Obstruction
of Justice dan Tantangan Penegak Hukum
Hibnu Nugroho ; Guru Besar Fakultas
Hukum Unsoed Purwokerto
|
SUARA
MERDEKA, 13 Januari 2018
BERITA tentang penetapan
tersangka terhadap mantan pengacara Setya Novanto (SN) dan seorang dokter
berkait dengan kasus SN menjadi topik hangat saat ini. Di sisi lain, tudingan
KPK melakukan kriminalisasi terhadap kedua orang tersebut juga dimunculkan
oleh pengacara tersangka.
Tindakan menghalang-halangi
suatu proses hukum yang sedang berjalan merupakan tindakan yang dilarang oleh
undang-undang. Tindakan ini dikenal dengan istilah obstruction of justice
(OoJ). Tindakan tersebut berupa intervensi dengan segala bentuknya.
Sebagai contoh, tidak mau
menjadi saksi, memberikan keterangan palsu, menghilangkan atau menyembunyikan
atau merusak barang bukti, mengintimidasi saksi, penyidik, atau penegak hukum
lainnya, bahkan yang sangat ekstrem mencelakai.
Perkembangan pemikiran
terhadap tindak pidana OoJ sudah saatnya mendapat perhatian yang serius
karena ketentuan tentang hal ini memang ditujukan untuk melindungi
individu-individu yang terlibat dalam proses hukum dan mencegah gugurnya
proses penegakan keadilan.
Ketentuan OoJ berasal dari
literatur Anglo Saxon dan dalam ranah ilmu hukum pidana di Indonesia dikenal
dengan istilah tindak pidana menghalang- halangi proses hukum. Oleh sebab
itu, ketentuan ini diatur di beberapa pasal KUHP, yaitu Pasal 21, Pasal 212,
Pasal 216 sampai Pasal 225, Pasal 231, dan Pasal 233.
Selain di KUHP, terdapat
pula beberapa pasal dalam UU Tindak Pidana Korupsi, Perpu Nomor 1 Tahun 2002
tentang Pemberantasan Terorisme, dan UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Perdagangan Orang.
Menurut Ellen Podgor,
tindak pidana OoJ merupakan tindakan menghalangi proses hukum dan tidak
mensyaratkan bahwa perbuatan tersebut telah secara nyata berakibat proses
hukum terhalang/terhambat. Jadi, cukup disyaratkan adanya maksud niat dari
pelaku untuk menghalang-halangi proses hukum.
Menurut Andrea Kendall dan
Cuff, pasal-pasal OoJ dirancang untuk melindungi individu-individu yang
terlibat dalam proses hukum dan mencegah ”gugurnya” proses penegakan keadilan
melalui tindakan-tindakan menyimpang.
Upaya penegakan hukum
terhadap tindak pidana korupsi merupakan komitmen dari seluruh masyarakat
Indonesia. Semakin gigih upaya penegakan hukum dilakukan, tidak menutup
kemungkinan semakin gencar pula perlawanan yang terjadi.
Namun bila telah terpenuhi
unsurunsur tindak pidana OoJ maka apa pun tindakan yang dilakukan, baik
vulgar maupun malu-malu, tidak lagi penting apabila dapat ditemukan ”niat”
untuk menghalangi-halangi proses penegakan hukum.
Kode
Etik Profesi
Kode etik profesi
merupakan suatu tatanan etika yang disepakati oleh suatu kelompok masyarakat
tertentu. Semua profesi memiliki kode etik masing-masing dan wajib untuk
ditaati oleh anggotanya. Tindakan OoJ dapat dipastikan merupakan hal yang
sangat dilarang dalam kode etik profesi.
Dalam kasus ini muncul
tanggapan bahwa seorang advokat tidak dapat dituntut, baik secara perdata
maupun pidana, sejak yang bersangkutan menerima kuasa sebagaimana diatur
dalam Pasal 16 UU Advokat yang kemudian dikuatkan oleh Putusan MK No
26/PUU-XI/2013.
Apakah putusan MK terhadap
perluasan ketentuan Pasal 16 UU Advokat harus dimaknai bahwa advokat dalam
menjalankan pekerjaannya dapat melakukan semua perbuatan apa saja tanpa
batas? Tentu saja tidak bisa dimaknai demikian karena di dalam putusan MK
tersebut terdapat frasa dengan iktikad baik.
Frasa itu untuk
kepentingan kliennya bukan berati mati-matian melakukan pembelaan dengan
melanggar norma hukum yang ada. Melakukan rekayasa tentu saja menjadi
indikator hal tersebut jauh dari iktikad baik.
Ketentuan yang diatur
dalam undangundang semua profesi tentu dimaksudkan dan diniatkan demi
melindungi harkat dan martabat dari profesi yang diaturnya, sehingga profesi
tersebut tetap terjaga martabat dan kehormatannya, sebagaimana profesi
advokat yang disebutkan sebagai officium nobile.
Tindakan terhadap pelaku
OoJ penting untuk dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Selama
ini penegak hukum masih enggan menerapkan pasal-pasal tersebut karena ada
anggapan penerapan ketentuan tersebut hanya menambah pekerjaan.
Di, samping itu, ada
anggapan kuat, seolah-olah tindakan OoJ harus secara nyata telah terjadi,
padahal cukup dengan adanya niat, karena tindak pidana ini merupakan delik
formil yang unsurnya adalah bersifat sengaja.
Dengan memahami tindakan
pidana OoJ secara tepat diharapkan semua pihak dapat memahami dalam
menjalankan profesi masing-masing pada saat harus bersinggungan dengan hukum.
Sehingga jangan sampai terjadi berlindung di balik kode etik profesi ternyata
yang dilakukan justru melanggar hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar