Investasi
Asing di Pulau Kecil
Arif Satria ; Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB
|
KOMPAS, 24 Januari 2017
Isu
”penyewaan” pulau kembali mengemuka setelah ada berita rencana pemanfaatan
pulau di Morotai oleh investor Jepang. Bagaimana kita menyikapi isu tersebut
dan langkah apa yang diperlukan?
Keinginan
pemerintah melibatkan pihak asing untuk mengelola pulau-pulau kecil sempat
memunculkan polemik dan kekhawatiran publik. Kasus pulau di Morotai itu
sendiri satu dari sejumlah kasus pemanfaatan pulau kecil oleh investor asing
yang menarik dicermati.
Secara
faktual kita memang perlu wisatawan mancanegara dan wisata bahari merupakan
sektor yang sangat menjanjikan secara ekonomi, baik untuk ekonomi lokal
berupa penciptaan lapangan kerja maupun secara nasional untuk memperbaiki
kondisi fiskal, baik pajak maupun pendapatan negara bukan pajak (PNBP).
Meski
demikian, ternyata ada juga sejumlah kekhawatiran publik, seperti
kekhawatiran bakal terciptanya enklave (enclaves) akibat investasi asing yang
menjurus pada ”privatisasi” pulau yang menutup akses publik. Hal ini
berakibat pada muculnya pesimisme terhadap peran investasi untuk
kesejahteraan masyarakat lokal. Bagaimana kita menyikapi isu tersebut dan
langkah apa yang diperlukan?
Regulasi
Ada
dua rezim yang bisa digunakan untuk menganalisis pemanfaatan pulau kecil oleh
asing, yaitu rezim perairan dan pertanahan.
Pertama,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 sebagai revisi atas UU Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagai rujukan
utama untuk rezim perairan. UU tersebut tidak mengenal istilah ”penyewaan”.
Yang ada adalah istilah pemanfaatan. Pasal 26 a sebenarnya sudah mengatur
pemanfaatan pulau kecil oleh pihak asing dengan ketentuan mendapat izin dari
menteri dan rekomendasi dari pemda dengan tetap menjaga kepentingan nasional.
Lebih
jauh, pada ayat 4 dijelaskan pula persyaratan izin yang tak ringan: (a)
berbentuk perseroan terbatas, (b) menjamin akses publik, (c) tidak
berpenduduk, (d) belum ada pemanfaatan oleh masyarakat lokal, (e) bekerja
sama dengan peserta Indonesia, (e) melakukan pengalihan saham secara bertahap
kepada peserta Indonesia, (g) melakukan alih teknologi, dan (h) memperhatikan
aspek ekologi, sosial, dan ekonomi pada luasan lahan.
Dengan
demikian, undang-undang ini membolehkan pemanfaatan oleh asing dengan syarat
yang ketat. Hanya saja, turunan dari UU ini memang belum lengkap. Hal ini
karena semua peraturan masih menunggu disahkannya Rancangan Peraturan
Pemerintah (RPP) tentang Izin Lokasi dan Izin Pengelolaan. RPP ini sangat
mendesak karena mengatur seluruh aktivitas di wilayah pesisir. Namun,
peraturan pemerintah (PP) ini juga belum bisa berfungsi di lapangan bila
rencana zonasi di wilayah pesisir belum dibuat oleh pemerintah provinsi.
Jadi,
kuncinya tetap ada pada peran pemerintah provinsi untuk membuat rencana
strategis, rencana zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi sebagaimana
mandat UU. Dengan demikian, agenda penting pemanfaatan pesisir dan pulaupulau
kecil adalah tersusunnya rencana zonasi atau tata ruang wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Khusus untuk pulau terluar sebagai Kawasan Strategis
Nasional Tertentu (KSNT), kewenangan ada pada menteri.
Kedua,
UU Pokok Agraria semestinya masih menjadi rujukan utama dalam pengaturan
rezim pertanahan. Dalam PP Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha (HGU),
Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai, ternyata asing hanya diperbolehkan
memiliki hak pakai (Pasal 39) dan tidak diperbolehkan memiliki hak milik,
HGB, dan HGU.
Itu
pun dibatasi waktu 25 tahun dan bisa diperpanjang hingga 20 tahun. Sementara
itu, pemerintah juga sudah membuat ketentuan bahwa hanya 70 persen wilayah
pulau kecil yang bisa dimanfaatkan, 30 persen lainnya untuk kepentingan
kawasan konservasi.
Keadilan pesisir
Secara
empiris, praktik investasi asing di pulau kecil sudah banyak ditemukan dan
umumnya bergerak di wisata bahari. Persoalan yang muncul adalah saat investor
menguasai pulau, seolah otomatis juga punya hak untuk menguasai perairan.
Padahal, hak pemanfaatan perairan belum diatur lagi pasca tidak berlakunya
hak pengusahaan perairan pesisir (HP-3) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 27
Tahun 2007. Di sinilah konflik dengan nelayan muncul karena adanya klaim
secara sepihak oleh investor terhadap wilayah perairan yang menutup akses
publik.
Bagi
nelayan, ”pengaplingan” inilah yang disebut sebagai coastal grabbing. Banyak
kasus yang menunjukkan bahwa nelayan termarjinalkan akibat tertutupnya akses
publik, baik akses pulau maupun wilayah perairan sekitarnya. Nelayan yang
secara turun-temurun beroperasi di wilayah itu tiba-tiba tercerabut hak-hak
komunalnya. Inilah yang menyebabkan ketidakadilan pesisir. Forsyth (2004)
menyebut isu seperti ini sebagai bentuk tragedy of enclosure, sebuah tragedi
yang terjadi akibat dominasi hak swasta atau Negara terhadap sumber daya yang
menyebabkan marjinalisasi masyarakat akibat krisis akses. Meski demikian,
harus diakui ada juga penguasaan pulau oleh asing yang tak menimbulkan
masalah dengan nelayan.
Selain
itu, pulau-pulau kecil di beberapa tempat juga dijadikan arena sejumlah
praktik kriminal seperti penyelundupan, perdagangan manusia, dan perikanan
ilegal. Inilah yang saat ini sedang dibereskan oleh Menteri Kelautan dan
Perikanan Susi Pudjiastuti.
Belajar
dari kerangka regulasi dan situasi empiris di atas terdapat sejumlah agenda
yang penting. Pertama, diperlukan kelengkapan instrumen hukum untuk
memastikan bahwa pemanfaatan pulau kecil oleh asing tidak mengganggu
kedaulatan, keberlanjutan, dan keadilan. Instrumen turunan UU No 1 Tahun 2014
saat ini sangat ditunggu dan setelah itu sosialisasi ke daerah mesti lebih
intensif. Kelengkapan instrumen hukum ini diharapkan bisa menjamin keadilan
dan kepastian untuk investasi.
Kedua,
perlu penertiban terhadap praktik pemanfaatan pulau kecil yang selama ini
berlangsung yang sebagian diduga melanggar aturan main dan mengganggu
kehidupan masyarakat lokal. Ketiga, diperlukan peta jalan investasi pulau
kecil serta strategi peningkatan peran pengusaha nasional dan pengaturan
untuk investasi asing, termasuk di dalamnya membatasi investasi asing di
pulau terdepan.
Keempat,
program adopsi pulau yang pernah dikembangkan Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) perlu digairahkan lagi dengan mengundang BUMN sehat untuk
turut andil membangun pulau, khususnya pulau terdepan. Hal ini untuk
mengatasi krisis investasi oleh swasta nasional di pulau kecil.
Kelima,
perlu percepatan penyusunan rencana zonasi oleh pemerintah provinsi untuk
perairan 0-12 mil sebagai dasar kebijakan pemanfaatan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil. Dengan rencana zonasi ini, akan makin jelas alokasi ruang
pemanfaatan untuk berbagai aktivitas sehingga konflik pemanfaatan wilayah
pesisir bisa dihindari.
Keenam,
strategi Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu yang sudah dikembangkan KKP
perlu diakselerasi dengan dukungan lintas sektor untuk menjamin penguatan
ekonomi perikanan di pulau kecil terdepan. Membangun pulau-pulau kecil adalah
wujud gagasan untuk membangun Indonesia dari pinggiran. Tentu upaya ini harus
selalu mengacu pada prinsip kedaulatan, keberlanjutan, dan keadilan pesisir.
Karena itulah, menimbang seberapa besar dorongan untuk investasi asing di
pulau kecil mestinya juga mengacu pada prinsip-prinsip tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar