Rabu, 11 April 2018

Hibriditas Kultural dan Radikalisme

Hibriditas Kultural dan Radikalisme
Zuly Qodir  ;   Sosiolog Universitas Muhammadiyah, Yogyakarta;
Tenaga Ahli UKP Pancasila
                                                         KOMPAS, 11 April 2018



                                                           
Survei nasional Pusat Pengembangan Islam dan Masyarakat UIN Jakarta menemukan bahwa 67,78 persen siswa dan mahasiswa serta 67,08 persen guru dan dosen menolak jika kepala daerah non-Muslim (PPIM, 2017)

Media sosial, pergaulan, dan bacaan sangat penting memengaruhi seseorang dalam perjalanan hidupnya, termasuk perjalanan kehidupan keagamaan seseorang. Inilah yang menciptakan hibriditas seseorang sehingga tak jarang terbelah pemikiran dan sikapnya.

Survei PPIM di atas dapat kita jadikan pijakan untuk membaca fenomena hibriditas identitas dan radikalisme yang tumbuh menjelang 20 tahun reformasi Indonesia. Ada apa sebenarnya pada kaum yang sering disebut sebagai generasi Z yang lahir pasca-2000-an? Mereka inilah yang diperkirakan akan jadi idola bahkan pemimpin masa depan Indonesia 10-20 tahun mendatang.

Nalar hibriditas

Generasi hibrida tak bisa ditolak kehadirannya. Dia akan lahir bersama zamannya. Era sudah menunggunya. Oleh sebab itu, generasi Z tentu akan menjadi bagian dari warga Indonesia yang tengah compang-camping karena pelbagai persoalan radikalisme keagamaan dan ekstremisme sosial lainnya.

Kita akan saksikan bagaimana nalar kaum hibrida bermunculan di tengah masyarakat yang serba gamang ini. Generasi hibrida adalah generasi yang terlahir karena percampuran ruang dan waktu. Lanskap realitas yang dibangun adalah lanskap yang nyaris hiperealitas. Realitas yang nyaris tak mewakili kenyataan kaum ”sepuh”.

Realitas tak beda dengan dunia maya, sinema, dan sinetron yang bermunculan bak musim hujan dengan menawarkan khayalan tingkat tinggi dan nyaris tak berpijak realitas kehidupan. Meski demikian, ia menjadi idola sebagian besar mereka yang terlahir di atas tahun 2000-an.

Selain lanskap realitas yang nyaris tak terbaca dengan baik oleh generasi sepuh, generasi hibrida juga memiliki ruang nalar yang berbeda dengan gambaran klasik. Ruang mereka adalah enklave yang tak terbatas, tanpa batas geografis dan bangsa. Oleh sebab itu, kita akan mengenal istilah kewargaan global, warga negara dunia.

Hal yang juga tak bisa kita lewatkan dari generasi hibrida adalah identitas kultural yang bercampur baur tidak karuan. Dalam bahasa Carrol Kirsteen (2014), dia katakan sebagai cultural hybridity, yang tidak jelas identitas kulturalnya karena tidak tunggal, tetapi bercampur baur dari banyak kultur dalam masyarakat. Hal ini juga oleh Willy Kimclika disebutnya sebagai cultural citizenship, yang akan menandai terjadinya kebudayaan multikultural dalam sebuah negara (masyarakat dunia).

Jika terus berkembang apa yang kita sebut sebagai kebudayaan multikultural, dengan segera kita akan menyaksikan apa yang dinamakan sebagai kultur hibridasi dari generasi Z di Indonesia. Mereka memiliki ciri-ciri berbeda dengan generasi sebelumnya, baik generasi X maupun Y, apalagi generasi sepuh.

Identitas radikalisme

Bagaimana dengan identitas kultural yang terbelah dalam kaitannya dengan radikalisme? Mungkinkah kultur hibrida tersebut akan memengaruhi laju dan menghentikan gerakan radikalisme agama dalam era sosial media ini?

Era sekarang ini adalah era digital. Oleh sebab itu, literasi digital tidak bisa ditinggalkan jika tidak ingin tertinggal dengan generasi Z. Digitalisasi media menjadi kebutuhan bersama yang nyaris tanpa batas.

Bahkan, jika boleh dikatakan saat ini kiblat generasi Z adalah gawai (gadget). Gawai jadi ”Tuhan” baru yang nyaris tidak bisa ditinggalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Identitas radikal dari generasi Z ini lantas berkembang secara membahana ke mana pun arah kehidupan masyarakat bergulir. Dari sana kemudian menjadikan generasi Z sebagai kaum hibrida, memiliki karakter yang senantiasa bimbang-galau, tidak menentu dalam banyak hal.

Kegalauan-kebimbangan adalah kosakata paling populer untuk memberikan deskripsi atas generasi hibrida yang tengah berkembang hebat di masyarakat. Penyebabnya sebenarnya sederhana: media sosial adalah kiblat utamanya. Tokoh agama, guru, orang tua, teman, dan tokoh mereka adalah yang muncul dari media sosial.

Pengaruh gawai lebih kuat daripada tokoh agama konvensional. Orangtua akan ditinggalkan jika tidak menarik sebagaimana di dalam media sosial yang di dapatkan.

Bahkan, teman sejati itu tidak akan pernah ada karena media sosial telah mampu menawarkan siapa sesungguhnya ”teman sejati”, yakni hiburan dan lokasilokasi kesenangan lainnya. Meski demikian, yang paling menarik sekaligus memprihatinkan adalah terjadinya pembelahan karakteristik dalam hal perilaku keagamaan.

Generasi hibrida pada akhirnya tampak dalam dua wajah sekaligus. Sebagai seorang yang beragama ingin tampil sebagai pengikut agama yang saleh-normatif, tetapi sekaligus menjadi generasi zaman now yang tidak ketinggalan zaman, tidak kuno, dan tidak terbatas pada retorika kesalehan. Retorika kesalehan harus diakomodasi sekaligus diperlakukan sebagai mitra dalam kehidupan media sosial dan kenyataan keagamaan.

Pada sisi yang lain, generasi hibrida ini juga menghadirkan perilaku yang kadang sulit diterima dengan nalar sederhana. Dia tidak peduli dengan lingkungan sekitar, terutama yang dianggap tidak memberikan manfaat dalam kehidupannya. Namun, tetap menolak kehadiran orang yang berbeda agama dan paham (-isme) untuk hidup berdampingan, hidup menjadi tetangga, bahkan menjadi pemimpinnya.

Bahkan, bukan hanya menolak paham yang berbeda, melainkan juga kurang memberikan apresiasi atas yang berbeda dalam masyarakat tetapi tetap bersedia menggunakan produk dari mereka yang dituduh berbeda secara pemikiran, aliran, dan agama. Inilah keanehan-keanehan generasi hibrida yang akan jadi penerus generasi sepuh di Indonesia.

Kita tentu berharap pada generasi hibrida tersebut dalam lanskap yang terbuka, inklusif secara kultural, agama, dan pergaulan sosial. Jika hal ini bisa terjadi, kekhawatiran bangkitnya  radikalisme berbasiskan agama di Indonesia akan luntur dengan hadirnya generasi hibrida yang memiliki caranya sendiri menerjemahkan realitas dunia.

Mimpi Indonesia akan terus ada sampai sehari sebelum kiamat pun akan menjadi kenyataan. Indonesia tidak akan bubar tahun 2030. Ancaman bubarnya Indonesia pada tahun 2030 adalah racauan dan kedangkalan pembacaan realitas karena kebencian yang mewakili pikirannya.

Ingat: kita punya banyak generasi Z yang multifaset dalam membaca kenyataan. Inilah harapan Indonesia ke depan!

1 komentar: