Rabu, 11 April 2018

Upaya Kreatif Melawan Ekstremisme

Upaya Kreatif Melawan Ekstremisme
Khelmy K Pribadi  ;  Direktur Program Islam dan Media MAARIF Institute;
Alumnus Pascasarjana Sosiologi UI
                                                   KORAN SINDO, 05 April 2018



                                                           
VIDEO kekerasan di Gereja Santa Lid­wi­na Bedog, Sle­man, Daerah Istime­wa Yogyakarta, pada Ming­gu (11/2) lalu, begitu me­nge­rikan. Teror atas nama fa­na­tisme agama kem­bali men­ce­kam bangsa Indo­ne­sia. Misa pagi yang seharusnya khusyuk mesti dikoyak dengan aksi bia­dab Suliono (23 tahun), pemuda yang bermimpi me­ni­kahi bi­dadari. Akibat peristiwa ini, tiga orang jemaat dan se­orang Ro­mo mengalami luka serius.

Kekerasan ekstremisme atas nama agama sering kali me­li­batkan anak muda, seperti be­be­rapa kasus bom bunuh diri. Pe­rilaku ke­ke­rasan melibatkan anak muda tak bisa di­le­paskan dari pe­ne­tra­si pe­nge­tahuan dan pe­nga­laman yang menerpa anak muda.

Generasi Rentan 

Peristiwa ini mengingatkan kita pada penelitian Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hi­da­yatullah Jakarta (2017) yang me­libatkan 1.522 siswa SMA atau sederajat dan 337 ma­ha­sis­wa. Survei ini menyebut 58,8% responden menyetujui ideologi kekerasan radikalisme dan 51,1% intoleran terhadap ke­lom­pok yang berbeda agama.

Te­muan menarik dari riset ini 54,87% para anak muda ini me­miliki tren pembelajaran ke­aga­maan melalui internet, baik vi­sual maupun audio visual, se­per­ti blog , situs web, maupun media sosial. Persis dengan rilis data Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) Ta­hun 2017 menyebutkan 42,55% pengguna internet di In­donesia mengakses internet untuk men­da­patkan informasi ke­aga­maan. 

Ini menunjukkan sumber in­for­masi yang diserap me­miliki re­lasi cukup kuat pada sikap in­to­leransi dan potensi eks­tremisme pada anak muda. Kesimpulan ini kongruen de­ngan temuan riset MAARIF Ins­titute pada April-Oktober 2017 ke­pa­da pelajar SMA dan se­de­rajat di empat kota, yakni Ja­kar­ta, Ban­dung, Su­rabaya, dan Se­ma­rang, se­ba­nyak 63% pelajar ber­pen­da­pat bahwa paparan in­to­le­ra­n­si me­reka didapatkan me­lalui saluran internet.

Se­men­tara data K­e­menterian Komu­ni­kasi dan In­formatika sejak 1 Januari hing­­ga 18 Sep­tember 2017 ter­ca­tat bah­wa se­tidaknya ter­da­pat 13.829 aduan per­nya­taan ujaran ke­ben­cian daring (online hate speech) dan berita palsu (hoax-fake news) sebanyak 6.973 aduan.

MAARIF Institute me­yakini bahwa intoleransi pada anak mu­da terjadi tidak hanya karena kurangnya in­formasi yang dise­bab­kan minimnya ketersediaan in­frastruktur in­formasi, tapi juga bisa di­se­bab­kan terlalu banyak­­nya in­for­masi namun in­for­masi tersebut palsu (hoaks) dan dipenuhi de­ngan ujaran ke­ben­cian. Inilah tantangan hari ini ber­kaitan dengan informasi dan eks­­tre­misme, yakni menye­dia­kan in­­formasi yang akurat dan ber­visi pada keadilan serta per­da­mai­an, tapi tetap kon­tek­s­tual.

Oleh sebab itu, upaya me­lakukan intervensi dan pen­ce­gahan ekstremisme tidak hanya me­mer­lukan substansi namun juga kreasi.
Kerja-kerja kreatif untuk me­lawan ekstremisme telah ba­nyak dilakukan masyarakat sipil di In­do­nesia dengan be­ra­gam pro­duk­nya.

Komik strip, Board Game, ap­likasi berbagi ce­r­­ita pe­ngalaman adalah tiga di an­ta­ra­ program krea­tif yang sedang di­helat. Pro­duk-pro­duk kreatif ini telah me­nem­puh jalan baru in­ter­vensi so­sial yang kon­tekstual de­ngan sub­jek in­ter­ve­n­sinya.

Konten-Konteks, Subjek-Objek  

Berdasarkan pengelolaan pro­gram di atas setidaknya ada dua hal penting perlu dicatat. Per­tama, pentingnya menilik kon­ten dan konteks. Penguatan kon­ten informasi setidaknya me­mi­liki dua elan vital, yakni konten dan konteks (kemasan).

Ke­dua­nya memiliki keterkaitan dan tidak bisa dipisahkan. Me­nyusun sebuah konten yang kontekstual membutuhkan ke­dalaman dan kejelian sekaligus. Terutama jika dikaitkan dengan sosok anak muda hari ini yang begitu cepat menyecap per­ubahan zaman.

Anak muda hari ini adalah akumulasi dari generasi Y dan gen­erasi Z yang secara pe­rio­dikal dijelaskan oleh Sosiolog Jerman kelahiran Hongaria Karl Man­nheim (1893-1947) da­lam ar­ti­kel berjudul The Pro­blems of Generations. Se­ba­gai­mana dila­por­kan oleh Aulia Adam dalam se­buah laman bah­wa pengertian ten­tang generasi Z masih sangat beragam, tapi setidaknya bisa disebutkan bah­wa generasi Z adalah ge­ne­rasi yang lahir se­te­lah kelahiran teknologi internet atau lahir setelah tahun 2000. Sementara generasi Y atau mi­le­nial adalah generasi yang lahir an­tara tahun 1980-1997 dan me­lewati mi­le­nium kedua.

Menurut Tom Brokaw da­lam The Greatest Generation  (1998) sebagaimana dikutip Nu­­ran Wi­bisono dalam artikel “Me­ma­hami Generasi Milenial” men­je­laskan ada lima ciri ge­nerasi mi­le­nial antara lain, me­lek tek­nologi, bergantung pada mesin pencari, learning by doing, ter­ta­rik pada multimedia, dan mem­buat konten internet. Se­men­tara itu, dalam buku Indo­nesia 2020: The Urban Middle Class Millenials  (2016), Ha­sa­nuddin Ali dan Lilik Purwandi me­nye­but­kan, urban middle class mille­nials  memiliki ciri 3C, yakni Crea­tiveConnected, dan Con­fi­dence. Ketiga ciri tersebut me­ng­andaikan generasi mi­le­nial se­ba­gai generasi yang lekat dengan kreativitas, selalu ter­ko­neksi dengan internet, me­miliki sikap dan perilaku yang lebih terbuka serta kepercayaan diri yang kuat.

Pelatihan video kebinekaan untuk anak SMA merupakan cara kreatif MAARIF Institute untuk memenuhi platform  me­dia sosial berbasis video, seperti YouTube, dengan konten-kon­ten positif-alternatif untuk anak muda dengan beragam ben­tuk, seperti film pendek, video react, parodi, atau komedi situasi. Pilihan video sebagai medium kampanye sangat dipengaruhi oleh konteks ge­nerasi Y dan Z saat ini.

Video di­nilai mewadahi beragam eks­presi baik audio, grafis maupun visual, serta cepat dibagikan. Hal ini kongruen dengan data In­donesia Digital Lanscape 2018 yang mendudukan In­do­nesia pada urutan ketiga ne­gara de­ngan penggunaan in­ter­net ter­besar untuk mengakses video, yakni sebesar 67,4%.

Kedua, pentingnya para­dig­ma anak muda sebagai objek se­kaligus subjek. Dari beragam kerja-kerja di atas memberikan benang merah bahwa melawan ekstremisme dengan cara kre­a­tif mesti meletakkan anak mu­da pada dua aspek, yakni objek dan subjek, dari, oleh, dan un­tuk anak muda (partisipatif).

Pa­radigma ini menjadi penting untuk memastikan kontekstua­litas konten yang akan di­sampaikan dalam beragam pro­duk kampanye sosial tersebut. Sebagaimana penulis da­patkan dalam kesempatan ha­dir di Creators for Social Change Sum­mit  di London, Januari lalu. Sa­lah satu aspek utama kam­panye sosial untuk generasi Y dan Z saat ini adalah pentingnya me­ngenali pola pikir anak muda dengan bahasa, narasi, gestur, ser­ta cara berpikir generasi Y dan Z yang khas dan unik.

Un­tuk itu, memperkuat anak mu­da untuk menciptakan konten po­sitif dan alternatif adalah upaya kreatif anak muda ber­bi­cara kepada sebayanya tentang kengerian ekstremisme yang mengancam kebinekaan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar