Populisme
Trump
Vedi R Hadiz ;
Guru Besar Kajian Asia Universitas
Melbourne
|
KOMPAS, 23 Januari 2017
Keberhasilan
Donald Trump memenangi jabatan presiden Amerika Serikat adalah contoh
kebangkitan populisme yang kini terjadi di berbagai belahan dunia. Kemenangan
Brexit di Inggris adalah contoh lain, demikian juga menguatnya posisi Marine
Le Pen di Perancis, Geert Wilders di Belanda, atau Pauline Hanson di
Australia. Populisme bisa dimengerti sebagai kecenderungan politik yang
didasari ide bahwa masyarakat bisa dibagi antara ”massa yang tertindas” dan
sekelompok kecil ”elite yang terus menindas” mereka.
Trump
sukses menampilkan dirinya sebagai ”penyambung lidah” sebagian rakyat yang
merasa dirugikan oleh elite Washington dan New York. Mereka digambarkan
sebagai orang yang ditinggalkan oleh arus globalisasi—seperti buruh industri
manufaktur yang pabriknya hengkang ke negeri berupah rendah. Bahwa seorang
miliarder seperti Trump dielukan oleh rakyat yang terempas globalisasi adalah
suatu ironi sejarah tersendiri.
Globalisasi
neoliberal telah berdampak pada meluasnya jurang kaya-miskin hampir di mana
saja. Kekayaan yang dimiliki delapan orang terkaya di dunia ternyata sama
dengan kekayaan 3,6 miliar orang termiskin—separuh penduduk bumi. Di AS, 400
orang terkaya memiliki kekayaan yang sama dengan 61 persen rakyat terbawah.
Namun,
AS tidak sendirian. Di Australia, yang memiliki etos sosial demokrasi dan
egaliter—yang tak pernah ada di AS—dua orang saja mempunyai kekayaan sepadan
dengan 20 persen rakyat termiskin. Fenomena ini tidak hanya terlihat di
negeri maju. Di Indonesia, 1 persen orang terkaya memiliki kekayaan setara 50
persen rakyat terbawah.
Gelombang
populisme merupakan bukti bahwa perkembangan di bidang ekonomi tak bisa lepas
dari perkembangan di bidang lain. Berbagai macam kontradiksi dan dislokasi
sosial baru yang dilahirkan neoliberalisme telah mendapatkan respons sosial
politik. Populisme yang membawa Trump ke pucuk kekuasaan adalah wujud respons
berupa kekecewaan terhadap sistem politik yang memelihara ketidakadilan.
Namun,
massa yang mendukung Trump belum tentu diuntungkan. Dalam ”massa” tersebut
terdapat berbagai jenis kepentingan yang bertentangan, tetapi untuk sementara
disatukan oleh euforia kemenangan.
Contohnya,
kebijakan ekonomi Trump akan mengedepankan kepentingan industri AS yang
selama ini kalah bersaing, misalnya dengan pesaing Asia. Akan tetapi,
kehidupan buruh AS belum tentu terangkat karena pola distribusi kekayaan 40
tahun terakhir menjamin bahwa kenaikan upah akan tertinggal porsi keuntungan
yang jatuh ke tangan industriwan. Belum lagi buruh tersebut akan kehilangan
asuransi kesehatan yang hendak dihapus oleh Trump.
Saya
kurang sependapat bahwa AS di bawah Trump serta-merta akan meninggalkan
neoliberalisme. Yang lebih mungkin adalah kekuatan aparat negara AS akan
didayagunakan untuk menopang kiprah industrinya dalam persaingan global.
Pencapaiannya akan semakin mengandalkan tekanan bilateral serta meninggalkan
perjanjian multilateral, seperti Kemitraan Trans-Pasifik, sehingga
pemerintahan Joko Widodo tidak perlu lagi mempertimbangkan untuk ikut serta. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar