Minggu, 30 Juni 2019

Minggu 30 Juni 2019, 14:30 WIB

"People Power" yang Sesungguhnya

Mumu Aloha - detikNews


Jakarta - Seorang lelaki remaja belia berwajah ala Korea mendekat ke kamera. Dalam video yang kemudian viral itu, kita menyaksikan sang bocah bicara dalam bahasa Jawa. "Ketoke aku arep mulai saiki." Sebuah pesan agar penonton bersiap-siap, karena dia akan segera memulai aksinya. Lalu, terdengar suara gamelan, dan sang bocah pun menari.

Ia menari di tengah jalan raya yang lapang tanpa kostum layaknya seorang penari tradisional pada umumnya. Dengan kaos oblong warna pink, celana jeans hitam, topi Nike, dan sepatu Adidas ia tampak sangat lincah dan riang, bergerak ke sana ke mari seolah sedang menggelar sebuah pertunjukan di atas panggung. 

Lalu, kamera menyorot sekelilingnya dan kita pun tahu, bocah itu ternyata menari di Jalan Malioboro Yogyakarta, di depan deretan toko-toko yang ramai. Orang-orang yang melintas dan berlalu lalang pun kemudian mengerumuni sang penari cilik itu, memotret, merekam dengan kamera HP. Terlihat wajah-wajah kagum, yang di antaranya kita menangkap sosok Sri Sultan Hamengku Buwono X di antara para penonton. Makin lama kerumunan semakin ramai.                                           Beberapa lelaki muda bertas ransel di punggungnya satu per satu melompat ke tengah "panggung", bergabung dengan bocah tadi, dan ikut menari. Seorang perempuan berjilbab menyeruak kerumunan penonton, dan kemudian juga ikut menari bersama mereka. Perempuan lain yang semula hanya duduk menonton, setelah beberapa saat mempelajari dan menirukan gerakan tangan para penari, akhirnya tak tahan juga, bangkit, meletakkan tasnya dan bergabung. 

Para penari semakin meluas sampai ke emperen toko. Agak jauh di belakang kerumunan penonton, di atas sebuah bangku di trotoar, seorang perempuan berjilbab juga tak mau tinggal diam, ikut menari. Ketika kamera menyorot dari kejauhan, tampak sebuah gedung tua menjadi background bagi pertunjukan di jalanan itu. Gamelan makin bertalu-talu. Langit yang sebelumnya cerah kini tampak mulai meremang. Matahari hampir tenggelam, dan mereka menuntaskan tariannya dalam puncak irama gamelan yang rancak. 

Banyak orang mengaku "merinding" menyaksikan video flash mob "beksan wanaran" (tarian kera) yang viral di media sosial itu. Bagi yang sudah menontonnya bisa merasakan, seperti ada daya magis yang membangkitkan jiwa, memicu perasaan haru, dan menumbuhkan semacam gairah. Seperti tampak pada video itu, di mana orang-orang yang semula hanya lewat atau diam menonton, kemudian tergerak untuk ikut bergabung menari. 

Hadirnya sebuah pertunjukan di tengah kota yang sibuk seolah menjadi kekuatan yang menggerakkan daya hidup bagi warganya. Warga kota yang sehari-hari menjalani rutinitas kerja, baik di sektor formal sebagai pegawai kantoran maupun sektor-sektor informal seperti berjualan, seolah menemukan oase, tempat untuk sejenak melepas lelah dan dahaga dari berbagai ketegangan, kebosanan, dan perasaan-perasaan lain yang menekan, membuat kemrusung, dan pada akhirnya menimbulkan rasa "asing" pada dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya --merasa sepi dan hampa.

Flash mob tari seperti yang terjadi di tengah keriuhan pusat industri wisata di Yogyakarta itu hanyalah satu contoh dari bangkitnya kesadaran masyarakat untuk merebut kembali "kewarganegaraan" sebagai bagian dari penghuni kota dan negara, yang selama ini barangkali semakin terasa sumpek, terdesak, dan terpinggirkan dalam kehidupan sosial dan hiruk-pikuk politik nasional.

Flash mob "beksan wanaran" itu sendiri merupakan bagian dari acara untuk menyemarakkan uji coba pedestrian Malioboro, digagas oleh Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro (menantu Sri Sultan), dilakukan oleh para penari Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Kridhamardawa Keraton Yogyakarta dan melibatkan para penari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, sekaligus dalam rangka menyambut hajatan tahunan Catur Sagatra yang akan digelar pada 13 Juli nanti di Pagelaran Keraton Yogyakarta. 

Pada puncak acara tersebut, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat akan mementaskan wayang wong dengan lakon Subali Lena, yang terbuka untuk umum dan gratis tanpa tiket masuk. Persembahan dengan semangat yang kurang lebih sama juga digelar di Solo sejak beberapa tahun belakangan ini, yakni pentas Opera Ramayana selama tiga malam berturut-turut setelah hari Lebaran, untuk menyambut para pemudik yang tengah berlibur bersama keluarga di kampung halaman. Pertunjukan gratis tanpa tiket masuk ini digelar di situs peninggalan kolonial Benteng Vastenberg, melibatkan 150 penari, dan mampu menyedot hingga 5000-an penonton.

Tanpa adanya "kekuatan yang menggerakkan" tadi, rasanya tidak mudah mengumpulkan orang sebanyak itu, walaupun lewat pertunjukan gratis, apalagi yang ditampilkan adalah kesenian tradisional yang selama ini dicitrakan telah ditinggalkan terutama oleh anak-anak muda. Namun, Yogyakarta dan Solo membuktikan bahwa menciptakan ruang-ruang bagi munculnya kembali semangat "kewarganegaraan" itu bukanlah sesuatu yang mustahil, jika dilakukan dengan upaya yang sungguh-sungguh. 

Baru berlalu seminggu yang lalu, di kawasan Blok M, tepatnya di sebuah area yang biasa disebut "Little Tokyo", di labirin-labirin gang di antara Pasaraya dan Blok M Square, di antara restoran-restoran Jepang, ada gelaran Ennichisai, Festival Budaya Jepang, yang juga sudah menjadi agenda tahunan di Jakarta belakangan ini. Acara tersebut selalu mampu menyedot pengunjung hingga ribuan, membuat seluruh area Blok M menjadi penuh sesak lautan manusia, nyaris tanpa bisa membuat orang bergerak. 

Sebagian dari pengunjung datang dari luar kota, menginap di hotel-hotel di sekitar lokasi acara, untuk secara khusus menyaksikan dan terlibat di tengah-tengah keramaian yang pada dasarnya "hanya" berupa deretan stan makanan dan minuman Jepang, yang kini sebenarnya tidak sulit juga untuk dijumpai di berbagai mall. Sebagian dari mereka berdandan dengan kostum tokoh-tokoh anime Jepang, berlalu lalang dan memenuhi setiap sudut hingga ke radius yang agak jauh, membuat suasana benar-benar berbeda dari hari-hari biasa. 

Sekali lagi, apa yang menggerakkan mereka? Barangkali, inilah "people power" yang sesungguhnya. Semangat untuk menegaskan dan menghadirkan kembali kewarganegaraan, tanpa dikotak-kotakkan dalam berbagai perbedaan dari kelas sosial hingga pilihan politik. Sesuatu yang dalam kondisi "normal" sebenarnya wajar dan biasa-biasa saja, tapi dalam situasi hari-hari ini, di mana orang begitu mudah membenci dan bertengkar sekadar karena perbedaan calon presiden yang didukung.

Flash mob tari di Malioboro, Opera Ramayana dalam rangka libur Lebaran di Solo, hingga Festival Budaya Jepang Ennichisai di Blok M memperlihatkan bahwa kewarganegaraan seolah hadir kembali, minta diperhatikan, dan dilihat lagi dengan cara yang berbeda. Untuk kemudian, mungkin perlu dilakukan usaha-usaha memaknainya ulang dengan cara yang lebih "santai". Tidak (harus) dengan demonstrasi memprotes hasil pemilu yang dituduh curang. Tidak pula dengan gontok-gontokan, perdebatan tiada ujung mengenai hak-hak dan kesetaraan perempuan dan LGBT, hingga pro-kontra penerapan hukum syariah dalam peraturan pemerintah daerah. 

Melainkan, dengan menari bersama-sama di tengah jalan, mengenakan kaos oblong, celana jeans, topi, dan sneaker trendi. Larut dalam haru-biru gugurnya Kumbakarna sambil menimbang kembali pembakaran Dewi Sinta untuk membuktikan kesuciannya setelah ditolak Rama pasca-penculikan oleh Rahwana. Atau, berdandan menjadi tokoh superhero Jepang idolamu, sambil makan ramen superpedas sampai bibirmu terbakar, sampai perutmu bergejolak oleh rasa nikmat.

Mumu Aloha ; Wartawan, penulis, editor ***
Minggu 30 Juni 2019, 12:00 WIB

Kolom

"Flash Mob" Tari di Malioboro dan Penyegaran Seni Tradisi

Aris Setiawan - detikNews

Jakarta -
Video flash mob "Beksan Wanara" yang ditampilkan di area Jalan Malioboro, Yogyakarta (18/6/19) menarik perhatian masyarakat luas. Video tersebut menjadi perbincangan hangat dan sempat viral di media sosial. Semua penari adalah anak-anak muda. Tarian yang sejatinya menjadi tontonan biasa saja saat di panggung-panggung pertunjukan itu begitu istimewa saat disajikan di tengah jalan, di hadapan masyarakat yang berlalu-lalang untuk berbelanja dan berwisata di area Malioboro.

Peristiwa itu menjadi kabar yang menggembirakan bahwa apresiasi masyarakat terhadap kesenian tradisi masih cukup tinggi. Tetapi hal itu juga menyisakan catatan penting lain bahwa sudah selayaknya (kesenian) tradisi dapat menembus batas-batasnya, tidak lagi kaku dan beku semata di atas panggung, namun dapat hadir di mana pun secara mengejutkan, mendadak, dan berefek menciptakan kesan mendalam. Dengan gaya yang demikian, pandangan kita terhadap apa itu "tontonan" menjadi menarik untuk dikoreksi.
Tontonan

Lono Simatupang (2013) menggambarkan, dalam keseharian, setiap kita mungkin pernah tidak sengaja berhenti di tengah jalan untuk melihat kecelakaan lalu lintas, pencopet yang tertangkap, tawuran, atau demonstrasi. Lalu kita mendengar ungkapan "Sudah! Sudah! Ini bukan tontonan!". Atau, "Bubar, memangnya ini pertunjukan!". Dan sebagainya. Maksud perkataan itu menyiratkan adanya pemisahan antara yang benar-benar tontonan dan yang bisa dianggap (seolah-olah) tontonan.Lalu kapan sebuah peristiwa menjadi benar-benar tontonan? Ternyata, suatu aktivitas baru disebut sebagai tontonan apabila dilakukan dengan kesengajaan maksud untuk dilihat oleh orang lain, dipertontonkan atau digelar. Jadi, kehendak untuk mempergelarkan sesuatu merupakan "syarat pertama" sebuah tontonan. Namun, kenapa sebagian orang tetap (seringkali tidak sengaja) menonton hal-hal yang oleh pelakunya tidak dimaksudkan sebagai tontonan?

Ternyata, karena peristiwa-peristiwa itu menyajikan sesuatu yang tidak biasa (extraordinary). Berdasarkan itu, maka "syarat kedua" adalah ketidakbiasaan sebagai daya tarik tontonan. Gabungan keduanya menghasilkan "syarat ketiga", yakni adanya peristiwa yang mempertemukan antara maksud penyaji untuk menggelar sesuatu yang tidak biasa dengan harapan penonton untuk mengalami sesuatu yang tidak biasa pula.

Hal itulah yang mencoba dilakukan oleh sekumpulan anak muda saat membuat flash mob Tari Wanara di Jalan Malioboro. Ada kesengajaan dari mereka untuk mempergelarkan tontonan yang tidak biasa bagi masyarakat. Ketidakbiasaan itu antara lain mengubah jalan sebagai panggung. Tidak ada lagi batas pemisah antara siapa penampil dan penonton. Bahkan masyarakat dapat turut terlibat langsung untuk menari dan merasakan sensasi yang hendak digapai.

Lebih penting lagi, tarian itu mendekonstruksi pandangan tentang bagaimana tradisi harus dinikmati. Pelaku tak harus berias (berkostum) selayaknya penari panggung. Mereka justru memakai pakaian keseharian, biasa dan sederhana, alias tidak jauh beda dengan orang kebanyakan yang hadir di Jalan Malioboro. Hal itu menimbulkan efek tak terduga bagi penonton (masyarakat), bahwa di sekeliling mereka bertebaran penari yang tak menunjukkan jatidirinya sebagai penari.

Kostum keseharian itu menghapus jarak atau sekat. Dan masyarakat begitu terkejut saat tarian yang awalnya hanya dibawakan oleh seorang penari, semakin lama tiba-tiba bertambah banyak. Satu per satu penari itu muncul di sela-sela keramaian penonton. Bahkan tidak sedikit penonton yang mencoba untuk ikut menari.

Tontonan yang membosankan di atas panggung menjadi begitu bergairah saat dihadirkan di keramaian jalan. Hal yang demikian seolah melawan gaya pertunjukan tari yang selama ini lebih mengandalkan jumlah penari (kolosal) dalam penyajiannya, dibanding wacana atau gagasan yang ditimbulkan. Saat Banyuwangi menggelar Gandrung Sewu yang diikuti kurang lebih seribuan penari, tiba-tiba di beberapa daerah meniru dan melakukan hal serupa.

Muncullah kemudian Tari Gambyong yang ditarikan oleh 5.000 penari di Solo, Tari Saman yang dibawakan oleh 12.000 penari di Aceh, Tari Poco-poco yang dibawakan 65.000 penari di Jakarta, dan masih banyak lagi. Kalkulasi keberhasilan tontonan itu diukur dari jumlah banyak dan sedikitnya penari, bukan dari efek yang ditimbulkan dari peristiwa itu. Akibatnya, setelah selesai pertunjukan, maka selesai pula isu tentangnya.

Yang didapat adalah penghargaan berupa selembar sertifikat, berisi keberhasilan memecahkan rekor jumlah penari, tidak lebih. Hari ini, gaya yang demikian sudahlah ketinggalan zaman. Bila mengacu dari pandangan Lono Simatupang di atas, tidak ada aspek keterkejutan atau kebaruan selain bertambah dan menyusutnya jumlah penari. Terlebih, tontonan itu sengaja digelar di tempat yang sudah ditentukan sebagai "panggung", batas antara penonton dan penari sangat terlihat jelas.

Sementara flash mob tidaklah demikian. Georniana Gore lewat tulisannya Flash Mob Dance and the Territorialisation of Urban Movement (2010) menjelaskan bahwa flash mob menjadi menarik karena awalnya ditujukan untuk menyampaikan pesan secara unik (kata lain dari aneh). Flash mobdilakukan di area publik atau keramaian, dengan waktu yang terbatas, dan berakhir ketika aparat (polisi atau petugas keamanan) datang untuk membubarkan mereka.

Penyegaran

Flash mob tari hadir di tengah masyarakat urban, tidak sekadar untuk menghibur, namun juga memberi penyegaran di balik rutinitas hidup yang monoton-membosankan. Para pelaku itu "membawa" tari hadir di tengah-tengah aktivitas masyarakat tanpa harus jauh-jauh datang ke panggung pertunjukan. Flash mob kemudian memicu tawa, kebahagiaan, kesan, dan kekaguman mendalam di benak penonton.

Demikian pula flash mob di Jalan Malioboro. Walaupun tidak seketat mengikuti aturan flash mob pada umumnya, namun mampu memberi alternatif gaya baru bagi seni tradisi lain untuk mempertontonkan sesuatu yang biasa menjadi tidak biasa. Ketidakbiasaan itu yang ditunggu. Tentu saja tak harus muluk, apalagi mahal.

Aris Setiawan ;  Etnomusikolog, pengajar di ISI Surakarta ***
The Vessel
 DISWAY, 30 June 2019
Oleh : Dahlan Iskan
Tahun depan saja. Kalau Anda mau ke sini. Ketika lingkungan sekitarnya sudah lebih rapi. Sekarang pun memang sudah bisa dinikmati. Tapi belum sepenuhnya nyaman.
 
Itulah The Vessel.

Karya seni arsitektur terbaru di New York. Saya terpaksa dua kali ke situ. Yang pertama sudah terlalu sore. Rabu lalu. Tiket sudah habis. Kamis pagi saya ke sana lagi. Sambil jalan kaki cepat selama 30 menit. Olahraga. Dari hotel saya di dekat Times Square. Sengaja sambil agak muter.
 
Rabu sore itu sebenarnya saya sudah bisa mendekat ke The Vessel. Tapi tidak bisa masuk. Saya perlu melihatnya dari dalam. Sekalian melihat bedanya: kalau kena sinar pagi bagaimana nuansanya.
 
Tidak terlihat banyak anak kecil diajak ke sini. The Vessel memang bukan hiburan. Dia sebuah karya seni. Pun yang mau membuat klasifikasi bingung. Patungkah ini? Gedungkah ini?

Bukan dua-duanya.
 
Jam 8 pagi saya sudah di situ lagi. Belum ada orang. Yang ada tukang. Memperbaiki sentuhan akhir plazanya. Suara gergaji batu sering membuat hati ngilu.
 
Saya duduk di tamannya: melihat The Vessel dari luar. Sambil merenung: mengapa karya ini indah?
 
Bentuknya sih biasa. Imajinasi saya terbelah: mirip sarang tawon? Atau mirip nanas? Yang terakhir itu karena saya terpengaruh menara kembar di Kuala Lumpur: yang banyak dibilang mirip jagung yang sudah dikupas kulitnya.
 

Saya pikir lagi: yang membuat The Vessel istimewa mungkin pilihan materialnya itu.
 
Seandainya dibuat dari beton rasanya hanya akan mirip gedung parkir bertingkat. Kalau dibuat dari baja hanya akan seperti bangunan yang belum jadi. Kalau dibuat dari kaca hanya akan mirip tenaga surya. Kalau dibuat dari steinless steel justru akan terasa 'kejam'.
 
Tapi lapisan The Vessel ini terbuat dari tembaga mengkilat. Hampir mendekati mengkilatnya kaca. Pantulan yang dihasilkannya pun bisa punya nuansa yang berbeda. Apalagi banyak sudut yang terbentuk. Oleh tuntutan desainnya.
 
Bangunan sekitarnya pun terefleksi di pantulan tembaga mengkilap itu.
 
Demikian juga pantulan pepohonan. Atau pantulan manusia yang berlalu-lalang.
 
 The Vessel ini tingginya 70 meter. Setara dengan gedung 17 tingkat. Biaya pembuatannya —duille— mencapai lebih Rp 2 triliun. Begitu mudah mencari uang segitu di Amerika.
 
Gratis!
 
Pengunjung tidak perlu membayar. Pun untuk masuk ke dalamnya. Juga untuk naik sampai puncaknya. Tapi harus berkarcis. Yang bisa diantre di counter di pinggir plazanya.
 
Begitu masuk The Vessel saya lihat banyak orang bergerombol di tengah lobi. Sambil meletakkan HP di lantai. Di titik tengah. Oh... mereka ingin memotret ujung atas The Vessel. Pakai kamera selfie yg diberi timer.
 
Saya pun ikut saja. Bahkan wajah saya satu-satunya ini saya tongolkan. Agar muncul di lensa. Yang ternyata lebih hitam dari aslinya. Kamera itu melawan cahaya langit.
 
Naik ke puncak karya seni ini bisa lewat tangga mana saja. Ke arah mana saja. Bisa dengan cara memutari bangunan. Bisa juga zig-zag. Tinggal mencari arah tangga yang naik. Jangan kesasar ke tangga yang turun.
 
Tiap trapnya berisi 13 sampai 18 anak tangga. Saya hitung detilnya: trap-trap bawah berisi 13 anak tangga. Kian naik anak tangganya kian banyak: menjadi 14. Menjadi 16. Saat mendekati puncak menjadi 18.
 
Perbedaan anak tangga itu rupanya untuk menjaga skala penglihatan dari bawah. Agar tidak terasa kian sesak. Atau ada kepentingan lain?
 
Saya berhenti di tiap trap. Untuk menarik nafas baru. Untuk memperhatikan pemandangan sekitar. Untuk mengambil foto.
 
Tangganya cukup landai. Tidak seterjal tangga darurat gedung mencakar langit.
 
Saya jadi ingat saat olahraga naik tangga darurat dulu. Di seluruh gedung tinggi milik BUMN di Jakarta. Tanpa berhenti. Tanpa tarik nafas baru. Tidak ada pemandangan di situ. Tidak juga ada yang menarik untuk difoto.
 
Akhirnya saya sampai ke puncak The Vessel. Saya pilih posisi yang menghadap ke dekat muara Sungai Hudson. Yang memisahkan Manhattan dengan New Jersey.
 
Sebenarnya ada pemandangan jelek di pinggir air itu. Yakni parkiran kereta api atau subway. Saya lihat ada 29 rangkaian gerbong diparkir di situ. Tapi tidak terlihat menonjol. Kalah dengan indahnya sungai yang sangat lebar itu.
 
DI's Way berfoto daripuncak The Vessel yang menghadap ke muara Sungai Hudson.
Kawasan The Vessel ini dulunya daerah industri. Banyak bangunan pabrik lama. Sebagian dirobohkan. Dibangun gedung-gedung pencakar langit yang baru.
 
Sebagian lagi sengaja dipertahankan kekunoannya. Hahya direnovasi. Untuk restoran dan cafe.
 
Begitu banyak gedung baru dibangun. Bisa jadi bagian ujung Manhattan ini akan jadi seperti Singapura. Penuh gedung tinggi berkaca. Yang sayangnya desainnya tidak ada yang secantik di Singapura.
 
Saya pun membuka Google. Mencari tahu siapa perancang The Vessel. Mengapa ditaruh di situ. Di depan mal The Shops. Yang toiletnya mendadak penuh.
 
Mayoritas yang turun dari puncak The Vessel perlu fasilitas itu. Sampai ada penguman: untuk menghindari antre panjang pakailah toilet di lantai atasnya. Dan atasnya.
 
Tapi kedai kopi di dekat toilet itu juga menjadi penuh: The Blue Bottle. Yang secangkir harganya Rp 100 ribu. Saya pun mencobanya. Pilih yang oatmeal coffee. Diberi es.

Saya bisa merasakan mahalnya. Meski tidak bisa merasakan nikmatnya. ***

Nasi Merah

Judul di atas datang setelah saya membaca kalimat yang tertulis pada standing banner di depan sebuah rumah makan. Kalimat itu tertulis cukup jelas dan ukuran huruf yang lumayan besar. Begini kalimat itu. Tersedia nasi merah.
Sok mau sehat
Selesai membaca dalam waktu sekian detik, saya berpikir bahwa rumah makan itu menyuguhkan pilihan selain nasi putih yang dianggap tak sehat dibandingkan nasi merah. Waktu saya selesai membaca itu, saya masih belum berpikir macam-macam. Selang beberapa menit setelah melewati rumah makan itu, saya kemudian tertawa.
Rumah makan itu adalah salah satu rumah makan yang telah beberapa kali saya kunjungi. Menunya beraneka rupa. Yang jelas, asin, pedas, bersantan, dan sudah bisa saya pastikan berkolesterol tinggi. Tersedia ayam goreng, ikan, terung, dan sebagainya, dan sebagainya. Enaknya luar biasa.
Membayangkan semua menu itu, saya kemudian jadi bertanya di mana manfaatnya nasi merah yang menjadi pilihan sebagai pengganti nasi putih yang kata beberapa teman saya jauh lebih sehat, kalau padanan untuk makan nasi merah itu adalah sumber kenikmatan yang dapat mendatangkan kepala cenut-cenut, yang mampu menaikkan tekanan darah, yang bisa membuat beberapa manusia, termasuk saya, menegak obat anti-asam urat, antikolesterol, dan anti segalanya?
Apakah dengan menyediakan pilihan itu, rumah makan itu memberi peluang bagi mereka yang awalnya takut makan nasi putih dan tak berkunjung ke rumah makan itu untuk merasa tenang dan mulai berpikir untuk bersantap di tempat itu. Dengan begitu, jumlah tamu yang datang akan lebih banyak sehingga memberi pemasukan yang semakin banyak juga? Sungguh saya tak tahu.
Akan tetapi, dari semua yang saya pikirkan setelah melewati rumah makan itu, saya teringat dengan cara saya hidup. Saya tak berbeda dengan cerita di atas. Nasi merah bisa membuat saya lebih merasa tenang meski nasi itu disantap dengan menu seperti yang saya sebutkan di atas dan mungkin yang telah pernah Anda cicipi juga.
Setiap pagi saya merasa tenang dan sehat setelah mengasup jus buah dan bubur gandum kemudian dilanjutkan dengan berolahraga, meski waktu makan siang tiba, saya menyantap makanan yang mampu membuat saya menegak lagi segala obat berlabel anti ini dan anti itu.
Saya merasa aman dan tenang kalau sudah berjalan kaki di Gelora Bung Karno satu jam setengah lamanya dua kali dalam seminggu, karena saya merasa waktu berkeringat itu menghapuskan dosa-dosa yang saya masukkan ke dalam tubuh, dan kemudian merasa bersih setelah 90 menit.
Emang enggak mau sehat
Dan setelah berolah raga tersebut, setelah saya merasa telah membuang kotoran itu, saya siap menelepon teman-teman untuk pergi bersama menyantap menu makan siang atau malam yang super berlemak setelah membuang keringat itu. Saat saya menyantap, saya merasa berhak menikmati yang tidak sehat itu sebagai upah 90 menit tersiksa menjadi sehat.
Saya merasa tenang kalau sudah berdoa dan sudah ke rumah ibadah. Saya merasa aman karena setiap hari berdoa dan setiap minggu ke gereja. Rasa tenteram itu karena saya sudah melakukan kewajiban spiritual saya, meski setelah itu saya mulai melakukan kejahatan.
Jadi, ketenangan itu saya jadikan modal untuk melakukan ketidakbenaran. Saya merasa tenang menjalankan perselingkuhan, korupsi, membuat onar. Kenapa bisa begitu? Karena saya sudah pergi ke rumah ibadah, karena saya sudah taat berdoa, dan karena saya sudah memohon ampun di rumah ibadah itu.
Persis seperti waktu saya pergi menyantap makanan. Karena saya sudah makan nasi merah, maka jeroan dan segala jenis gorengan dari minyak berwarna hitam pekat yang saya telan, berasa seperti makanan tersehat di dunia dan tak mendatangkan rasa bersalah.
Maka bertanyalah saya kepada diri sendiri. Jadi di manakah manfaat nasi merahmu? Olahragamu? Jus buah dan bubur gandummu? Ibadahmu? Doamu? Apakah semuanya itu hanya sebagai obat penenang yang efeknya sementara saja?
Apakah itu hanya sebagai saranamu untuk dapat menjalankan hal yang tidak baik tanpa merasa bersalah? Apakah itu hanya sebuah tipuan dirimu karena sejatinya kamu itu juga tak berkeinginan untuk menjadi sehat, tak bermaksud menjadi orang yang baik dan melakukan hal yang benar?
Waktu saya melewati rumah makan itu, saya sedang berniat pergi berbelanja buah pepaya sebagai buah kesukaan, yang selain murah, enak, dan memudahkan saya untuk buang hajat setiap pagi bertahun lamanya.
Waktu saya tiba di toko buah itu, dan ketika saya mengambil buah pepaya potongan, nurani saya mulai berkicau. ”Beli pepaya ini beneran mau sehat, apa emang cuma buat gampangin buang kotoran, terus makan seenaknya lagi?”
Saya sudah tak mau mendengar celoteh nurani bawel itu, meski saya tahu saya tak bisa menghindari untuk tidak mendengar. Saya hanya berkonsentrasi mendengar suara mbak di kasir di toko buah itu.
”Pakai kantong plastik apa enggak, Mas?” ***
UDAR RASA

Politik Kebaya

Beberapa waktu lalu, seniman terkenal Butet Kartaredjasa memberi komentar mengenai penampilan anak perempuannya di media sosial begini: Oalaah nduk Galuh Paskamagma, lha kok fotomu mendadak viral ta? Uasuwoook njuk akeh sing mengajukan proposal nglamar kowe je. Dalam candanya terlihat kebanggaan dia sebagai ayah.
Yang ia komentari adalah foto anaknya di Facebook. Sang anak, Galuh, mengenakan busana tradisional Jawa. Berkebaya hitam, rambut dikonde, selendang merah berhias bros berbentuk capung tersampir di pundak, Galuh memang cantik. Giwang putih di telinga sekilas mengingatkan lukisan abadi ”Girl with a Pearl Earring” karya Vermeer. Jangankan sang ayah, saya yang cuma teman pasangan Butet-Ruly ikut bangga.
Menyerupai poster, di sebelah foto terdapat tulisan besar: Gerakan Nasional Kembali ke Busana Identitas Bangsa Nusantara. Tekad semacam itu cukup meluap sekarang. Sahabat saya di Yogya, Delia Murwihartini, menjadi ketua Perkumpulan Perempuan Bersanggul dan Berbusana Nusantara ”Kamala Nusantara”. Astari, Duta Besar Indonesia di Bulgaria, selalu tampil chic dengan kebayanya. Tentunya masih banyak lagi—atau mudah-mudahan demikian—mereka yang mencintai busana ibu negeri.
Di luar bias estetik saya yang terus terang memang cenderung memilih makan siang bersama wanita berkebaya, busana adalah fenomena semiotik. Fungsinya bukan hanya melindungi tubuh berkenaan dengan kondisi alam yang relevan, tetapi juga identitas bernilai simbol. Sama seperti seragam, ia menunjukkan ke mana si pemakai berafiliasi.
Sejak lama makna simbolik busana menjadi medan perebutan ideologi di baliknya. Yang mudah diingat antara lain gerakan pembebasan oleh anak-anak muda pada tahun 60-an yang dikenal dengan sebutan ”Generasi Bunga”. Busana ikat celup (tie dye) yang dikenakan generasi pada masa itu berikut informalitasnya termasuk kelonggaran tak mengenakan beha di kalangan cewek, merupakan cara mereka untuk mengekspresikan sikap terhadap kemapanan.
Gerakan anti-kemapanan masa itu memiliki implikasi yang barangkali tidak kita duga sekarang. Dalam buku World without Mind (Vintage, 2018), Franklin Foer mengungkap kisah anak muda bernama Stewart Brand. Dia melihat bagaimana para hippies membentuk koloni-koloni untuk membebaskan diri dari tatanan sosial dan norma-norma yang berlaku saat itu.
Apa yang dibutuhkan oleh kelompok atau komunitas yang ingin mandiri seperti itu? Informasi tentang peralatan (teknologi) yang memungkinkan mereka memberdayakan diri secara individual. Di situ Brand menerbitkan Whole Earth Catalog, semacam katalog yang memungkinkan pembacanya bisa mengakses peranti yang jadi kebutuhan hidup mandiri.
”Hanya teknologi yang bisa membebaskan manusia,” kata Brand dalam manifestonya seperti dikutip di buku tadi. Waktu itu ia mempelajari gagasan para pemikir pujaannya, dari Buckminster Fuller sampai Marshall McLuhan. Para pahlawan intelektualnya itu rata-rata menekankan pentingnya ”sistem dan jaringan”.
Whole Earth Catalog yang substansinya adalah ”sistem dan jaringan” inilah yang kemudian menjadi teks fundamental dari Silicon Valley. Kita semua tahu, Silicon Valley di pantai barat Amerika adalah pusat IT yang menguasai dunia sekarang. Pembebasan manusia sekarang terjadi bukan karena teologi, melainkan teknologi.
Di situ pula teknologi pembebasan menemukan paradoksnya. Silicon Valley memperoleh inspirasi dari gerakan anti-kemapanan tahun 60-an, kini teknologi yang mereka hasilkan di beberapa tempat justru mengokohkan ide-ide formalisme bahkan radikalisme. No bra tahun 60-an jelas tinggal kenangan, diganti norma baru cara berpakaian yang mengklaim segala kepantasan.
Dalam teater sosial ini kita melihat problematik sekaligus sensitivitas busana. Di beberapa negara Eropa, seperti Italia, terjadi persoalan karena ada busana yang menyulitkan identifikasi pemakainya. Di beberapa tempat lain menimbulkan tekanan sosial pada sebagian kalangan perempuan.
Kebaya, yang setahu saya dalam sejarahnya tidak pernah menimbulkan antagonisme sosial, barangkali memang jawaban yang tepat untuk zaman ini di sini. Putri Butet Kartaredjasa cantik dengan kebayanya. Seandainya saya punya anak lelaki, jelas sudah kuajak Butet besanan. ***
LUKA BANGSA
Oleh : 
Sabtu, 29 Juni 2019 07:00 WIB

Setelah Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa yang memenangi pemilihan presiden adalah pasangan 01, apakah perseteruan dua kubu yang begitu panjang akan berakhir? Perlu waktu. Perlu kearifan pemimpin kedua kubu. Joko Widodo memang sudah mengajak orang melupakan 01 dan 02. Adapun Prabowo Subianto bisa menghormati keputusan MK. Tapi keduanya tidak saling bertegur sapa dalam pernyataannya. Misalnya, yang kalah mengucapkan selamat kepada yang menang, sebagaimana tradisi politik di negara maju.
Masih ada luka. Sepuluh bulan perseteruan kedua kubu bukan waktu yang singkat. Jika dirunut, benih lukanya bahkan ada sejak pemilihan presiden 2014, karena tokoh yang bertarung sama dengan pemilihan presiden 2019. Hanya wakilnya yang berbeda.
Fanatisme pendukung semakin mengental pada tarung ulang. Semakin brutal cara untuk saling menjelekkan lawan. Muncul istilah cebong untuk mencemooh pendukung 01, yang segera dibalas dengan kampret bagi pendukung 02. Yang mengucapkan istilah itu bukan cuma anak tanggung atau pemakai akun anonim di media sosial, melainkan juga sebagian politikus, bahkan kalangan terdidik. Padahal orang tahu, cebong dan kampret merupakan sebangsa hewan, yang menurut ajaran agama apa pun adalah makhluk yang lebih rendah daripada manusia. Kenapa kita saling menghinakan diri?
Luka bangsa itu harus segera dibalut. Ini pekerjaan rumah untuk semua anak bangsa-kata-kata ini sangat digemari oleh Amien Rais, tokoh yang berencana menggelar tahlilan untuk kekalahan Prabowo-Sandi. Pekerjaan rumah juga untuk Jokowi yang akan mengendalikan republik ini lima tahun ke depan. Jokowi tak cukup mengajak melupakan 01 dan 02, tapi harus mengajak pendukungnya untuk memberi teladan bagaimana menerima kekalahan dengan ikhlas, legowo kata orang Jawa.
Menerima kekalahan tidak segampang yang diminta pihak yang menang. Mari kita lihat kasus pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang dimenangi oleh Anies Baswedan, calon yang diusung kubu Prabowo. Pendukung Ahok, yang sama sebangun dengan pendukung Jokowi, tetap meradang bahwa pemilihan itu penuh kecurangan dan tidak beradab. Mereka menuduh rakyat dihantui teror neraka-surga, penuh intimidasi, dan seterusnya. Sampai kini Gubernur Anies menjadi bulan-bulanan ejekan di media sosial oleh pendukung Ahok, apa pun yang dikerjakannya. Langkah Anies memang perlu dikritik, tapi tidak harus semua tindakannya dianggap salah. Lalu apa bedanya ketika kubu 02 menuduh dan yakin pemilihan presiden kali ini juga curang, aparat negara mengintimidasi pemilih, petahana memanfaatkan jabatan, dan seterusnya? Podo wae, kata orang Tegal. Semuanya tidak ada yang sesungguhnya ikhlas jika dalam posisi kalah.
Luka tak akan kering jika hanya dibungkus dengan pembalut tanpa isi, tanpa revolusi mental yang mengubah cara berpikir kita. Tak cukup pula mengajak rekonsiliasi, yang diartikan sebagai "kamu bergabung, saya kasih kursi". Kalau selesai dengan membagikan kursi lalu semua pada duduk menikmati kue, siapa yang mengawasi kesalahan cara duduknya jika tak ada yang berdiri? Semua orang punya tugas dan kewajiban yang bisa berbeda dan itulah yang membuat keseimbangan, ini petuah Krishna kepada Arjuna dalam Bhagawadgita. Jokowi memang harus merangkul lawan politiknya dan mengayomi seluruh rakyat karena dia bukan presiden kubu-kubuan lagi. Namun dia harus tetap memberi posisi terhormat kepada lawannya untuk mendapat kritik agar dia tidak seenak udelnya bertingkah.
Lukamu adalah lukaku, luka bangsa yang harus kita obati bersama. ***

Sabtu, 29 Juni 2019

Demokrasi Butuh Oposisi



Rio Christiawan ;
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya


MAHKAMAH Kons­ti­tusi (MK) telah men­jatuhkan pu­tus­an pada gu­gat­an perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pemilihan Pre­siden (Pilpres) 2019. Dalam pu­tusan tersebut MK menguat­kan keputusan Komisi Pe­mi­lihan Umum (KPU) terkait re­ka­pitulasi hasil pemilihan umum. Berdasarkan Putusan MK ter­sebut artinya KPU secara res­mi dapat menetapkan petahana Joko Widodo untuk menjadi presiden untuk periode kedua (2019-2024).Secara konstitusional ber­sa­maan dengan Putusan MK tersebut maka sudah tidak ada lagi upaya hukum yang dapat dilakukan. Hal ini artinya kon­testasi secara konstitusional sudah berakhir, apresiasi patut diberikan kepada Mahkamah Agung (MA) yang tidak me­ne­rima gugatan permohonan seng­keta pelanggaran ad­mi­nistratif pemilu presiden dan wa­kil presiden 2019 yang di­ajukan oleh BPN Prabowo-Sandi. Ketegasan MA tersebut perlu diapresiasi, sebab jika per­mohonan tersebut diperiksa oleh MA maka selain akan ter­jadi ke kekacauan tata hukum juga tidak akan terwujud ke­pas­tian hukum itu sendiri.

Beberapa partai pengusung Prabowo-Sandi, seperti Partai Amanat Nasional (PAN) me­nya­takan bahwa dengan pu­tu­s­an MK tersebut maka koalisi juga berakhir. Sesungguhnya pernyataan tersebut hanya meng­gambarkan dua hal yakni pertama, koalisi dalam konteks pe­menangan kontestasi po­li­tik, dan kedua, dapat dimaknai sebagai upaya untuk berganti haluan politik (baca: berpindah koalisi).

Tidak dapat dipungkiri pas­cakemenangan petahana di­ku­kuhkan MK daya tarik koalisi pe­merintah akan meningkat. Se­cara pragmatis jika ber­ga­bung dengan koalisi peme­rin­tah dimaknai sebagai “ken­da­raan” untuk mendapat jatah kekuasaan maka pasca putusan MK koalisi pemerintah akan “gemuk” karena mengako­mo­da­si kepentingan baru pas­ca­pu­tusan MK. JR Tillersen (2016), menyatakan bahwa dalam de­mo­krasi yang sehat tetap harus terdiri dari dua koalisi yang kuat yakni koalisi pemerintahan dan koalisi oposisi.

Dalam konteks demokrasi, peran koalisi oposisi sangat di­perlukan mengingat demokrasi memerlukan fungsi check and balances yang pada esensinya justru melindungi kepentingan rakyat itu sendiri. Jika koalisi pemerintah dan koalisi oposisi sama kuatnya maka yang paling diuntungkan adalah rakyat itu sendiri. Koalisi pemerintahan yang terlalu “gemuk” justru akan mengurangi kualitas dari demokrasi di samping dalam perspektif politik praktis akan mengurangi kelincahan pe­me­rin­tah karena perlu meng­ako­mo­dasi banyak kepentingan.

Memaknai Kekuasaan

Memang pada hakikatnya politik merupakan ke­pen­ti­ngan, tapi politik dalam arti luas sebagaimana diuraikan oleh Nawiasky (1964), merupakan upaya menggunakan kekuatan un­tuk mewujudkan kemak­mur­an masyarakat. Kini kon­disinya jika pascakontestasi banyak parpol berduyun-du­yun masuk dalam koalisi pe­me­rintah maka se­sung­guhnya hal tersebut sema­kin meng­gam­bar­kan secara em­piris bahwa po­­litik masih di­mak­nai sebagai sa­­rana untuk se­ka­dar mem­per­oleh kekuasaan.

Jika koalisi pe­me­rintah ter­lalu ge­muk maka sesung­guh­nya rakyat akan di­ru­gi­kan karena turunnya kua­litas demokrasi. Me­ngapa demikian? Jawa­ban­nya ada­lah karena pemerintah tidak dapat optimal mela­yani kepentingan rakyat karena ke­lindan kepen­ti­ngan politik praktis dari koalisi yang terlalu gemuk.

Para elite politik ha­rus mem­bu­dayakan eti­ka ber­po­litik yang se­hat se­ba­gai pembe­la­jar­an bagi masya­ra­kat dalam ber­de­mokrasi. Pe­ma­­ha­man etika po­litik da­lam hal ini ada­lah te­guh pada pi­lihan politik di­ban­ding me­ma­n­jakan nafsu me­ngejar ke­kua­sa­an. Seba­gai­ma­na contohnya partai oposisi yang semula kon­frontatif pas­caberakhirnya kon­testasi ke­mudian merapat pada koalisi pe­merintah yang dinya­takan memenangi kontestasi.

Artinya selama ini koalisi hanya dipergunakan untuk me­menangi kontestasi saja. Oleh sebab itu makna koalisi harus di-reorientasi menjadi dua kekuatan yang mampu me­wu­judkan check and balances dalam demokrasi. Paradigma ab­so­lu­tely power tend to corrupt meng­gambarkan bahwa dalam ne­ga­ra demokrasi perlu oposisi yang kuat, seperti misalnya di AS antara pemerintah dan oposisi sama kuatnya sehingga ter­wu­jud check and balances yang melindungi kepentingan rakyat itu sendiri.

Memang dalam konteks po­litik praktis, posisi oposisi saat ini tidak strategis seperti kon­disi oposisi pada 2014. Kala itu oposisi merupakan mayoritas di DPR RI, berbeda dengan saat ini, partai koalisi pe­merintah merupakan ma­yo­ritas di par­lemen dengan me­ngu­a­sai lebih dari 60% kursi. Ar­tinya, jika demokrasi hanya dimaknai sebatas sharing power maka peran oposisi saat ini ti­daklah menarik, sebaliknya jika de­mokrasi dimaknai untuk me­wujudkan cita-cita rakyat maka oposisi mutlak diperlukan. Ideal­nya antara pemerintah dan opo­sisi memang harus memiliki ke­kuatan yang sama sehingga da­pat terwujud check and balances secara sempurna.

Rekonsiliasi

Banyak pihak me­nyerukan agar se­­lepas Putusan MK perlu dila­ku­kan rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo. Memang benar, bahwa saat ini harus dilakukan rekonsiliasi un­tuk mengem­balikan ma­sya­ra­kat dari ke­terbelahan akibat kon­flik yang timbul dari kon­tes­ta­si Pilpres 2019. Lebih lanjut me­ngacu pada pemahaman re­kon­siliasi sebagaimana diurai­kan Hun­tington (1995), yakni upa­ya memulihkan hubungan pada ke­adaan semula.
Benar bahwa rekonsiliasi dua tokoh tersebut dimak­sud­kan untuk mengakhiri konflik yang membelah masyarakat, tetapi lebih lanjut rekonsiliasi harus sampai pada titik pe­mu­lihan hubungan awal yakni pe­merintah dan oposisi, meng­ingat selama ini situasi hu­bu­ngan tersebut telah rancu ka­rena kontestasi politik. Dalam rekonsiliasi tersebut harus ditegaskan dukungan oposisi terhadap pemerintah, dan se­baliknya dukungan pemerintah terhadap oposisi.

Dukungan oposisi dapat di­mak­nai sebagai bentuk par­ti­si­pasi oposisi pada jalannya pe­me­rintahan melalui fungsi pengawasan sehingga dapat ter­capai fungsi check and ba­lan­ces yang menjadi esensi dari de­mokrasi itu sendiri. Sementara dukungan pemerintah ter­ha­dap oposisi ditegaskan dengan meletakkan oposisi sejajar de­ngan pemerintah sebagai mitra untuk mewujudkan kemak­mur­an rakyat.

Rekonsiliasi nasional harus me­nekankan bahwa bangsa In­donesia selain me­merlukan pe­me­rintah yang kuat dan sehat juga me­mer­lukan oposisi yang baik. Dengan demikian reko­n­si­liasi akan bermuara pada ke­pe­n­tingan bangsa untuk meng­ak­hiri kontestasi dan kembali pada hubungan awal yang se­hat, yakni pemerintah dan opo­sisi.

Inti yang diharapkan dari pertemuan rekonsiliasi ter­se­but adalah Prabowo dan Jokowi saling menyatakan bahwa kon­testasi telah berakhir dan saling menegaskan dukungan serta menyatakan kepada publik secara teduh tentang peran ma­sing-masing. Dalam hal ini juga perlu ditegaskan pada ma­sya­rakat terkait relasi pemerintah dan oposisi bah­wa pada ha­ki­katnya me­ru­pakan relasi yang bersifat saling membutuhkan dan mu­tu­a­lisme.

Hubungan pemerintah dan oposisi pada negara demokrasi pada hakikatnya bukan saling me­lemahkan. Sebaliknya kua­li­tas pemerintahan yang baik akan lahir dengan adanya oposisi yang kuat, sebaliknya oposisi yang kuat akan teruji oleh pemerintahan yang baik demikian hakikatnya check and balances dalam demokrasi yang sehat. ***

Konsep Indo-Pasifik ASEAN dan Kepemimpinan Indonesia




BEBERAPA waktu lalu kepala negara dan pe­merintahan se­pu­luh negara ASEAN menyepakati dokumen bertajuk ASEAN Outlook on Indo-Pacific. Dokumen ini me­muat garis kebijakan ASEAN mengenai ruang lingkup, tu­juan, prinsip, area kerja sama, dan mekanisme kerja sama In­do-Pasifik.

Melalui dokumen ini ASEAN melihat Indo-Pasifik sebagai se­buah kawasan yang terintegrasi dan terkoneksi, megedepankan dialog dan kerja sama, me­ni­tik­beratkan pembangunan untuk kesejahteraan, serta men­ja­di­kan aspek maritim sebagai ele­men tata kawasan. ASEAN juga menegaskan arti penting ASEAN centrality dan penghormatan terhadap prinsip-prinsip yang selama ini menjadi landasan ker­ja sama organisasi regional ter­sebut.

Dokumen ini memuat ruang lingkup kerja sama Indo-Pasifik yang mencakup kerja sama maritim, konektivitas, upaya mewujudkan Tujuan Pem­ba­ngunan Berkelanjutan 2030, serta kerja sama di bidang eko­nomi. ASEAN juga siap bekerja sama dengan mekanisme re­gional lain di kawasan Asia-Pa­sifik dan Samudera Hindia da­lam kerangka kerja sama Indo-Pasifik.

Arti Penting

ASEAN Outlook on Indo-Pa­sific memiliki arti strategis. Per­tama, ASEAN untuk pertama ka­linya menyepakati garis ke­bijakan tentang Indo-Pasifik. Do­kumen ini disepakati setelah melewati proses negosiasi yang cukup panjang. Lamanya pro­ses negosiasi mengindikasikan adanya perbedaan kebijakan dan kepentingan di antara ne­gara-negara ASEAN.

Selain itu, sebagai sebuah kon­sep geostrategis baru defi­ni­si Indo-Pasifik juga terus ber­kem­bang, khususnya terkait de­ngan pemaknaan oleh ne­ga­ra-ne­gara besar di luar ASEAN. Per­kem­bangan ini pada gili­ra­n­nya juga berpengaruh terhadap pan­da­ngan negara-negara di ka­was­an terhadap konsep Indo-Pasifik.

Kedua, dokumen ini menjadi panduan yang komprehensif bagi negara-negara ASEAN–baik secara kolektif maupun in­di­vidual–dalam menjalankan ke­bi­jakan yang berkaitan de­ngan Indo-Pasifik. Melalui do­kumen ini negara-negara ASEAN juga menguatkan komitmen ter­ha­dap ASEAN centrality dalam kon­teks geostrategis Indo-Pasifik.

Sentralitas ASEAN tidak semata-mata didasarkan pada posisi geografis kawasan Asia Tenggara yang berada tepat di tengah Indo-Pasifik. Lebih dari itu, ASEAN harus diakui me­ru­pakan organisasi regional pa­ling solid di kawasan. Me­ka­nis­me kerja sama dalam organisasi sudah terbentuk dan berjalan dengan baik, beberapa di an­ta­ranya melibatkan negara-neg­­a­ra di luar kawasan. Artinya, ASEAN memiliki dasar yang kuat untuk menjadikan me­ka­nis­me yang sudah ada sebagai platform kerja sama Indo-Pasifik.

Kepemimpinan Indonesia

Arti penting ketiga ber­kait­an dengan keberhasilan di­plo­masi Indonesia. Konsep Indo-Pasifik muncul untuk me­nye­but negara dan wilayah di se­kitar Samudera Hindia dan Sa­mudera Pasifik sebagai sebuah kesatuan. Konsep ini mulai digunakan sejak 2010 sebagai perluasan dari konsep Asia-Pasifik yang secara tradisional hanya memasukkan negara dan kawasan di seputar Samudera Pasifik. Dengan demikianIndo-Pasifik dapat disebut sebagai konsep geopolitik yang meng­ga­bungkan kawasan Asia-Pa­si­fik dengan kawasan di seputar Sa­mudera Hindia sebagai se­buah kesatuan.

Sebagai konsep yang relatif baru dan memiliki cakupan geo­grafis yang luas dan isu yang be­ra­gam, terdapat perbedaan pan­dangan tentang bentuk dan karakteristik interaksi an­tar­ne­gara dalam konteks Indo-Pa­si­fik. AS dan sejumlah ne­gara lain mengedepankan Indo-Pasifik sebagai kawasan yang bebas dan terbuka (free and open).

Sementara Indonesia ber­pan­dangan bahwa Indo-Pasifik tidak boleh dimaknai hanya da­lam konteks bebas dan terbuka. Indonesia sejak awal ber­pan­da­ngan bahwa Indo-Pasifik juga harus memiliki karakteristik lain yaitu inklusif, transparan, dan komprehensif; menda­tang­kan manfaat bagi kepentingan jangka panjang seluruh negara di kawasan; dan didasarkan pada komitmen bersama untuk me­wujudkan perdamaian, sta­bi­litas, dan kemakmuran ber­sa­ma. Selain itu, Indonesia juga mengusung gagasan mengenai kesatuan pandangan di antara ne­gara-negara ASEAN menge­na­i kerja sama Indo-Pasifik ser­ta memperjuangkan peran sen­tral ASEAN dalam kerja sama tersebut.

Disepakatinya ASEAN Out­look on Indo-Pasific menjadi bukti keberhasilan diplomasi Indonesia di ASEAN sekaligus arti penting kepemimpinan In­do­nesia di organisasi regional ini. Indonesia berhasil meya­kin­kan negara-negara tetang­ga­nya di kawasan bahwa ASEAN yang harus menjalankan leading role dalam menentukan arah dan masa depan kerja sama Indo-Pasifik. Jika tidak, keuntungan terbesar justru akan dinikmati oleh segelintir negara di luar ASEAN. Selain itu tanpa sen­tra­li­tas ASEAN kerja sama Indo-Pasifik bisa saja menegasikan tatanan dan mekanisme re­gional yang sudah dibangun oleh ASEAN.

Tantangan ke depan

Menanggapi pandangan skep­tis beberapa pihak ter­ha­dap ASEAN Outlook on Indo-Pasific, kita harus mencatat bah­wa dokumen ini adalah do­ku­men politik yang merupakan ha­sil negosiasi. Dokumen poli­tik tentu saja lebih menekankan as­pek kebijakan sebagai pan­duan dan tidak banyak memuat hal-hal yang sifatnya teknis.
Sebagai hasil negosiasi, do­ku­men ini juga telah melewati pro­ses tawar-menawar pan­jang de­ngan memerhatikan ke­pen­ti­ngan seluruh negara ASEAN. Pihak-pihak yang ber­ne­gosiasi juga saling memberi konsesi un­tuk mencapai titik temu.

Oleh karenanya tidak tepat jika kita mengharapkan sebuah dokumen yang komprehensif layaknya panduan kebijakan nasional sebuah negara. Pada tingkatan nasional, pe­me­rin­tah suatu negara dapat me­nge­luar­kan kebijakan yang sifatnya independen dan terfokus pada kepentingan nasionalnya. Se­ba­liknya kebijakan pada ting­kat­an regional disusun sebagai hasil kompromi banyak pihak dengan mempertimbangkan kepentingan bersama secara kolektif.

Bagi ASEAN, disepakatinya dokumen ini bukanlah tujuan akhir. Tantangan ke depan ada­lah bagaimana meng­im­ple­men­tasikan dokumen tersebut ke level teknis, termasuk me­ya­kinkan negara-negara besar di luar ASEAN bahwa sentralitas ASEAN merupakan pilihan ter­baik yang menguntungkan se­mua pihak.

Tantangan yang tidak kalah besar juga dihadapi Indonesia. Setelah berhasil mewujudkan posisi bersama ASEAN, In­do­nesia harus melanjutkan kerja keras dalam tahapan im­ple­men­tasi. Untuk mencapai hasil op­timal, sinergi dengan negara-negara ASEAN lain mutlak diperlukan. Di level domestik, sinergi antara Kementerian Luar Negeri dan pemangku ke­pentingan lain juga memegang peran penting.

Perubahan tatanan global membuat dua kekuatan ter­be­sar dunia berada di kawasan In­do-Pasifik. Jika di masa lalu Indo­nesia “mendayung di an­ta­ra dua karang” sendirian, se­ka­rang saat­nya Indonesia men­g­ajak negara-negara ASEAN berlabuh di bahtera yang sama. Dengan demikian manfaat kerja sama Indo-Pasifik dapat dinikmati bersama dan dampak negatif yang mungkin timbul juga dapat diantisipasi bersama. ***

Kabinet Rekonsiliatif, Mungkinkah?


loading...
Adi Prayitno ; Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia



DISKURSUS tentang kabinet rekon­silia­tif terus meng­ge­linding liar bak bola salju (snow ball) seiring fragmen­tasi politik yang kian ekstrem. Ide ini dinilai brilian dan mendapat sambutan positif dari berbagai kalangan. Ter­utama untuk me­redakan tensi politik di berbagai level ke­hidupan sosial. Terlampau ba­nyak amunisi yang dihabiskan bangsa ini sekadar meladeni se­rangkaian isu tak produktif yang membuat langkah kita seakan berjalan mundur.

Susahnya upaya rekon­siliasi pascapemilihan presiden (pil­pres) menjadi penegas betapa bekas luka tanding ulang dua jagoan begitu pedih. Padahal, tanda-tanda alam untuk re­kon­siliasi cukup terang ben­derang. Setidaknya ditandai de­ngan sejumlah peristiwa po­litik mutakhir. Misalnya, ulama dan pengusaha yang semula ter­belah, kini mulai islah. Meski belum berhasil, upaya mediasi Jokowi dan Prabowo terus dila­ku­kan hingga saat ini.

Harus diakui, pilpres kali ini memang begitu menyayat hati kebangsaan kita. Saling tuding soal pemimpin kafir anti­ulama, prokomunis, kelompok radikal ekstrem, hingga klaim paling Islam, menjejali ruang publik. Padahal, baluran politik Jokowi dan Prabowo sangat dominan warna nasionalis ke­timbang Islam. Jika pun Islam, pasti abang­an serupa nukilan antro­plog politik Clifford Geertz dalam tradisi “agama Jawa” karena keduanya tak memiliki corak Islam kental seperti santri.

Kita harus punya keren­dah­an hati mengakui bahwa frag­mentasi politik terjadi akibat saling menegasi yang berlebih­an. Kubu Jokowi kerap di­aso­sia­si­kan kelompok pelindung aseng dan asing, didukung partai setan, dan seterusnya. Bahkan Jokowi tiada henti dituding ke­turunan PKI. Sementara kubu Prabowo ditengarai meng­a­komodasi kelompok radikal ekstrem, wahabi, serta anti-NKRI dan Pancasila.

Padahal, pilpres medium pertarungan ide tentang masa depan Indonesia. Namun yang terjadi malah tawuran opini berbasis isu abad kegelapan. Isunya tak beranjak. Melulu soal agama dan berebut klaim paling benar (claim of truth). Efeknya, pilpres lebih kentara perten­tangan antarfaksi agama ter­tentu ketimbang kon­frontasi antarideologi parpol.

Ikhtiar politik sudah kita lakukan. Semua tahapan, proses, hingga sengketa hasil pemilu sudah ditempuh melalui Mah­kamah Konstitusi (MK). Apa pun hasilnya harus diterima se­bagai keniscayaan demo­krasi. Babak baru kehidupan demo­krasi kita meski segera dimulai. Yakni, rekonsiliasi nasional se­bagai upaya menyatukan ele­men bangsa yang terserak akibat friksi politik yang cukup tajam.

Di antara sekian banyak menu opsi rekonsiliasi, usulan membentuk kabinet rekon­siliatif paling banyak diperd­e­batkan di kalangan publik, yakni satu komposisi kabinet yang mengakomodasi parpol pen­du­kung Prabowo menjadi bagian kekuasaan politik Jokowi yang menjadi pemenang pilpres. Per­tanya­an kemudian, apakah mungkin kabinet rekon­siliatif bisa di­wujudkan?

Sharing Power

Banyak pihak menengarai pembagian kekuasaan (sharing power) menjadi solusi akhir dari kebuntuan rekonsiliasi antara Jokowi dan Prabowo. Karena hakikat politik hanya kepen­ting­an abadi bukan teman apa­lagi musuh abadi. Diktum feno­menal Harold Laswell sangat relevan dalam konteks mena­rasi­kan feno­mena ini. Politik itu soal siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana cara mendapat­kan­nya (politics is who gets what, when, dan how). Sekali lagi, po­litik menyangkut fleksi­bilitas yang tak bisa diukur de­ngan frasa hitam putih.

Jika kita percaya bahwa po­litik soal bagaimana men­dapat ke­kuasaan, maka upaya mem­bagi kekuasaan ke Prabowo adalah cara paling rasional meredam gejolak. Kekuasaan menjadi alat barter paling sahih rekonsiliasi. Bukan yang lain. Posisi strategis di kabinet, pimpinan DPR dan MPR, serta posisi lain di kemen­terian “basah” menjadi instru­men yang bisa meluluhkan dua iman politik dua kubu yang saling bertentangan.

Di samping itu, sistem presidensialisme multipartai ekstrem yang kita anut turut mendukung kemungkinan rekonsiliasi berbasis sharing power. Pilpres pascareformasi menyuguhkan satu fenomena tak lazim. Yakni, tipisnya sekat antara oposisi dengan peme­rin­tah. Politik hanya ramai je­lang pencoblosan, namun saat pembentukan kabinet pihak yang kalah segera melakukan persuasi politik untuk menjadi bagian kelompok pemenang.

Potret pilpres 2004 hingga 2014 menarasikan secara te­lan­jang mayoritas parpol yang semula berseberangan me­milih jalan “damai” menjadi bagian pe­nguasa. Sepanjang dua periode SBY hanya PDI Perjuangan yang konsisten menahbiskan diri sebagai oposisi. Selebihnya me­rapat dan bermanuver dari da­lam. Serupa periode awal Jokowi, Golkar, PAN, dan PPP, yang semula mendukung Prabowo lompat pagar dan hanya me­nyisakan Gerindra dan PKS yang menjadi oposan. Sementara Demokrat lebih memilih non­blok menjadi penyeimbang.

Pilpres kali ini cenderung mengulang peristiwa serupa. Parpol yang sejak awal kon­frontatif cenderung merapat ke Jokowi. Gelagat awal sudah dipertontonkan PAN dan Demokrat yang terlihat mesra dengan Jokowi. Belakangan Gerindra mulai digosipkan bakal merapat dengan tawaran menggiurkan yang susah di­tolak parpol besutan Prabowo itu. Sepertinya hanya PKS yang memilih setia di jalan sunyi menjadi oposisi sendirian.
Sekali lagi, jika kita percaya diktum politik bahwa hanya kepentingan yang abadi, maka bukan mustahil jika Gerindra, PAN, dan Demokrat, akhirnya berjamaah pindah haluan me­rapat ke Jokowi. Beginilah cara demokrasi itu bekerja. Menye­bal­kan memang. Problemnya adalah apa mungkin Gerindra begitu mudah dirayu dengan kekuasaan? Bukankah men­jaga marwah partai lebih pen­ting bagi Gerindra ketimbang sharing power itu? Lalu, bagai­mana pene­rimaan parpol koalisi yang sejak awal “berkeringat” memenang­kan Jokowi? Waktu yang akan menjawab semuanya.

Merawat Indonesia Kita

Di luar politik elektoral, merawat Indonesia jauh lebih penting ketimbang urusan lainnya. Menegakkan tatanan demokrasi juga terhormat. Karenanya, politik kita sejak awal harus diarahkan untuk membangun Indonesia utuh kembali tanpa sekat primor­dial­isme politik sempit.

Cukup sudah kita saling mem­benci, membongkar ma­kam keluarga, dan suami-istri bercerai efek kerasnya per­beda­an pilihan politik. Sejati­nya, po­litik kita adalah politik per­kawan­a­n. Jokowi dan Prabowo memiliki basis historis kuat dalam pilkada Jakarta 2012. Kisah sukses duet Jokowi dan Ahok tak terlepas dari racik­an dingin Prabowo dan Mega­wati saat itu.

Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah berpesan, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan. Sebagai anak bangsa, tentu politik kita harus diupayakan untuk politik kemanusiaan yang melampaui sekat agama, etnis, dan suku. Rasa hormat terhadap sesama anak bangsa tanpa meman­dang perbedaan politik apapun seyogianya dikedepankan. Indonesia kita adalah politik yang menjunjung tinggi huma­nisme di atas segalanya. Beda dukungan politik bukan alasan memusuhi pihak lain.

Indonesia kita adalah Indo­nesia tanpa permusuhan, tanpa fitnah, dan tanpa kebencian. Sebab, yang menyatukan kita sebagai bangsa adalah nilai kemanusiaan universal yang diterjemahkan melalui bahasa kemerdekaan. Khittah politik inilah yang mesti selalu dirawat dengan baik oleh seluruh anak bangsa. ***