Minggu, 04 Maret 2018

Peradaban Kasih Persaudaraan

Peradaban Kasih Persaudaraan
Aloys Budi Purnomo  ;   Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang
                                                        KOMPAS, 03 Maret 2018



                                                           
Din Syamsuddin, utusan khusus Presiden Jokowi untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban mengundang sejumlah tokoh lintasagama se-Indonesia untuk mengadakan Musyawarah Besar Pemuka Agama untuk Kerukunan Bangsa (MBPA-UKB) di Jakarta, 8-11 Februari 2018. Kebetulan, saya diundang sebagai salah satu peserta. Selama 10 tahun terakhir, saya terlibat aktif dan intensif sebagai Ketua Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Keuskupan Agung Semarang dalam membangun peradaban kasih persaudaraan sejati dengan semua orang tanpa diskriminasi di negeri ini.

Panitia merumuskan tema musyawarah dalam satu kalimat “Rukun dan Bersatu, Kita Maju”. Tema ini merupakan harapan yang sangat relevan dan signifikan dalam konteks kehidupan kita saat ini. Kita hanya bisa jadi bangsa yang maju dalam membangun peradaban kasih persaudaraan apabila kita hidup dalam kerukunan dan persatuan.

Inilah tekad kita bersama yang tak bisa ditawar-tawar dalam sikap kompromistik. Tekad itu bahkan sudah diwujudkan oleh para pendiri bangsa ini sebagai bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 bersemangatkan Bhinneka Tunggal Ika. Itulah yang kemudian menjadi pilar-pilar kebangsaan yang sudah final.

Kita sepakat terus menggemakan warisan historis itu sebagai kesadaran bersama di masa depan. Benarlah, kemajemukan Indonesia adalah anugerah Tuhan YME yang harus dipelihara sebagai kekuatan untuk kemajuan bangsa. Benar pula bahwa agama-agama di Indonesia telah berfungsi sebagai perekat kemajemukan dan telah menciptakan derajat kerukunan bangsa yang mulia dan bermartabat sejak dulu kala di seluas Nusantara.

Karenanya, wawasan kemajemukan dan kerukunan berlandaskan agama yang sudah mengkristal dalam falsafah Pancasila dan spirit Bhineka Tunggal Ika, dalam bingkai NKRI harus terus dirawat. Pada giliran berikutnya wawasan dan kesadaran itu akan memperkuat kerukunan dan persatuan bangsa tanpa diskriminasi untuk membangun peradaban kasih persaudaraan.

Dialog yang dialogis

Sendi-sendi bangunan peradaban kasih persaudaraan sebagai anak-anak bangsa Indonesia yang ditopang oleh kerukunan tak boleh diguncang apalagi dirobohkan oleh orientasi intoleransi, eksklusivisme, radikalisme, dan ekstremisme pada segelintir warga bangsa. Friksi yang merusak kerukunan antarumat beragama maupun intra-agama harus dicegah dan diatasi agar tidak mengkhianati warisan para pendiri bangsa ini yang sudah dirumuskan dalam keberagaman.

Salah satu kelemahan yang merusak gerak maju kehidupan bersama yang rukun adalah absennya semangat dialog yang dialogis. Model musyawarah besar yang ditempuh untuk maju dalam kerukunan dan persatuan sangat tepat ditempuh melalui semangat dialog yang dialogis.
Musyawarah itu harus sungguh-sungguh mengedepankan dialog yang dialogis, bukan dialog yang memaksakan kehendak kepada pihak lain yang berbeda. Dalam konteks kebangsaan dan kultur Nusantara, musyawarah  adalah  sarana dan wahana silaturahmi dan dialog dialogis.

Dibutuhkan empat syarat untuk praksis dialog dialogis. Pertama, kedewasaan religius apa pun agamanya, dan kecintaan pada bangsa kita. Itulah yang sering saya sebut sikap 100 persen religius apa pun agama, keyakinan dan kepercayaannya, dan 100 persen nasionalis apa pun suku, budaya dan bahasanya.

Kedua, dialog yang dialogis terjadi, bila peserta musyawarah mengutamakan hati yang mengasihi pihak lain dari hati ke hati, dari jiwa ke jiwa dengan akal sehat dan bukan okol kuat. Musyawarah yang merupakan ekspresi spirit dialog yang dialogis ditandai oleh kesepakatan-kesepakatan berwibawa, bermartabat dan beradab dalam mengambil keputusan solutif terhadap persoalan yang ada.

Ketiga, dialog yang dialogis jauh dari segala bentuk kekerasan baik perkataan maupun tindakan; apalagi pemaksaan kehendak. Yang hendak digapai kemenangan bersama dalam rangka peradaban kasih persaudaraan, bukan kemenangan segelintir orang atau kelompok yang merasa diri paling benar. Dialog dialogis berbuah kebenaran bersama, bukan argumentasi untuk membenarkan pendapat sendiri. Keputusan bermartabat pun diambil demi kebenaran bersama bukan untuk pembenaran kehendak sendiri.

Keempat, proses dialog yang dialogis bisa jadi menyakitkan, namun kedewasaan keberimanan tak boleh menggerus infantilisme keberagamaan. Karenanya, dibutuhkan ketulusan, keterbukaan, keterusterangan dan kerja sama yang mengutamakan manfaat ketimbang mudarat, mencapai mufakat bermartabat ketimbang pemaksaan pendapat.

Dari sana akan mengalirlah peradaban kasih persaudaraan sejati yang mewujud dalam kehidupan masyarakat yang sejahtera, bermartabat dan beriman, apa pun agamanya. Peradaban kasih persaudaraan harus diperjuangkan! Peradaban kasih persaudaraan ditandai tiga hal pokok. Pertama, sikap inklusif terbuka dan merangkul (ngrengkuh). Kedua, kehidupan yang inovatif terbuka terhadap pembaruan yang konstruktif. Ketiga, semangat transformasi inspiratif yakni memiliki daya ubah yang memajukan kehidupan bersama. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar