Jumat, 02 Maret 2018

Problematika Otonomi Daerah Zaman Now!

Problematika Otonomi Daerah Zaman Now!
Muhammad Yahdi Salampessy  ;   Pengajar di Fakultas Hukum
Universitas Indonesia
                                                  KORAN SINDO, 01 Maret 2018



                                                           
Pelaksanaan otonomi dae­rah yang seluas-luasnya dan bertanggung jawab me­rupakan kehendak dari aman­demen Konstitusi yang la­hir dari rahim reformasi. Oto­no­mi daerah dinasbihkan se­ba­gai obat mujarab bagi Ibu Pe­r­ti­wi yang telah dicederai oleh ke­za­liman pemerintahan oto­ri­ta­ri­an Orde Baru.

Kini 20 tahun setelah re­for­ma­si bergulir, saatnya kita me­re­nung dan berefleksi. Apakah tu­juan mulia otonomi daerah te­lah tercapai? Tulisan ini me­ru­pa­kan sebuah refleksi me­nge­nai berbagai permasalahan da­lam otonomi daerah yang oleh ka­wula muda dilabeli sebagai oto­nomi daerah zaman now.

Tujuan Mulia Otonomi Daerah

Secara harfiah, otonomi dae­rah berasal dari dua kata, ya­­itu otonomi dan daerah. Da­lam ter­minologi Yunani, oto­no­mi sen­diri berasal dari kata au­tos  dan namos. Autos  berarti ”sen­­di­ri” dan namos  yang ar­ti­nya ”atur­­an” atau ”undang-undang”. Dengan demikian, oto­­no­mi daerah dapat dia­r­ti­kan sebagai kewenangan un­tuk meng­atur dan mengurus ru­­mah tangga daerah sendiri.

Pengertian tersebut diamini oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pe­me­rin­tahan Daerah, yang meng­ar­ti­kan otonomi daerah sebagai hak, wewenang, dan kewajiban dae­rah otonom untuk meng­atur dan mengurus sendiri urus­an pemerintahan dan ke­pen­­tingan masyarakat se­tem­pat dalam sistem Negara Kesa­tu­an Republik Indonesia.

Pendefinisian di atas kian me­negaskan bahwa otonomi dae­r­ah memiliki makna dan tu­ju­an mulia. Dalam otonomi dae­rah, ada gelora demokrasi yang di­kibarkan melalui penyerahan dan pelimpahan urusan pe­me­rin­tahan oleh pemerintah pu­sat kepada pemerintah daerah.

Semangat otonomi daerah ada­lah semangat pemb­er­da­ya­an daerah-daerah yang acap ter­lu­pakan dan terabaikan oleh ling­karan kekuasaan. Oto­nomi dae­rah diharapkan bi­sa men­do­rong lahirnya para elite birokrat yang profesional, me­wujudkan ta­ta kelola pe­me­rin­tahan yang ber­­sih, dan me­ning­katkan kua­li­­tas pela­yan­an publik. Semua itu pada ak­hir­nya bermuara pa­da satu tu­ju­an, yaitu men­ing­kat­nya ke­se­jahteraan masyarakat.

Raja Kecil, Fenomena Otonomi Daerah Zaman Now?
 
Pelaksanaan otonomi dae­­rah ternyata tidak se­mu­lus dan se­indah janji yang di­ta­war­­kan. Ma­lah, terkuak aroma tak se­dap yang begitu menyengat. Pe­­lak­sa­na­an otonomi dae­­rah ter­­nya­ta telah di­ge­ro­goti de­ngan pe­ri­la­ku dan tin­dak­an yang korup dari oknum-oknum ti­dak bertang­gung ja­wab. Te­ngok saja sta­tistik dan angka-angka, be­ra­pa banyak ke­pala daerah, ang­gota DPRD, dan pejabat pe­me­rin­tahan dae­rah lainnya ter­je­rat kasus korupsi?

Otonomi daerah seolah mem­buahkan konsekuensi ti­dak terduga yang menyimpang dari tujuan mulia pem­ben­tuk­an­nya. Bayangkan, alih-alih me­ningkatkan kesejahteraan dae­rah dan masyarakat, oto­no­mi daerah justru berkembang men­jadi lumbung padi bagi para ti­kus berdasi.
Di era otonomi daerah za­man now, kita melihat ber­mu­n­cul­an raja-raja kecil di daerah yang tamak dan haus akan uang ser­ta tampuk kekuasaan.

Para pen­g­usaha, birokrat, dan po­li­ti­si berlomba-lomba menguasai ja­­batan strategis dan mem­ba­ngun dinasti politik di dae­rah­nya. Akibatnya, bermunculan fe­n­omena kepala daerah yang ti­dak kompeten dan tidak me­mi­liki rasa tanggung jawab ke­pa­da publik.

Munculnya raja-raja kecil di dae­rah juga semakin m­e­ne­gas­kan ada permasalahan serius da­­lam pelaksanaan otonomi dae­rah dewasa ini.
Raja-raja ke­­cil ini juga me­nun­juk­kan si­kap dan pe­r­­i­la­ku kurang men­g­­har­gai dan pa­tuh ter­ha­dap ke­wi­­ba­­­wa­an pe­me­rintah pu­sat dan nor­­ma hukum. Ba­gai­mana ti­dak? Banyak da­ri pejabat dae­­rah yang mem­perkaya diri sen­di­ri de­ngan m­enyalah­gunakan ke­kua­saan dan wewenangnya se­cara melawan hukum.

Berbagai korupsi berjamaah atas dana APBD, jual beli izin, hing­ga suap berbagai proyek pem­bangunan daerah, seakan men­jadi ciri khas dari otonomi dae­r­ah zaman now. Hal ini di­la­ku­kan dengan memanfaatkan ber­bagai celah hukum dan bir­o­kr­a­si yang tidak memenuhi stan­­dar good governance.

Padahal hukum sejatinya ha­­rus berperan menjadi alat pem­­ba­­ruan sosial dalam ma­sya­ra­kat atau a tool of social engineer­ing, sebagaimana di­ke­mu­kakan Ros­coe Pound. Hu­kum di­ha­rap­kan bisa meng­ubah nilai-nilai so­­sial untuk da­pat mewujud­kan sebuah ma­syarakat yang ma­dani dan se­­jahtera. Hal ini se­harusnya men­jadi semangat da­lam pe­nye­lenggaraan oto­no­mi dae­rah dan menjadi ped­o­man bagi pa­ra pemimpin di ne­ge­ri ini.

Perubahan sosial harusnya men­jadi landasan utama bagi pa­ra raja kecil di daerah ini da­lam menjalankan pe­me­rin­tah­an di daerah. Sayangnya, pe­mi­kir­an Pound tidak mengalir da­lam pikiran dan darah raja-raja ke­cil ini. Sebab mereka hanya fo­kus bagaimana merampok dan me­ncuri uang daerah serta ne­ga­ra yang seyogianya dijaga de­ngan baik.

Berkaca dari semua itu, se­per­­­­ti­nya kita harus menga­ta­kan oto­no­mi daerah gagal mem­­ba­ngun akun­tabilitas ke­ber­­wa­kil­an, baik da­lam hu­bun­­g­an pusat dan dae­rah mau­pun da­lam pe­nge­lolaan dan pe­­nye­leng­garaan urus­an pe­me­­­rin­tah­an. Ot­o­no­mi dae­rah ha­­k­­i­kat­nya dilak­sa­na­kan un­tuk men­­dekatkan pe­la­yanan ke­p­a­da ma­syarakat dan mem­­ba­ngun dae­rah sesuai de­ngan potensinya.

Kenyataan menunjukkan pe­­layanan publik masih jauh dari baik. Kesejahteraan pun be­lum merata. Apakah ini yang di­h­arapkan dari otonomi dae­rah sebagai manifestasi dari ruh re­formasi dan kaidah konstitusi?

Pilkada Serentak dan Pembenahan Otonomi Daerah
 
Berbagai persoalan dalam pe­­laksanaan otonomi daerah ter­­sebut perlu segera dibenahi pe­­merintah. Pembenahan per­­lu dilakukan sebab ke­siap­an, ke­mam­puan, dan ka­p­asitas dae­rah be­lum maksimal dan ma­sih me­nyiratkan ke­lemahan. Se­jum­lah kelemahan itu mela­hir­­kan ruang-ruang ko­rup dan ekses-ek­ses yang merugikan. Hal ini setidaknya terlihat dari ba­­nyaknya kepala daerah yang jus­­tru masuk penjara akibat pe­ri­­laku melanggar hukum.

Pelaksanaan otonomi dae­rah perlu dimaksimalkan dan di­­awasi secara holistik agar bis­­a mem­berikan manfaat ba­gi dae­rah. Harus ada penataan ulang ter­hadap berbagai re­gu­la­si pe­lak­sanaan otonomi dae­rah mu­lai dari undang-undang sam­pai pa­da tataran per­atur­an me­nt­e­ri.

Melalui penataan re­gulasi, pe­merintah harus mem­bentuk dan membangun tata kelola pe­me­rintahan yang baik, efektif, efi­sien, bersih, berwibawa, taat pa­da hukum, dan melayani ma­sya­rakat di dae­rah.  Hal ini tentu se­jalan dan senada dengan s­e­ma­ngat reformasi birokrasi.

Selain pengawasan dan re­gu­la­si, pembangunan mental di dae­r­ah juga perlu dilakukan gu­na memaksimalkan pelak­sa­na­an otonomi daerah. Tidak luput ju­ga pelaksanaan pemilihan ke­pa­la daerah yang bersih dan j­u­jur agar bisa menghasilkan para elite birokrat daerah yang dapat meng­implementasikan nilai, prin­sip, dan tujuan otonomi dae­rah sesungguhnya.

Pelaksanaan pilkada se­ren­tak yang telah dimulai secara ber­ta­hap sejak 2015 mem­be­ri­kan sebuah harapan akan ada­nya pembenahan dalam pelak­sa­na­an pemilihan daerah. Na­mun, meski berjalan relatif lan­car, pilkada serentak juga tidak lu­put dari cela dan per­ma­sa­lah­an. Beberapa permasalahan da­lam pilkada serentak penting un­tuk menjadi catatan dan ba­han evaluasi bagi pelaksanaan pil­kada serentak tahun ini.

Profesionalitas manajemen pil­kada yang mencakup m­a­sa­lah pemutakhiran data pemilih, pen­calonan, dan distribusi lo­gis­tik menjadi pekerjaan rumah yang harus dibenahi dan dis­e­le­sai­kan. Data tidak akurat selalu men­jadi permasalahan yang ke­rap berulang dan berujung pada kon­flik. Selain itu, integritas dan kemandirian penyeleng­ga­ra pilkada harus benar-benar di­ja­ga untuk mewujudkan pil­ka­da yang berkualitas.

Persoalan kerangka hukum pil­kada juga harus menjadi per­ha­tian serius dan segera di­se­le­sai­kan. Pemerintah perlu meng­­antisipasi dan membuat rambu-rambu hukum untuk men­cegah potensi terjadinya kon­flik horizontal sebagai aki­bat dari pilkada serentak. Ke­rang­ka hukum yang baik akan mem­berikan kepastian dalam pe­nyelenggaraan pilkada yang aman, adil, dan demokratis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar