Jumat, 05 Januari 2018

SDM dan Ketenagakerjaan 2018

SDM dan Ketenagakerjaan 2018
Razali Ritonga ;  Kepala Pusdiklat BPS;  Alumnus Georgetown University, AS
                                          MEDIA INDONESIA, 30 Desember 2017



                                                           
PRESIDEN Joko Widodo dalam kunjungan kerjanya ke Balai Besar Pengembangan Latihan Kerja (BBPLK) di Bekasi, Rabu (27/12), menyebutkan penerintah mulai 2018 akan melaksanakan pembangunan sumber daya manusia (SDM) secara masif (Media Indonesia, 28/12). Perhatian pemerintah untuk meningkatkan SDM pada 2018 itu memang sangat penting dan mendesak segera diwujudkan, terutama kaitannya dengan kehadiran bonus demografi yang puncaknya diperkirakan pada 2030-an. Dengan kehadiran bonus demografi itu yang ditandai membesarnya jumlah penduduk usia produktif, khususnya penduduk usia muda, kiranya mereka perlu dibekali kualitas SDM yang memadai untuk berusaha dan bekerja.

Diketahui, hingga kini angka pengangguran penduduk usia muda (youth unemployment) terbilang sangat besar mencapai 17,8%. Angka pengangguran usia muda di Thailand hanya sebesar 2,8%, Vietnam 5,5%, Singapura 6,7%, Malaysia 10,3%, dan Filipina 16,3% (UNDP, 2014). Karena itu, dengan kian membengkaknya penduduk usia muda akibat kehadiran bonus demografi, itu dikhawatirkan akan semakin meningkatkan angka pengangguran penduduk usia muda di Tanah Air. Pada gilirannya, meningkatnya penganggur usia muda itu tidak hanya akan menyebabkan potensi ekonomi yang hilang (potential loss), tapi juga akan menjadi beban masyarakat.

Pelatihan kerja

Maka, atas dasar itu, peningkatan SDM mutlak diperlukan, antara lain melalui latihan keterampilan kerja seperti pada BBPLK, Bekasi. Secara faktual, peningkatan SDM melalui latihan kerja itu memang masih sangat diperlukan mengingat hingga kini derajat pendidikan angkatan kerja masih cukup rendah. Tercatat, lebih dari setengah angkatan kerja di Tanah Air berpendidikan SMP ke bawah. Bahkan, pelatihan keterampilan bekerja itu kini dianggap krusial untuk menjembatani kesenjangan akibat persoalan tidak nyambung dan tidak sesuai (link and match) antara pendidikan formal dan pasar kerja.

Celakanya, persoalan link and match itu juga dialami pendidikan sekolah menengah kejuruan (SMK), termanifestasi dari tingginya angka pengangguran berpendidikan SMK. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Agustus 2017 menunjukkan angka pengangguran untuk SMK sebesar 11,4%. Angka itu tertinggi bila dibandingkan dengan angka pengangguran jenjang pendidikan lainnya, SD (2,62%), SMP (5,54%), SMA (8,29%), diploma I/II/III (6,88%), dan universitas (5,18%). Secara faktual, hal itu sekaligus menyiratkan bahwa peningkatan SDM melalui latihan keterampilan kerja tampaknya juga masih diperlukan bagi lulusan SMK.

Dalam konteks ini, penyelenggaraan pelatihan kerja diharapkan dapat disesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja, yang terus mengalami perubahan. Perubahan itu terjadi selain akibat perubahan demografi, menurut Jonas Prising (World Economic Forum, 2016), juga disebabkan perubahan minat pencari kerja, perkembangan teknologi, dan pergeseran kebutuhan usaha dan atau perusahaan. Selain itu, penyelenggaraan pelatihan kerja diharapkan mampu meningkatkan produktivitas calon pekerja kelak ketika mereka bekerja agar memperoleh upah atau pendapatan yang memadai. Hal ini mengingat mayoritas pekerja di Tanah Air masih rendah dan tergolong miskin. Laporan UNDP (2014), misalnya, menyebutkan sekitar 52% penduduk bekerja tergolong pekerja miskin dengan pendapatan di bawah US$2 (berdasarkan purchasing power parity/PPP). Sementara itu, pekerja miskin di Malaysia sebesar 1,9%, Thailand 10,1%, Vietnam 37,3%, dan Filipina 40,9%.

Bahkan, lebih setengahnya (57,2%) pekerja di Tanah Air tergolong pekerja rentan (vulnerable employment), yakni mereka yang tergolong miskin dan mudah jatuh miskin bagi yang tidak miskin. Umumnya, pekerja rentan dikategorikan pada mereka yang bekerja sendiri dan pekerja keluarga yang tidak dibayar (unpaid family workers).

Kewirausahaan

Selain menyesuaikan dengan kebutuhan pasar kerja, penyelenggaraan pelatihan kerja perlu mengakomodasi mereka yang ingin berusaha mandiri atau berwirausaha (entrepreneurship). Jelasnya, penyelenggaraan latihan kerja perlu didesain bukan hanya berorientasi mencari kerja, melainkan juga mempermudah bagi mereka yang ingin berusaha mandiri. Menurut Smith dan Petersen (2006), jiwa kewirausahaan dapat didorong dengan meningkatkan pengetahuan, skill, dan motivasi melalui orientasi usaha baru dan memperkenalkan produk atau jasa baru.

Salah satu aspek yang perlu dicermati untuk membentuk jiwa kewirausahaan ialah meningkatkan pengetahuan tentang potensi unggulan yang dapat dikembangkan menjadi usaha di suatu daerah. Di Ontario, Kanada, misalnya, sebagai daerah maju di dunia, identifikasi pengembangan kegiatan usaha dilakukan dengan pengkajian secara mendalam terhadap empat aspek, yakni potensi ekonomi, kelestarian lingkungan hidup, kesesuaian karakter sosial, dan potensi penggunaan lahan (Building Strong Commitment, Ontario, 2005).

Hal sama juga bisa dilakukan di Tanah Air, antara lain dengan mengobservasi potensi keunggulan suatu daerah atau dengan mencermati data potensi desa (podes). Diketahui, Badan Pusat Statistik dalam rentang tiga tahun sekali melakukan pendataan podes, yakni sosial kependudukan, sektor pertanian, dan kegiatan ekonomi berbasis desa.

Sangat diharapkan, rencana peningkatan SDM pada 2018 berjalan sesuai komitmen pemerintah sehingga dapat memberikan modal bagi penduduk, terutama kaum muda untuk berusaha dan bekerja. Peningkatan SDM itu juga diharapkan dapat mengoptimalkan pemanfaatan pembangunan infrastruktur yang selama ini telah dilaksanakan pemerintahan Presiden Joko Widodo sehingga dapat menjadi roadmap dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi, pemerataan pendapatan, dan penurunan angka kemiskinan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar