Zaman
Fitnah Politik
Mohamad Sobary ; Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga
Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN SINDO, 21 Januari
2017
Dilihat
dari sudut ideologi- apapun ideologi yang kita maksudkan negara itu penting.
Supaya lebih jelas harus ditegaskan, kedudukan negara sangat penting. Bisa
ditambahkan: tingkat pentingnya bukan periferal tetapi sangat sangat sentral.
Tidak
main-main, dan sangat mendasar. Beberapa kalangan di dalam masyarakat, terutama
kalangan militer, tentara, berbicara tentang harga mati. Negara ini telah
mengambil bentuk “kesatuan” dan maknanya “kesatuan” itu jangan lagi menjadi
persoalan. Harga mati tak bisa ditawar lagi. Kesatuan ya kesatuan.ih besar daripada posisinya sebagai Presiden pertama
negeri ini, mati-matian selama hidupnya mengusahakan terciptanya “kesatuan”
tadi. Bung Karno kemudian “mengabdi” pada “kesatuan”. Maksudnya kesatuan
bangsa. Hidupnya untuk “kesatuan” itu. Dan kemudian disebut Bapak Pemersatu
Bangsa. Sikap ini menjadi sejenis keputusan politik.
Dan
kalangan Tentara Nasional Indonesia, TNI, membela dan mewujudkannya. Cara
pembelaannya menjadi doktrin ketentaraan: siap mati membela negara. Siap
mati. Apa yang kurang dilihat dari sudut loyalitas? Apa yang kurang dalam
membela makna loyalitas itu? Mati menjadi bayaran, atau taruhan.
Apa
yang kurang dilihat dari segi keluhuran yang bersifat patriotik? Kurang cinta
pada negara dalam segi apa lagi? Kelompok lain, atau individu lain, yang tak
punya organisasi seperti tentara, juga punya cinta. Kita tahu di sini
maksudnya cinta pada negara tadi. Cinta mereka serius. Seserius cinta tentara
yang paling tegas menetapkan harga mati tadi.
Para
pucuk pimpinan tentara, yang berdinas di dunia ketentaraan maupun yang
mengabdi di wilayah pengabdian sipil, niscaya paham sepaham-pahamnya bahwa
makna “kesatuan” yang kita “sucikan” sebagai harga yang tak tersentuh, tak
boleh ditawar-tawar lagi, diam-diam saat ini dalam situasi tak mengenakkan.
Bahkan,
boleh dibilang sangat tak mengenakkan dan karena itu barang kali bisa disebut
dalam ancaman. Ada kelompok di dalam masyarakat yang berpegang pada ideologi
baru, yang menggoyah- goyah harga mati itu. Ideologi mereka merongrong
ideologi kita bersama. Kekuatan baru itu pelan-pelan hadir di tengah kita dan
mau mengusir kita.
Padahal,
kita ini Tuan Rumah yang bermartabat. Tuan Rumah mau diusir? Ini fitnah dan
ancaman nyata yang berbahaya. Kalau kita berbicara lebih jauh tentang
ideologi, jelas akan terlalu panjang. Gagasan itu tak bisa ditampung di sini.
Cukup buat sementara dikatakan-dan kita semua tahu-bahwa ada ideologi yang
meremehkan kesatuan tersebut.
Artinya,
ideologi itu meremehkan negara karena dasar dan pandangan hidup kenegaraan
kita, Pancasila, hanya buatan manusia. Mereka ingin menampilkan “Republik
Tuhan” di muka bumi. Selain watak ideologis yang meremehkan “kesatuan” tadi,
saat ini muncul kekuatan kecilkecil yang gigih melancarkan fitnah pada pihak
lain.
Fitnahnya
bervariasi. Pihak lain disebut PKI. Presiden Jokowi yang mencicipi pertama
kali fitnah itu dalam kampanye pemilihan calon presiden dua tahun lalu. Tapi
beliau bilang “ra popo”. Itu sikap politik pribadi beliau. Tapi, saat ini
fitnah itu gentayangan di media sosial. Ibarat virus, fitnah ini menyebar
luas dan mengapa belum terdengar adanya langkah tegas menghentikannya?
Tak
pernah ada yang bisa menjelaskan bagaimana hubungan antara kekuatan ideologis
keagamaan di atas, dengan fitnah yang memojokkan pihak lain sebagai PKI.
Diperlukan suatu kajian akademik yang mendalam untuk memahami hubungan
kausalitas-jika adaantara keduanya. Jika kita boleh mempercayai “bau”,
niscaya terasa adanya “bau” ideologi keagamaan yang dipakai untuk
“mem-PKI-kan” pihak lain tadi.
Calon
pemimpin nasional di-PKI-kan supaya tak terpilih. Calon gubernur—bisa juga
calon bupati-atau calon-calon lain, diserang dengan kekuatan fitnah ideologis
seperti itu supaya mereka celaka. Fitnah macam itu membuat citra buruk bagi
yang bersangkutan. Kapasitas hebat menjadi tak berguna. Kejujuran yang jelas
dan agung tak diberi makna. Pendeknya, orang hebat tak bisa dipilih karena
fitnah macam itu.
Dunia
intelijen niscaya paham persoalan ini dan bisa melakukan suatu langkah
preventif yang luhur demi menjaga utuhnya “kesatuan” tadi. Apa fitnah ini
mengancam “kesatuan”? Mungkin tidak secara langsung. Kalau semua pihak
disebut PKI, maka hanya yang bukan PKI yang boleh dipilih dan yang bukan PKI
itu siapa yang mereka maksud kalau bukan saudara mereka sendiri yang tak
menyukai Pancasila tadi?
“Kesatuan”
terancam oleh langkah ideologis yang monolitik, yang benar sendiri, dan
memandang yang lain, bagian dari tradisi kenegaraan yang telah berakar
mendalam, dirombak. Hanya mereka yang boleh berkuasa. Di “kesatuan” itu
terletak. “Kesatuan” akan dianggap almarhum. Ini zaman fitnah yang mengancam
dan membikin hidup tak lagi terasa nyaman.
Hidup
didorong oleh niat buruk berkuasa tanpa mau berbagi pada yang lain, tanpa mau
menggunakan konvensi kenegaraan yang sudah mapan. Kelihatannya, konvensi,
yang lalu-lalu, dan telah menjadi suatu tradisi, bukan kekayaan, melainkan
dianggap sampah yang wajib dibuang. Bagi kita, tradisi itu luhur karena di
sana akumulasi pengalaman- baik maupun burukkita terhimpun.
Dari
sana kita belajar memetik pengalaman sebagai guru. Kecuali fitnah, zaman ini
juga diwarnai kebencian yang ditabur di sana sini, Orang bebas membenci orang
lain, satu pihak begitu bebas membenci pihak lain. Kepentingannya politik,
dan politik. Kita tidak tahu siapa di balik ini semua, tetapi diduga keras
adanya pihak yang dengan nikmat menunggangi situasi berwarna kebencian ini.
Memprovokasi
pihak-pihak lain untuk membenci suatu pihak atau seseorang, merupakan
tindakan tak terpuji. Mereka ingin hidup sendiri, dan tak membutuhkan
dukungan pihak lain, tanpa bersatu dengan yang lain? Ini bentuk fitnah yang
lain lagi. Dia memanggul dosa lima perkara: satu, dosa pada orang lain; dua,
dosa pada masyarakat; tiga, dosa pada negara; empat, dosa pada Tuhan Yang
Maha Suci; lima, dosa dirinya sendiri.
Dosa
yang lain bisa diampuni, mungkin. Tapi dosa pada diri sendiri lebih mendalam,
lebih parah dan berbahaya bagi hidupnya. Siapa yang bisa mengampuni dosa pada
diri sendiri? Fitnah dan kebencian tak bisa dibiarkan. Keluhuran budi kita,
secara pribadi, boleh mengabaikannya. Boleh saja yang difitnah tak
menanggapinya.
Tapi,
pejabat negara harus bertindak atas nama dan demi negara. Tindakan harus
diambil demi mengembalikan suasana bersatu, aman dan damai dalam pangkuan
negara yang kesatuannya telah dibikin seolah-olah suci dan tak tersentuh. Ini
harga yang tak boleh ditawar. Zaman fitnah politik macam ini tak boleh
menandai suatu momentum sejarah dalam hidup kita.
Zaman
yang kita perjuangan jelas zaman keemasan, yang membuat negeri ini menjadi
rumah besar yang semua warganya berbahagia, tertib dan damai,
sedamai-damainya: tanpa kebencian, tanpa fitnah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar