Rekonsiliasi
Kebangsaan
Farouk Muhammad ;
Wakil Ketua DPD RI
|
KOMPAS, 31 Januari 2017
Sepanjang
tahun 2016 terjadi berbagai peristiwa yang sesungguhnya menguji rasa dan
semangat kebangsaan kita, mulai dari bencana alam hingga bencana sosial. Tepatlah
kiranya jika 2016 menjadi tahun refleksi bencana bagi bangsa Indonesia.
Refleksi ini diharapkan dapat mengokohkan rasa dan semangat kebangsaan kita
di tahun 2017 dan seterusnya sehingga tidak saja mampu menyelesaikan berbagai
masalah internal, tetapi juga menghadapi tantangan dan ancaman eksternal dan
meraih kemajuan bagi Indonesia. Dalam artikel singkat ini, penulis mengulas
faktor-faktor yang memengaruhi tumbuh- kembangnya semangat kebangsaan serta
menekankan pentingnya rekonsiliasi semangat itu melihat berbagai peristiwa
yang terjadi selama 2016 lalu.
Bencana
alam yang datang silih berganti selama 2016 menyebabkan kerugian materi dan
nonmateri yang besar. Sejumlah wilayah bahkan mengalami kerusakan parah
dengan korban jiwa yang cukup besar, antara lain gempa bumi di Aceh dan
banjir bandang di Bima, Nusa Tenggara Barat. Menurut Badan Nasional
Penanggulangan Bencana, tahun 2016 mencatatkan rekor baru jumlah kejadian
bencana—sejak 2002—dengan 2.342 kejadian, meningkat 35 persen dari tahun 2015
(1.732 kejadian). Tentu catatan ini harus mendorong seluruh warga bangsa
untuk mawas diri dan lebih dari itu membutuhkan solidaritas kebangsaan yang
semakin kuat guna membantu saudara-saudara kita yang tertimpa musibah.
Seiring
dengan tingginya bencana alam sepanjang 2016 itu, Indonesia juga menghadapi
bencana sosial yang serius, berupa menguatnya kekhawatiran dan kecemasan
masyarakat atas sejumlah isu (terorisme, narkoba, bangkitnya komunisme,
masifnya tenaga kerja asing) serta terjadinya perbedaan persepsi yang tajam
di masyarakat dalam memaknai kehidupan berbangsa dan bernegara yang
berpotensi memecah belah keutuhan bangsa.
Faktor kebangsaan
Semangat
kebangsaan tidak berada dalam ruang hampa. Ia dipengaruhi banyak faktor:
kondisi ekonomi, sosial, politik, hukum, dan keamanan. Kemampuan negara
(pemerintah) untuk menjaga dan menghadirkan stabilitas atas faktor-faktor itu
memengaruhi tumbuhnya semangat kebangsaan di kalangan rakyat. Sebaliknya,
kondisi ekonomi yang sulit (kemiskinan, pengangguran, disparitas), sosial
politik yang tidak kondusif (otoriter/represif, intoleran, konfliktual),
hukum yang tidak tegas dan berkeadilan, serta keamanan yang rentan
(kecemasan, rasa tidak aman dan tidak nyaman) menjadikan semangat kebangsaan
memudar atau bahkan menjadi ancaman bagi kebangsaan itu sendiri.
Jika
kita evaluasi kondisi ekonomi selama dua tahun ini, memang masih menampakkan
pertumbuhan yang relatif aman, dalam artian di tengahekonomi dunia yang
kurang baik masih bisa menjaga pertumbuhan pada angka 5,02 persen. Meski kita
juga tidak menutup mata bahwa secara kualitas pertumbuhan ekonomi mengalami
penurunan dan masih jauh dari pemenuhan target pertumbuhan 7 persen seperti
dijanjikan Jokowi-Kalla sampai tahun 2019.
Bahkan,
jika kita telisik kualitas pertumbuhannya, kita akan mendapati realitas yang
tidak terlalu menggembirakan. Angka kemiskinan dan pengangguran justru
bertambah. Sementara rasio gini juga tidak banyak berubah (tetap tinggi).
Berdasarkan dataBadan Pusat Statistik (BPS) pada awal Februari 2016, jumlah
orang miskin naik dari 27,73 juta jiwa (10,96 persen jumlah penduduk) pada
September 2014 menjadi 28,51 juta (11,13 persen) pada September 2015.
Padahal,
Nawacita Presiden Jokowi yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 menargetkan angka kemiskinan sebesar 9-10
persen, tetapi pencapaian angka kemiskinan masih lebih besar dari yang
ditargetkan. Realisasi angka kemiskinan hingga Maret 2016 sudah menurun
menjadi 10,86 persen (28,01 juta jiwa) dibandingkan dengan angka kemiskinan
pada 2014 dan 2015, tetapi jumlah penduduk miskinnya (28,01 juta jiwa) masih
lebih besar daripada jumlah penduduk miskin tahun 2014 (27,73 juta jiwa).
Pada
periode yang sama, angka rasio gini gabungan antara perkotaan dan pedesaan sedikit
menurun dari 0,414 menjadi 0,402. Angka tersebut masih tinggi karena masih
berada di atas 0,40. Angka ini menggambarkan tingkat ketimpangan yang cukup
parah antara penduduk kaya dan penduduk miskin.Selaras dengan data BPS
tersebut, Bank Dunia tahun 2015 melansir laporan berjudul ”Indonesia’s Rising
Divide” yang memaparkan ketimpangan kesejahteraan di Indonesia semakin
melebar dan bergerak cepat.
Dari
segi kekayaan, 10 persen orang terkaya di Indonesia menguasai sekitar 77
persen kekayaan di negeri ini. Lebih kontras lagi, 1 persen orang terkaya
tersebut menguasai 50,3 persen kekayaan bangsa ini. Sisa kekayaan yang 50
persen lagi diperebutkan oleh 99 persen penduduk alias 247,5 juta jiwa. Angka
ini menjadi dilema tersendiri, sudah bisa dipastikan angka 1 persen orang
terkaya di Indonesia tidak ada yang mewakili kepentingan masyarakat. Bahkan
sebaliknya, angka 99 persen penduduk yang hanya menguasai 50 persen kekayaan
sudah bisa dipastikan dari kalangan masyarakat kebanyakan.
Begitu
pula dengan angka pengangguran, berdasarkan data BPS pada triwulan III tahun
2016, angka pengangguran terbuka masih sekitar 7,02 juta orang (5,5 persen).
Persentase tingkat pengangguran terbuka selama dua tahun terakhir juga masih
belum mencapai target RPJMN. Target tingkat pengangguran terbuka pada RPJMN
2015-2019 sebesar 5,0-5,3 persen. Lebih memprihatinkan lagi, angkatingkat
elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penciptaan lapangan kerja adalah
107.206 tenaga kerja dalam setiap 1 persen pertumbuhan, angka tersebut belum
sebanding pada tahun 2004, di mana setiap 1 persen pertumbuhan mampu menyerap
400.000 tenaga kerja.
Artinya,
kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah selama ini ternyata belum
berdampak terhadap pembukaan lapangan kerja secara masif. Apalagi nanti dengan
adanya kebijakan pelonggaran masuknya tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia,
hal itu akan semakin mempersempit ruang lingkup tenaga kerja lokal.
Sementara
itu, kondisi politik dirasakan masih terfragmentasi pada kepentingan sesaat
ketimbang kepentingan nasional. Elite politik dinilai masih terjebak dalam
kontestasi kepentingan pragmatis/oportunis. Kekuasaan tidak sedikit yang
disalahgunakan untuk kepentingan kelompoknya, bersikap represif dan anti
kritik, sehingga publik semakin jemu dan yang lebih berbahaya kehilangan
panutan/keteladanan pemimpin. Kondisi ini bisa mendorong perilaku masyarakat
yang semaunya sendiri (tidak taat aturan dan acuh tak acuh), entoh para
elite, juga berperilaku semaunya sendiri. Apabila hal ini diikuti oleh kondisi
penegakan hukum yang inkonsisten, politicking, tidak supremasi hukum, tebang
pilih, ”tajam ke atas tumpul ke bawah”, lengkap sudah prasyarat hilangnya
kepercayaan (distrust) kepada elite dan aparat pemerintah.
Pada
lanskap keamanan, ancaman terorisme seolah tak berkesudahan dan menghantui
kehidupan masyarakat. Sudah banyak (tertuduh) pelaku teror yang ditangkap,
tetapi ancaman tak kunjung berhenti sehingga meninggalkan tanya soal
efektivitas pemberantasan terorisme dan upaya deradikalisasi.
Isu
kebangkitan kembali paham/ideologi komunisme merupakan ancaman terhadap
ideologi negara. Ketetapan MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang Pembubaran
Partai Komunis Indonesia (PKI) masih berlaku. Oleh sebab itu, segala hal yang
berbau paham komunis merupakan hal terlarang. Tentu isu ini harus direspons
sigap oleh pemerintah dan aparat penegak hukum dengan mendorong masyarakat
melaporkan indikasi bangkitnya ideologi ini dan menyerahkan pada proses
hukum, bukan dengan main hakim sendiri.
Selanjutnya,
isu masifnya TKA dipersepsi mengancam kemandirian ekonomi, apalagi dihadapkan
pada serapan tenaga kerja dalam negeri yang rendah yang menyebabkan tingginya
pengangguran/kemiskinan. Hal ini perlu respons yang bijak dari pemerintah
karena bisa berdampak pada stabilitas sosial, kecemburuan di masyarakat,
bahkan konflik fisik. Terlebih ditemukan maraknya pelanggaran hukum imigrasi
dalam kasus ini (TKA ilegal). Kebijakan pelonggaran investasi dan arus orang
(bebas visa 169 negara) hendaknya dievaluasi secara komprehensif sehingga meminimalkan
ekses negatif dan kontraproduktif bagi kedaulatan dan kemandirian (ekonomi)
negara.
Kita
semua berharap pemerintah hadir dan menjawab kekhawatiran dan kecemasan atas
berbagai isu di atas dengan data yang akurat dan komunikasi yang tepat kepada
masyarakat sehingga bisa dipahami agar tak makin eskalatif dan
kontraproduktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pun jika isu itu
nyata terjadi agar pemerintah bisa mengambil langkah-langkah tepat dan
terukur sehingga rakyat merasakan kehadiran dan keseriusan negara merespons
ancaman ideologi dan kedaulatan Indonesia.
Jika
pemerintah tidak aware dan tidak sensitif terhadap hal itu, dikhawatirkan
bisa mengarah pada kondisi disorganisasi yang pada gilirannya menyebabkan
krisis sosial politik. Akibatnya, semangat kebangsaan bukan hanya sulit
ditumbuhkan, melainkan juga akan mengalami destruksi yang mengkhawatirkan.
Tidak
boleh dilupakan, ada satu peristiwa besar yang terjadi di pengujung 2016,
yaitu aksi demonstrasi rakyat (khususnya umat Islam) dengan jumlah peserta
yang sangat besar dalam skala aksi yang luas di sejumlah daerah. Saat ini
berkembang satu kondisi kebangsaan yang seolah terbelah (terfragmentasi) dan
disharmoni yang jika dibiarkan terus terjadi tentu kontraproduktif bagi masa
depan kebangsaan kita.
Momentum konsolidasi
Semua
rentetan peristiwa berikut refleksi kondisi kebangsaan itu menguji kita
bersama sebagai warga bangsa, apakah kita mampu melewati ujian itu dan
mengambil pelajaran untuk memperkuat kebangsaan atau kita justru larut dalam
perpecahan, larut dalam sikap pragmatis dan oportunis, lebih mementingkan ego
pribadi/kelompok daripada kepentingan bangsa. Tahun 2017 harus kita songsong
dengan optimisme. Segenap pihak, terutama elite Republik, harus menampakkan
jiwa kepemimpinan dan kenegarawanan.
Pemimpin
harus berdiri di antara seluruh rakyatnya, menjadi pemersatu sekaligus
inspirator bagi semangat kebangsaan. Jangan mempertuankan kepentingan
pragmatis dan oportunis dalam menjalankan kekuasaan yang diamanahkan.
Tunjukkan etika luhur dalam praktik politik ketatanegaraan.
Kita
perlu satu momentum untuk merekonsiliasikan semangat kebangsaan dari seluruh
rakyat dan kita berharap inisiatif tersebut lahir dari para pemimpin, baik
formal maupun informal, di semua level negara. Rekonsiliasi semangat
kebangsaan ini harus dimulai dengan semangat persatuan bukan permusuhan,
semangat penghormatan bukan penistaan, semangat kebinekaan bukan
penyeragaman, semangat tenggang rasa bukan kebencian. Jangan terus
mempertajam pertentangan isu Bhinneka Tunggal Ika, intoleran, dan lain-lain
yang sesungguhnya hanya terbentuk dari kesalahmaknaan yang membuat perbedaan
persepsi.
Jika
kondisi ini terus dibiarkan, proses sosial berikutnya adalah terjadinya
disorganisasi bahkan disintegrasi yang di-”bakar” oleh konflik horizontal.
Sebaliknya, yang perlu dilakukan adalah membangun kebersamaan menghadapi
ancaman eksternal (narkoba, Negara Islam di Irak dan Suriah/NIIS, terorisme,
tenaga kerja asing, komunisme, dan lain-lain). Ingat, kita merdeka dan
bersatu sangat dipicu oleh semangat melawan penjajahan.
Sejalan
dengan itu semua, kita berharap komitmen negara untuk menghadirkan ekonomi
yang berkualitas dalam pemerataan, pengentasan warga dari kemiskinan,
pengangguran, dan disparitas. Negara harus menjamin penegakan hukum yang
berkeadilan, rasa aman dan nyaman, serta kebijakan pemerintah yang obyektif
dan profesional terhadap kepentingan publik sehingga rakyat memiliki
kepercayaan kepada negara, merasa dilindungi dan dilayani, sebaliknya tidak
merasa didiskriminasikan dan/atau dimarjinalkan secara struktural. Hanya
dengan cara itulah rekonsiliasi semangat kebangsaan dapat terwujud dengan
baik. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar