Nasionalisasi
Tubuh
dan
Kosmopolitanisasi Pendidikan
Ardhie Raditya ;
Dosen Pendidikan Kritis dan Kajian
Budaya di Sosiologi Unesa; Penulis buku Sosiologi Tubuh
|
JAWA
POS, 23
Januari 2017
HASIL
reportase Jawa Pos mengenai fenomena pijat plus-plus perkotaan beberapa waktu
lalu sungguh mengejutkan. Bukan karena tukang pijatnya kaum perempuan
sekaligus bisa dipakai dalam transaksi seksual. Lebih dari itu, kaum
perempuan yang menyediakan pijat plus-plus itu didominasi perempuan dari
negara luar. Asal mereka pun beragam. Ada yang dari Tiongkok, Vietnam, dan
Rusia. Karena dianggap ’’produk impor’’, tarifnya pun tergolong mahal (Jawa
Pos, 21/1).
Perdagangan
tubuh manusia di atas boleh dibilang tergolong baru di Indonesia. Sebelumnya,
kasus perdagangan manusia, tampaknya, masih berkutat pada skala nasional
saja. Hasil analisis IOM (International Organization for Migration)
menunjukkan bahwa Indonesia menempati peringkat pertama dalam perdagangan
manusia. Beberapa tahun terakhir ini telah tercatat sekitar 7.193 korban
perdagangan manusia. Para korban didominasi kalangan perempuan. Yakni,
anak-anak di bawah umur (950 orang), remaja (165 orang), hingga dewasa (4.888
orang). Dari jumlah itu, 82 persen merupakan perempuan korban eksploitasi
tenaga kerja, baik yang bekerja di dalam maupun di luar negeri.
Lebih
tragis, menurut Unicef, setiap tahun diperkirakan ada 100.000 anak dan
perempuan yang diperdagangkan di Indonesia. Sekitar 30 persen perempuan yang
terjebak dalam praktik prostitusi di Indonesia di bawah umur 18 tahun. Tak
heran, Winterberger (1997) mengatakan, kendala terbesar negara berkembang
adalah kualitas pendidikan yang memicu praktik eksploitasi penubuhan generasi
bangsanya.
Selama
ini, sebagian besar orang menganggap bahwa tubuh tak berarti apa-apa, selain
organ fisik manusia. Hal ini semakin diteguhkan melalui nyanyian berjudul Dua
Mata Saya. Secara kasatmata, lagu tersebut mengajarkan kepada anak-anak
tentang bagian organ alamiah manusia. Hal itu tampak jelas dalam penggalan
liriknya ’’Dua kuping saya, yang kiri dan kanan. Satu mulut saya, tidak
berhenti makan’’.
Masalahnya,
apa yang disebut tubuh bukanlah badan dalam arti fisik dan fungsi alamiahnya.
Sebab, secara logika, penubuhan (thelogic of embodiment) tubuh manusia
merupakan entitas yang multidimensi, sehingga tubuh kita amat rentan menjadi
sumber ketegangan dari berbagai kekuatan ekonomi, politik, gender, bahasa,
dan budaya di baliknya. Contohnya kaki kita. Fungsi alamiah kaki adalah
melangkah atau berjalan. Namun, di zaman modern ini, ia berubah sebagai
komoditas alas kaki global melalui tayangan iklan. Bahkan, dongeng Cinderella
mengisahkan pentingnya kaki perempuan bagi sarana transformasi kelas sosial,
dari babu menjadi ratu dalam semalam.
Diakui
atau tidak, bangsa ini dijajah bangsa asing sekian lamanya melalui struktur
sosial penubuhan. Di antara mayoritas etnis di Indonesia, manusia Madura
boleh dibilang kelompok etnis yang paling dicitrakan negatif dalam sejarah
sosialnya. Berbagai riset sejarah yang ditulis sebagian besar ilmuwan Belanda
menunjukkan bahwa laki-laki Madura terkesan menyeramkan dilihat dari
penampilan tubuhnya. Sementara itu, perempuan lokal Madura sering kali
dikonotasikan dengan simbol seksualitas tubuhnya (semisal, jamuan rapet
Madura).
Padahal,
cara berpikir seperti itu menandakan berjalannya praktik rasial yang diterima
tanpa sikap kritis. Tumpulnya sikap kritis tersebut juga menimpa kalangan
kelas atas seperti artis. Tesis Aquarini (2003) menegaskan bahwa artis Indo
juga terjebak pada ideologi penubuhan global. Ketika mereka menjadi model
iklan sabun mandi dari luar negeri, berarti tubuh orang Indonesia perlu
dibersihkan secara masal. Tujuannya, rakyat Indonesia terintegrasi dengan
tuntutan peradaban tubuh global yang terawat, putih, murni, dan universal.
Di
tengah ancaman dunia global ini, tubuh kita, tubuh manusia Indonesia, sangat
perlu ’’dinasionalisasikan’’. Tubuh adalah sumber kedaulatan dan kepemilikan
berharga bangsa kita. Pada kondisi inilah, kosmopolitanisasi pendidikan
sangat dibutuhkan. Kosmopolitanisasi berbeda dengan globalisasi. Menurut Beck
(1998), globalisasi berorientasi universalisasi, sedangkan kosmopolitanisasi
berorientasi multidimensi. Meskipun globalisasi merupakan keniscayaan,
karakter bangsa kita yang multietnis, budaya, bahasa, agama, ekologi,
geografis, dan historisitasnya harus dijaga, dirawat, dan dipertahankan
keberadaannya.
Kosmopolitanisasi
pendidikan itu dapat berjalan bila ilmu eksakta dan sosial-humaniora bisa
diposisikan secara adil dalam kurikulum pembelajarannya. Hancurkan stigma
bahwa orang eksakta lebih unggul atau pintar atas orang sosial-humaniora.
Begitu juga berikan porsi yang seimbang antara penelitian berbasis teknologi
tepat guna dan kajian budaya, sosiologis, agama, seni, antropologis, gender,
filosofis, dan kajian ilmu sosial lainnya. Semua ini harus bermuara pada
eksplorasi keunikan lokalitas bangsa kita. Tanpa itu semua, bangsa kita akan
terus dijajah bangsa asing dengan beragam taktiknya. Mungkinkah terwujud?
Tanyalah pada hatimu, kawan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar