Giatkan
(lagi) Publikasi Karya Ilmiah
Agus Wibowo ;
Direktur Pendidikan SEEB Institute;
Dosen FE Universitas Negeri
Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 06 Februari 2017
PERATURAN
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Permenristek Dikti) Nomor 20
Tahun 2017 tentang Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor
layak diapresiasi secara positif. Berdasarkan peraturan itu, khususnya pasal
4, disebutkan syarat untuk memperoleh tunjangan profesi bagi lektor kepala
harus menghasilkan: (a) paling sedikit 3 (tiga) karya ilmiah yang diterbitkan
dalam jurnal nasional terakreditasi dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun; atau
(b) paling sedikit 1 (satu) karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal
internasional, paten, atau karya seni monumental/desain monumental dalam
kurun waktu 3 (tiga) tahun.
Selanjutnya
dalam pasan tersebut disebutkan bahwa syarat memperoleh tunjangan kehormatan
bagi dosen dengan jabatan akademik profesor (guru besar) harus menghasilkan:
(a) paling sedikit 3 (tiga) karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal
internasional dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun; atau (b) paling sedikit 1
(satu) karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional bereputasi,
paten, atau karya seni monumental/desain monumental dalam waktu 3 (tiga) tahun.
Melalui
Permenristek Dikti Nomor 20 Tahun 2017 tersebut, kuantitas dan kualitas
publikasi ilmiah akademisi kita diharapkan meningkat. Kebijakan Kemristek
Dikti ini tentu bukan tanpa sebab. Itu disebabkan sampai saat ini kuantitas
publikasi ilmiah akademisi Indonesia masih minim sekali.
Berdasarkan
data Kemristek Dikti (2017), jumlah publikasi akademisi kita dari berbagai
jenjang jabatan fungsional dan jenjang peneliti masih sekitar 10.484 dokumen
di 2016. Pada 2019, potensi publikasi ilmiah diharapkan bisa mencapai 25.251
dokumen.
Harus
diakui, produktivitas publikasi pada jurnal ilmiah para akademisi dan ilmuwan
kita masih sangat rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga. Berdasarkan
data yang dirilis Scimagojr.com, dari 1996-2015 untuk kawasan Asia posisi
Indonesia di ke-11 dengan jumlah publikasi ilmiah 39.719 dokumen. Bandingkan
dengan Singapura (7 dengan 215.553 dokumen), Malaysia (8 dengan 181.251
dokumen).
Indonesia
setingkat di atas Filipina (20.326 dokumen).
Bukan ancaman
Hasil
temuan Dedi Purwana (2017) menunjukkan keengganan meneliti dan menulis
menjadi biang penyebab sedikitnya publikasi akademisi dan peneliti kita. Keengganan
itu mengakibatkan hasil-hasil penelitian hanya teronggok di gudang.
Fungsi
diseminasi hasil penelitian tidak berjalan, toh pertanggungjawaban keuangan
sudah dilakukan dalam wujud laporan hasil penelitian. Ingatlah bahwa peneliti
atau ilmuwan memiliki kewajiban moral untuk mengumumkan hasil, temuan,
simpulan, serta implikasi dari hasil penelitian atau telaah pada publik. Bukan
sekadar penghuni rak-rak perpustakaan tanpa dibaca luas oleh publik.
Sejatinya,
Permenristek Dikti Nomor 20 Tahun 2017 bukan momok jika disikapi dengan
bijak. Artinya, kewajiban publikasi ilmiah dalam jurnal nasional terakreditasi
minimal 3 (tiga) buah dalam kurun waktu tiga tahun itu tidak memberatkan. Strateginya,
selain penelitian mandiri, kita bisa membimbing skripsi/tesis/disertasi
mahasiswa yang berkualitas sehingga layak dipublikasikan. Strategi yang sama
juga bisa dilakukan para dosen dengan jabatan guru besar. Pertanyaannya,
mampukah para lektor kepala dan profesor membimbing skripsi mahasiswanya
berkualitas sehingga layak dipublikasikan dalam jurnal nasional terakreditasi
atau jurnal internasional?
Kebijakan
dengan tujuan mendongkrak kuantitas publikasi ilmiah sebenarnya sudah dimulai
Ditjen Dikti pada 2012 melalui surat edaran bernomor 152/E/T/2012 tertanggal
27 Januari 2012. Surat yang ditujukan kepada rektor/ketua/direktur PTN dan
PTS seluruh Indonesia itu memuat tiga poin yang menjadi syarat lulus bagi
mahasiswa program S-1, S-2, dan S-3 untuk memublikasikan karya ilmiahnya.
Syarat
itu: 1) untuk lulus program sarjana (S-1) harus menghasilkan makalah yang
terbit pada jurnal ilmiah; 2) untuk lulus program magister (S-2) harus telah
menghasilkan makalah yang terbit pada jurnal ilmiah nasional, diutamakan yang
terakreditasi Dikti, dan 3) untuk lulus program doktor (S-3) harus telah
menghasilkan makalah yang diterima untuk terbit pada jurnal internasional.
Menurut
Djoko Santoso (2012), ada tiga alasan mengapa kebijakan itu dipandang perlu:
1) diharapkan para sarjana kita memiliki kemampuan menulis secara ilmiah,
termasuk menguasai tata cara penulisan ilmiah yang baik. Entah dari rangkuman
tugas, penelitian kecil, maupun ringkasan dari skripsi yang dibuatnya, 2)
ketika seorang sarjana telah mahir menulis ilmiah, ke depannya diharapkan
tidak akan kesulitan ketika membuat karya ilmiah di jenjang selanjutnya. Dengan
adanya aturan itu, karya ilmiah yang dihasilkan sivitas akademika di
Indonesia diharapkan bisa meningkat baik secara kualitas maupun kuantitas,
dan 3) aturan itu sengaja dibuat untuk mengatasi ketertinggalan Indonesia
dalam hal membuat karya ilmiah.
Komitmen pemerintah
Belajar
dari fenomena sebelumnya, Dikti bisa dibilang setengah hati dalam mengawal
kebijakan. Artinya, regulasi tidak dibarengi dengan pengawasan dan insentif
yang memadai bagi peneliti. Bahkan, terkait dengan akuntabilitas jurnal
ilmiah terkesan 'asal jalan'.
Ketika
surat edaran bernomor 152/E/T/2012 diterbitkan, bermunculan jurnal ilmiah. Ada
pendapat yang berkembang saat itu jurnal ilmiah yang tidak ilmiah juga
menjamur lantaran kebutuhan mendesak.
Keterbatasan
jurnal ilmiah saat itu tidak sebanding dengan tuntutan ribuan mahasiswa yang
sudah akan selesai masa studinya. Demi kelulusan, jurnal ilmiah 'abal-abalan'
muncul dari praktik perselingkuhan lembaga akreditasi dengan universitas atau
perguruan tinggi yang membutuhkan publikasi karya ilmiah
mahasiswa-mahasiswanya. Pada kondisi demikian, yang terjadi bukan budaya
efektif membangun iklim keilmuan, melainkan budaya uang dan perselingkuhan
yang picik plus kerdil. Mestinya, upaya sistematis mengenai aturan proses
penerbitan jurnal ilmiah menjadi penting agar tidak menjamur jurnal abal-abal
itu. Salah satu contohnya ialah proses review jurnal.
Aturan
penerbitan jurnal kelas internasional biasanya mengharuskan proses peer
review atau review oleh beberapa ahli. Proses itu untuk menjaga kualitas dan
kredibilitas sebuah jurnal ilmiah. Biasanya proses itu dilakukan secara
tertutup (blind review, artinya penerbit menyembunyikan identitas penulis
karya ilmiah dalam prosesnya untuk mengedepankan aspek netralitas di kalangan
editor.
Akhirnya,
demi menggiatkan lagi budaya publikasi ilmiah, Permenristek Dikti Nomor 20
Tahun 2017 perlu didukung seluruh akademisi dan peneliti kita. Sudah saatnya
peneliti dan ilmuwan sejati mau berbagi pengetahuan kepada masyarakat luas. Ini
merupakan bagian tanggung jawab moral peneliti dan ilmuwan.
Pemerintah
melalui Kemenristek Dikti pun harus menyediakan insentif menarik bagi para
peneliti dan ilmuwan yang berhasil memublikasikan artikel mereka pada jurnal
internasional bereputasi. Pemberian insentif bagi peneliti yang artikelnya
terbit di jurnal internasional terindeks scopus memang sudah dimulai Lembaga
Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).
Sayangnya,
insentif dari LPDP masih sukar diraih lantaran persyaratan yang diajukan
impact factor (IF) jurnal minimal 0,1-5 dengan jumlah sitasi 1-3 untuk Rp50
juta dan Rp100 juta untuk IF lebih dari 5 dan jumlah sitasi lebih dari 3. Mestinya, demi mengatasi ketertinggalan
produktivitas publikasi ilmiah, insentif ditingkatkan serta dengan
persyaratan yang dipermudah. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar