (TPPU)-nya. Caranya adalah dengan membekukan serta menyita harta, uang, dan aset para sindikat narkoba. Hal ini dimaksudkan untuk melumpuhkan kekuatan ekonominya sehingga jejaring sindikat itu tak mampu lagi beroperasi.

Saat ini, BNN sedang melakukan penyidikan terhadap transaksi yang diduga berasal dari penjualan narkoba sebesar Rp 3,6 triliun dan Rp 7,3 triliun yang masih terkait dengan sindikat almarhum Freddy Budiman. Transaksi itu sebagian besar mengalir ke luar negeri. Ini cukup sulit untuk menemukan atau mengembalikannya sekalipun telah dibuatkan permohonan bantuan secara legal (mutual legal assistance on criminal matters/MLA) karena baru beberapa negara saja yang meresponsnya.

Yang perlu juga diwaspadai, ke depan jejaring sindikat narkoba akan terus mencari dan mengembangkan pasarnya seiring dengan kemajuan dan peningkatan ekonomi di Indonesia, dengan asumsi bahwa penyalah guna narkoba di Indonesia berlimpah uang dan tingginya jumlah permintaan kebutuhan narkoba. Seperti kata pepatah, ada gula ada semut.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun mengatakan, belanja narkoba itu akan menggerus daya beli masyarakat. Uang hasil penjualan narkoba diboyong ke luar negeri dan diganti dengan ”racun narkoba” yang dimasukkan ke Indonesia.

Beberapa negara Asia lain, seperti Iran, Filipina, dan Singapura, yang gencar serta keras mengatasi masalah narkoba itu telah mengantisipasi lebih dulu. Jika Indonesia tidak mengambil langkah yang cepat dan tepat, besar kemungkinan ”jatah” narkoba yang tadinya diperuntukkan ke negara-negara tersebut bisa dipastikan akan beralih masuk ke Indonesia.

Sementara itu, negeri jiran (Malaysia) masih dikategorikan sebagai negara transit utama dalam jalur penyelundupan narkoba. Adapun negara segi tiga emas yang dulu produsen utama heroin—kini untuk kawasan tersebut berubah sebutan menjadi Delta Mekong (Laos, Myanmar, dan Thailand)—menjadi tempat produksi massal narkoba jenis sabu dan ekstasi.

Lantas apa solusi untuk mengatasi serangan virus narkoba dan memberantasnya? Dengan melihat kompleksitas persoalan narkoba, maka dalam penanganannya pun perlu sinergi di antara pemangku kepentingan di Indonesia. Setidaknya Kementerian Luar Negeri perlu melakukan lobi atau pendekatan di kawasan Asia khususnya, dan dunia pada umumnya.

Dengan cara itu, diharapkan bertambah negara-negara yang akhirnya mau diajak kerja sama dalam pemberantasan narkoba dari hulu hingga hilir, juga untuk mempercepat penanganan aset dan uang hasil tindak pidana narkoba yang mengalir sampai luar negeri. Di sinilah perlu pembicaraan khusus dalam semangat dan komitmen ASEAN memberantas narkoba, mengingat karena narkoba tidak hanya menghancurkan rakyat Indonesia, tetapi juga masyarakat dan bangsa-bangsa di dunia, terutama generasi muda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar