Sekretaris
Samuel Mulia ;
Penulis Kolom PARODI Kompas Minggu
|
KOMPAS, 29 Januari 2017
Dua
minggu yang lalu seorang anggota staf saya menghubungi sekretaris seorang
konglomerat di negeri ini. Singkat cerita, laporan yang masuk ke gendang telinga
saya adalah, "Massss. ampunn deh. itu mbak galaknya setengah mati. Ketus
abis. Belum juga selesai menjelaskan uda main potong aja. Ampunnn. ada orang
kayak gitu."
Judes dan galak
Sejujurnya
waktu saya meminta tolong, saya sudah mempunyai perasaan bahwa cerita di atas
akan terjadi. Saya sudah beberapa kali mengalami hal serupa. Saya bukan
seorang sekretaris, saya tak pernah membayangkan pekerjaan yang dihadapi
setiap hari sebagai sekretaris. Justru karena itulah saya kemudian bertanya,
mengapa seorang sekretaris bisa sejudes itu.
Pengalaman
saya bekerja yang sudah lebih dari 20 tahun memberikan gambaran bahwa
kejadian seperti yang dialami anggota staf saya umumnya terjadi kepada
sekretaris orang-orang besar. Maksudnya besar itu ya perusahaannya, ya
namanya, ya prestasinya. Kalau badannya, itu tak jadi masalah.
Saya
sendiri bertanya-tanya mengapa mereka sampai harus bersikap seperti itu
kepada orang kecil seperti saya. Saya ini berpikir, kalau bosnya punya nama
besar, prestasi besar, kekayaan luar biasa, kan sejujurnya tak ada
hubungannya dengan kebesaran sekretarisnya.
Karena
sekretaris itu bermain di belakang layar meski saya tahu perannya sungguh
penting. Karena beberapa di antaranya malah lebih galak dari seorang istri
dalam menentukan jadwal hidup majikannya. Saya sendiri juga tak tahu apakah
istri seorang pengusaha kaya raya nan ternama lebih kurang jeli ketimbang
sekretarisnya untuk melihat kegiatan suaminya. Sungguh saya tak tahu.
Kalau
ada cerita-cerita miring soal profesi sekretaris, atau yang pada akhirnya
menikahi majikannya yang dimulai dari perselingkuhan, itu tak saya pikirkan.
Karena miring dan berselingkuh itu bisa diciptakan oleh siapa saja, bukan?
Miring itu tak memedulikan kaya atau miskin, ternama atau tidak.
Tetapi
yang saya ingin tanyakan, mengapa mereka sampai harus perlu bersikap galak
dan ketus? Kalau pekerjaan mereka terlalu banyak, kalau mereka menyimpan
rahasia terlalu banyak, kemudian semuanya itu memberi tekanan terlalu banyak,
dan pada akhirnya mereka menjadi tertekan, mengapa mereka tidak berhenti saja
bekerja?
Ibadah
Mengapa
mereka tidak berhenti dari sebuah pekerjaan yang telah mengubah mereka
menjadi manusia yang menyakiti orang lain, yang membuat mereka menjadi
manusia yang tidak berbahagia? Karena saya ini selalu percaya, perilaku
judes, songong, dan galak itu tak pernah dilahirkan dari sebuah hati dan jiwa
yang bahagia.
Sering
saya mendengar percakapan macam begini, "Emang orangnya kayak gitu. Tapi
hatinya baik, kok." Benarkah demikian? Benarkah buah yang busuk dapat
dihasilkan dari sebuah pohon yang diairi, dipupuk, dan dipelihara dengan baik
dan benar?
Bagaimana
hati yang baik mampu menghasilkan tabiat yang judes dan galak? Bukankah
katanya baik dan tidak baik itu tak pernah bertemu, seperti tak pernah bertemunya
siang dan malam, seperti tak pernah bertemunya yang negatif dan yang positif?
Apakah itu hanya katanya?
Ataukah
mereka sudah terbiasa menjadi judes dan galak, karena melihat majikannya juga
seperti itu, meski khalayak ramai melihat majikannya seperti malaikat. Saya
ini tak pernah menjadi sekretaris, hanya pernah punya sekretaris, tetapi
sekretaris ecek-ecek, bukan seperti sekretaris para konglomerat yang pernah
saya lihat, penampilannya saja seperti nyonya besar.
Saya
ini sampai berpikir, apakah karena bekerja dengan orang besar, mereka merasa
turut menjadi besar? Sungguh saya tak tahu. Yang saya tahu lingkungan itu
bisa memengaruhi individu untuk berubah.
Pada
akhirnya, saya berkata pada diri sendiri. Mungkin tak hanya sekretaris yang
dapat bersikap seperti itu, kita semua bisa. Kita semua bisa menjadi jahat,
menjadi judes dan galak, bisa menjadi begitu tidak bersahabatnya, bisa
menyakiti orang dengan keketusan. Nurani saya langsung menyambar. "Elo
apalagi, ya, cinn.."
Terus
apa keuntungannya bersikap judes? Dan apa ruginya menjadi manusia yang baik
dan bersahabat? Karena buat saya, kalau seandainya majikannya atau bosnya tak
mau melayani permintaan anggota staf saya untuk diundang sebagai pembicara,
itu tak jadi masalah.
Tetapi
menyambut orang lain dengan keketusan dan kegalakan itu sama sekali tak ada
hubungannya dengan melindungi majikan, tak ada hubungannya dengan jadwal
majikan yang padat. Mau padatnya bohong atau tidak.
Bukankah
seharusnya seseorang tak hanya mencitrakan perusahaannya dengan baik, tetapi
mencitrakan profesi dan dirinya sendiri juga dengan baik? Bukankah ketika
seseorang ingin mengakhiri pertandingan hidupnya, ia tak bisa hanya ingin
mengakhirinya dalam kebaikan, tetapi perjalanan mencapai akhirnya dilakoni
dengan sikap yang jauh dari baik?
Saya
pernah dinasihati, bekerja itu juga ibadah. Bagaimana seseorang bisa
menjalankan ibadahnya dan menodainya dengan mulut yang seperti belati? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar